“Di antara orang gudang dan orang kantor, saya melihat ada sebuah kelas yang terpisah. Mereka yang di luar lapangan memandang orang kantor sebagai kelas atas, sedangkan mereka sendiri orang kelas bawah.”
“Lalu, orang kantor yang dipandang paling jauh dari mereka siapa? Coba kamu tebak.”
“Saya?”
“Iya, kamu.”
Saya terdiam. Membiarkan angin sepoi-sepoi mengibarkan rambut saya yang tergerai.
“Lalu, menurutmu kenapa bisa menjadi seperti itu?”
“Saya sendiri tidak tahu. Saya tidak pernah menjaga jarak dengan mereka. Saya dan mereka tidak ada masalah.”
“Lebih tepatnya, mungkin kamu terlihat kurang ramah di depan mereka. Kamu jarang menyapa mereka dan senyum juga jarang terpasang di bibirmu.”
Saya hanya diam.
“Sebenarnya bukan hanya kamu yang dipandang angkuh oleh mereka. Tetapi ada satu lagi temanmu.”
“Lalu, kenapa kami para wanita yang dipandang angkuh oleh mereka? Bukankah ada pria-pria di sana yang kalau saya perhatikan juga terlihat tidak seramah yang lain.”
“Karena kalian cantik. Itu kelebihan kalian. Wanita lebih mudah menjadi sorotan dibandingkan pria-pria. Apalagi yang menyorot kalian adalah pria-pria.”
“Oke.. Sekarang izinkan saya untuk bercerita.”
Gantian dia yang diam.
“Salah satu dari mereka pernah ada yang menyukai saya. Saya rasa ini sudah menjadi rahasia umum. Semua orang di kantor ini mengetahuinya. Tetapi, bagaimana menyebalkannya dia ketika mendekati saya. Cuma saya yang merasakannya.”
“Dia begitu menyebalkan. Sms-smsnya sangat mengganggu. Bahkan pacar saya pun sudah hampir melabraknya kalau sekali lagi dia mengganggu hidup saya. Untungnya itu tidak terjadi.”
“Tidak hanya ulahnya yang saya nilai menyebalkan. Tetapi perlakuan teman-temannya terhadap saya, yang maaf harus saya katakan, kampungan. Haruskah mereka berteriak-teriak layaknya anak SD yang baru mengenal cinta?”
“Ya, mungkin itu bisa menjadi salah satu alasan, hingga pada akhirnya membuat saya sedikit terkesan menjaga jarak dengan mereka.”
Saya menghela nafas. Menahan air mata yang hampir keluar.
“Di dunia ini banyak orang yang menyebalkan. Tetapi kamu tidak bisa mendikte mereka satu-satu untuk melakukan sesuatu yang kamu mau.”
“Ya, saya tahu. Saya salah, hanya karena satu orang yang tidak saya sukai itu membuat teman-temannya ikut merasakan jauhnya saya. Seharusnya saya tidak begitu.”
Dia tersenyum menatap saya.
“Kamu kurang begitu suka bergaul dengan lawan jenis ya?”
“Tidak juga. Saya nyaman pergi dengan teman-teman lawan jenis saya. Selama kedekatan kami tanpa tendensi apa-apa. Saya tidak suka mereka ingin bergaul saya hanya karena saya dipandang cantik oleh mereka. Dan selama mereka tidak pernah mengganggu saya dalam pergaulan sehari-hari secara langsung, via sms, atau di dunia maya, saya sangat terbuka untuk berteman baik dengan teman-teman lawan jenis saya.”
“Saya tidak suka dipandang sebagai wanita lenjeh oleh semua pria dan teman-teman wanita saya. Wanita yang terlalu ramah, gandeng sana, gandeng sini, lendot sana, lendot sini, suaranya menggelayut manja, dan menawarkan kecantikannya supaya pria-pria itu suka dekat dengannya.”
“Ya, kalau boleh saya membela diri. Sampai sekarang, saya tidak ada satu event pun yang mengondisikan saya untuk bekerja sama dengan mereka. Berbeda mungkin dengan teman saya yang lain, yang harus seperti itu. Secara tidak langsung, bukankah itu bisa membuka jalur keakraban tanpa tendensi apa-apa.”
Dia terus tersenyum ketika mendengar kata-kata itu meluncur deras dari mulut saya.
“Kamu cantik, Noni. Kamu punya potensi itu. Hanya, tambahkan satu lengkungan manis di bibirmu. Itu saja. Supaya makna paskah ini semakin mengena di hatimu.”
Dada saya sesak.
Dia tersenyum di hadapan saya, begitu tampannya.
Saya membalas senyumnya.
“Iya opa.. Saya akan berusaha.”
Angin, dengarkah kau percakapan kami ini?
Tolong sampaikan terima kasih saya pada Tuhan Yesus di surga ya. Paskah ini saya sangat bahagia.