
Perseteruan antara murid-murid SMA N 6, Mahakam, Jakarta Selatan dengan teman-teman Wartawan ibu kota, semalam sungguh menjadi pembicaraan yang seru di dunia maya. Dengan secangkir teh hangat, duduk bersila, dan netbook yang terbuka di meja, saya membaca postingan demi postingan tentang peristiwa ini. Baik dari berbagai media, blog pribadi murid SMA N 6, ataupun timeline di twitter.
Saya bukan seorang murid SMA, bukan juga seorang wartawan. Saya pernah mengenyam pendidikan SMA selama 3 tahun, di sebuah sekolah yang sering tawuran, sehingga tidak terhitung berapa kali saya berlindung di balik tingginya pagar sekolah. Saya pernah pula menikmati proses belajar dunia jurnalisme selama 4 tahun di kuliah, meskipun pada akhirnya pilihan saya jatuh pada dunia perbukuan, bukan jurnalistik.
Saya paham gejolak anak muda yang masih meletup-letup, merasa bisa, merasa jagoan, merasa benar, loyalitas terhadap sekolahnya sangat tinggi, emosional, dan lebih mengandalkan otot daripada hati ataupun otak.
Saya juga paham gejolak dunia wartawan, di mana keakuratan, kelengkapan, dan kecepatan berita diutamakan. Segala atribut yang mendukung wartawan untuk meliput, seperti kamera video, kamera foto, tape recorder, adalah senjata untuk mengumpulkan berita yang wajib dijaga apapun caranya.
Melihat kedua sisi, siapa benar, siapa salah, menurut saya kedua belah pihak salah. Namun, saya hanya bisa geleng-geleng kepala dan sedikit tersenyum.
“Wartawan kok dilawan..”
Sesebel-sebelnya artis sama ulah wartawan, mereka membutuhkan wartawan supaya bisa tenar. Sejengkel-jengkelnya politikus sama perilaku wartawan, mereka juga membutuhkan wartawan untuk menggaet massa pendukungnya. Dan semangkel-mangkelnya kita sama wartawan, kita membutuhkan wartawan untuk mengupdate peristiwa-peristiwa teranyar dari berbagai tempat di dunia. Atau kalau tidak, cap “bodoh”, “enggak gaul”, akan menempel di diri kita dan menjadi batu sandungan ketika bergaul dengan dunia luar.
Pers adalah pilar keempat dalam sebuah negara demokratis. Setelah pilar pertama, kedua, dan ketiganya adalah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Tugas Pers adalah sebagai kontrol sosial ketiga pilar tersebut. Itulah sebabnya, Pers dilindungi dan memiliki undang-undang yang menaunginya, yaitu UU Pers No. 40 Tahun 1999. Dan Pers memiliki power untuk membentuk opini publik.
Lalu hubungannya dengan peristiwa ini?
Tidak ada asap kalau tidak ada api, itu yang mau saya garis bawahi. Pasti tidak akan terjadi sebuah tindak kekerasan kalau tidak disulut suatu hal. Lalu hal itu apa? Mari melihatnya dari kedua sisi, dan biarlah polisi yang mengungkapnya. Bukankah masing-masing pihak sudah menyerahkan masalah ini kepada yang berwajib.
Tetapi yang mau saya ajak kalian untuk merenungkannya adalah… Masalah ini pasti tidak akan menjadi besar dan akan selesai dengan sendirinya, ketika pihak murid SMA 6 bisa menjaga jari jemarinya, untuk tidak asal meluapkan emosi di Twitter dan tidak terbawa arus emosi ketika membaca celotehan teman di Twitter. Sudah banyak contoh pengalaman yang terjadi, tersandung masalah karena tidak bisa menjaga etika berceloteh di dunia maya. Lalu sekarang ditambah lagi dengan peristiwa ini.
Bukankah guru terbaik adalah belajar dari pengalaman orang lain?
Akankah esok bertambah lagi dengan celotehan orang lain yang tidak dijaga? Sekarang ini bukan hanya mulutmu harimaumu, tetapi jemarimu bisa mencakarmu.
Saya tidak mau menghakimi siapa saja, karena ribuan celotehan yang dikirim ke dunia maya dan di-mention ke yang bersangkutan, saya yakin itu sudah mampu membuat murid SMA 6 itu tertekan, hidup dalam ketakutan, kekhawatiran, dan juga penyesalan.
Tidak perlu adik itu hidup dalam terali besi sebagai sebuah bentuk hukuman, karena saat ini pun kungkungan opini publik yang menyerangnya sudah cukup menghakiminya dan menjadikannya sebuah pengalaman hidup paling berharga.
Tidak perlu juga teman wartawan menunjukkan sebuah pribadi yang terkesan arogan, hanya karena berprofesi mulia dan memiliki UU khusus yang menaunginya.
Wartawan dilindung UU Pers No. 40 Tahun 1999. Murid-murid SMA N 6 juga dilindungi UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Lalu, seharusnyalah Polisi menepati ucapannya untuk tidak tebang pilih menangani kasus ini. Mari, kita tunggu saja hasilnya.
Belajar dari peristiwa ini dan bisa lebih menjaga jari jemari kita dalam menulis. Selamat berjuang..
Sumber foto: http://www.gearfuse.com/twitter-nail-art/
mungkin pelajaran “etika ber-sosial media” perlu juga diajarkan disekolah ya ;-), good post, salam kenal :).