Mengapa Saya Tidak Pernah Merantau?

Satu per satu sahabat saya meninggalkan kota ini. Hingga akhirnya hanya meninggalkan saya seorang diri di kota ternyaman se-Indonesia ini. Dua di antara mereka merantau ke ibukota, dan satu pulang kampung mbangun kampung. Sedangkan saya? Seumur hidup yang tidak pernah merantau, menghabiskan masa kecil, masa ababil, masa dewasa, hingga kelak masa menikah (amiinnn..) di kota ini.

“Dik Noni sih.. enggak pernah ke luar, jadi enggak bisa ngerasain nikmatnya mudik.”

“Kok enggak pingin kerja di Jakarta Ni?”

“Yaahh… Gaji di Jogja mah kecil Ni, mending ke luar aja.”

“Ayo belajar mandiri Dik, ke luar dari kota ini.”

dan bleh.. bleh.. bleh.. pertanyaan nggambleh lainnya, dari orang-orang yang namanya tak boleh disebut.

Jujur saja, saya benci mendapat dan mendengar pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Saya merasa terintimidasi dan merasa bahwa keputusan hidup saya ini salah. Dan bahwa keputusan untuk tinggal di kota yang membesarkan saya ini adalah kesalahan terbesar. Lalu, ini salah siapa? Salah tanah di kota ini yang menyebarkan lem di kaki saya? Atau mungkin kutub-kutub magnet di tubuh saya dan bumi kota ini saling menempel erat?

Sejujurnya lagi, keinginan untuk merantau dan meninggalkan kota ini dan menuju ibu kota adalah keinginan saya sejak sebelum duduk di perguruan tinggi. Tapi situasi dan kondisi yang membuat saya (awalnya) seperti terjebak berada di sini.

Berawal dari keinginan saya untuk KKL atau Magang di Femina Grup. Tetapi, saat itu kondisi bapak saya di Jogja sedang tidak mendukung. Beliau divonis mengidap kanker kelenjar getah bening dan harus kemoterapi setiap 2 minggu sekali. Beliau bisa dalam kondisi ngedrop dan tidak ada yang bisa membawanya ke dokter, kecuali saya. Karena yang punya SIM A saat itu hanya saya dan Bapak. Kalau saya memaksa untuk pergi ke Jakarta barang 2 bulan, bagaimana nasib mama yang harus ngurusin bapak seorang diri? Padahal saat itu adik saya sedang menghadapi UN SMPnya, dan yang paling kecil masih tergantung sekali sama mama.

Tuhan berkehendak baik sekali pada hidup saya. Semenjak semester 3, saya selalu mendapatkan penghasilan sampingan dari uang saku saya. Saya pernah bekerja part time di gerai kaus, menjadi asisten dosen, asisten penelitian, hingga sekretaris di perusahaan telekomunikasi seluler. Jadi, terhitung mulai semester 7 saya sudah tidak mendapatkan uang saku sama sekali. Saya hanya mengandalkan penghasilan saya setiap bulannya. Alasannya, kondisi keuangan keluarga sedang tidak baik, perubahan struktur di kantor bapak membuat penghasilan bapak jauh berkurang. Belum lagi pengobatan untuk bapak yang menghabiskan banyak uang. Jadi, sadis enggak sih kalau saya minta uang pada orangtua untuk merantau ke ibukota?

Padahal sesungguhnya, penghasilan saya saat itu tidak banyak. Tidak lebih dari 1 juta. Sungguh sebenarnya tidak sebanding dengan pengeluaran saya, di mana saya harus membeli motor dan mencicilnya sendiri, kadang kala kasih uang ala kadarnya untuk adik saya, dan pengeluaran-pengeluaran kecil lainnya. Jadi, saat itu saya menghindari benar panggilan interview di luar kota. Alasannya simpel, saya tidak punya ongkos berangkat ke sana. Minta orangtua? Malu.

Kalau diingat-ingat, terakhir kali saya dikasih duit orangtua setelah lulus kuliah itu cuma satu kali. Yaitu saat saya sakit vertigo di tahun 2007 dan dibawa paksa oleh mama ke dokter. Mama yang bayar biaya dokternya. Kalau bukan mama yang maksa, saya tidak mau ke dokter, karena… saya tidak punya duit.

Rencana saya saat itu adalah membangun karir barang 2 tahun di perusahaan dalam kota, sembari mengumpulkan modal, lalu nanti merantau ke luar kota.

Tetapi, kenyataan berkata lain. Saya kepincut dengan industri penerbitan buku. Saya menikmati ritme kerja di sini. Dan satu lagi, saya jatuh cinta pada orang lokal, yang membuat kami berplanning membangun masa depan kami di sini.

Pernah saya memaksa diri untuk mencari karir di luar kota. Tetapi selalu saja gagal. Entah saat prosesnya, atau tekad saya yang mungkin kurang kuat.

Yahh… Saya memang (hanya) manusia kecil yang tinggal di kota kecil ini. Menikmati hidup dan karir di kota ini. Bukan saya tidak mau meninggalkan zona nyaman, tetapi karena situasi dan kondisi yang membuat saya awalnya tidak bisa meninggalkannya.

Meski awalnya saya merasa terjebak berada di sini. Tapi sekarang tidak lagi. Ini anugerah Tuhan, karena saya tahu Tuhan merancang suatu rencana untuk mengenalkan saya dengan orang-orang hebat di kota ini. Berkat mereka, saya yang tidak pernah merantau ini, bertekad ingin keliling dunia.

Amiinn… 🙂

  • Merantau memang bisa membangun kemandirian. Tetapi di sini pun saya belajar keras untuk mandiri dalam segala hal.
  • Merantau memang bisa membangun kedewasaan. Tetapi di sini pun saya belajar untuk dewasa dengan pemikiran dan kemandirian saya.
  • Merantau, terutama ke ibu kota, memang bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar. Tetapi bukan berapa besarnya penghasilan yang saya dapat, melainkan bagaimana cara saya mengelolanya.

 

One thought on “Mengapa Saya Tidak Pernah Merantau?

  1. ^__^ kadang saya terpikir untuk merantau, keluar dari ibukota yang saya tinggali 29 tahun.

    Tapi… seperti yang mba bilang diatas..
    ‘Merantau memang bisa membangun kemandirian. Tetapi di sini pun saya belajar keras untuk mandiri dalam segala hal.’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *