1 Januari 2011, pkl. 01.00 WIB
“Apa impianmu tahun ini?” tanyanya.
“Aku ingin, sampai akhir tahun nanti kita bisa terus bersama,” ujar saya.
“Itu harus. Bukan hanya sampai akhir tahun ini, tapi sampai tahun-tahun selanjutnya,” jawabnya.
Saya tersenyum. Sumringah. Senang. Dan mengamini kata-katanya di hati saya paling dalam.
“Aku pingin punya rumah,” celetuk saya tiba-tiba.
Dia menolehkan pandangannya dan melihat saya.
“Amin.. Kita berjuang sama-sama ya. Buat semua yang menjadi impian kita,” ujarnya. Pelan tapi dalam.
Saya memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan air mata yang tertahan.
Ya. Doa saya hari pertama tahun 2011 itu adalah..
“Ijinkan kami untuk bisa terus bersama, melewati semua halang-rintang dan suka-duka dalam hidup ini. Dan mampukan kami untuk saling mendukung dalam kami meraih semua impian kami.”
***
Hari demi hari terlewati. Bulan demi bulan berlalu.
Mimpi untuk punya rumah masih melekat. Meski sesungguhnya belum menjadi impian utama kami.
“Yang kita penting menikah dulu. Ngontrak rumah barang 1 sampai 3 tahun. Trus baru kita beli rumah sendiri,” ujarnya.
“Iya. Setuju. Aku enggak mau tinggal di PMI (Pondok Mertua Indah) atau POI (Pondok Orangtua Indah). Memutuskan untuk menikah itu berarti memutuskan untuk hidup mandiri. Kalau tinggal terus-terusan di PMI atau POI, gimana kita bisa belajar hidup mandiri,” jelas saya.
***
Suatu hari. Saat dia menjemput dan menunggui saya di lobi kantor. Sambil membunuh bosan karena saya tak kunjung turun, surat kabar lokal itu diambilnya. Matanya bergerak, tangannya membolak-balik halaman. Headline news, feature news, sampai iklan dibacanya.
Sekotak iklan kecil berlabel “perumahan murah” tiba-tiba menarik perhatiannya.
Setelah saya turun, ditunjukkannya iklan itu ke saya.
“Besok kamu yang coba telepon ke developernya ya,” ujarnya.
Sambil berjalan keluar kantor, saya mengangguk pertanda setuju. Tapi juga menganggap itu sebagai sesuatu yang sekadar impian yang mungkin terlalu besar, dan belum saatnya.
Meski kenyataan, beberapa hari setelahnya, saya melaksanakan anggukan itu. Menelepon developer, menanyakan lokasi, spesifikasi bangunan, prosedur KPR (Kredit Kepemilikan Rumah), dan tetek bengek lainnya tentang rumah.
***
Singkat cerita, semua berjalan begitu saja. Kami mengikuti prosedur yang harus dilewati. Mulai menengok lokasi rumah beberapa kali, menghitung kilometer dan waktu PP (pulang-pergi) berangkat kerja, mengajukan KPR, disurvey, mengisi berlembar-lembar formulir, dan sebagainya.
Beli rumah itu tidak seperti beli motor, yang 2 minggu setelah pengajuan kredit, barang sudah ada di tangan. Tapi, karena rumah memiliki nilai investasi lebih tinggi, maka prosesnya memakan waktu 2 bulan. Tidak sampai di situ saja, kami harus menunggu selama 4 bulan, sampai bangunan yang dipesan bisa ditinggali.
Sungguh proses yang melelahkan dan membutuhkan ekstra kesabaran.
***
Tunggu dulu, mungkin kalian akan berpikir bahwa kami punya banyak uang untuk membeli bangunan bernama rumah itu.
Kenyataannya? Tidak sama sekali. Membayar DPnya saja kami harus mencicil, serta menyekolahkan cincin emas putih di jari manis tangan kiri kami ini ke pegadaian.
Lalu nanti, ketika waktu akad kredit sudah tiba, harus membayar pakai apa? Bayar akad kredit itu tidak bisa dicicil seperti bayar DP.
Yah.. itu menjadi pertanyaan besar dan kami sendiri juga bingung menjawabnya.
Sampai suatu ketika Tuhan buka jalan, memudahkan prosesnya, dan yang pasti semua halal.
Hingga akhirnya besok di akhir tahun 2011 ini proses akad kredit bisa terselesaikan dan terbayar lunas. Selanjutnya, di awal tahun 2012, tinggal menjalani proses membayar cicilan selama 15 tahun, yaitu sampai tahun 2027. Terlihat lama, tapi ketika dijalani pasti tidak akan terasa.
***
Sekarang, rumah itu hampir selesai dibangun. Terakhir kami menengoknya hari Minggu, 11 Desember 2011 lalu, seperti ini bentuknya.
Kecil, Mungil, dan Jauh.
Itu mungkin pendapat orang-orang (dan juga kami pada awalnya).
Tapi bagi kami, rumah mungil dan menempuh perjalanan 40 menit sampai kantor, membuat kami tidak terlalu merasakannya. Karena bangunan ini diperjuangkan dengan mimpi dan cinta kami. Karena dibeli dengan keringat dan murni uang sendiri. Dan karena kami saling mendukung setiap mimpi kami masing-masing.
Kekuatan mimpi dan ucapan memang luar biasa. Padahal di awal tahun 2011 ini, saya hanya berceletuk ringan. Lalu di penghujung 2011, celetukan saya menjadi kenyataan.
***
Pertanyaan selanjutnya dari banyak orang, termasuk mungkin Anda…
Kapan meresmikan berpredikat “Nyonya”?
Dengan senyum simpul, saya menjawab,
“Itu impian selanjutnya, yang melanjutkan impian kami sebelumnya. Kami hanya mencoba menjalani alur yang dibuat Tuhan ini dengan segenap hati. Berjuang dan berusaha mewujudkan dengan sekuat tenaga yang diberi. Karena inilah doa dan impian kami, supaya kami bisa saling mendampingi sampai tua nanti.”
Kami percaya Mestakung, karena kami sudah membuktikannya.
Setiap kita bermimpi, sepanjang impian itu baik dan positif, alam semesta pasti mendukung.
… Salam Mestakung…