#Part2: Forget the Past dan Ready for the Future

Mama sekarang sedang hobi bersih-bersih. Setiap sudut rumah, tidak ada yang luput dari aksi bersih-bersihnya. Kalau boleh dapat penghargaan dari Gubernur, layaklah mama dapat penghargaan Adipura. Mulai dari batas ujung depan halaman rumah, sampai ke ujung belakang garasi. Mulai dari setiap kamar di lantai bawah, sampai ke langit-langit di lantai atas. Kamar saya yang penuh barang-barang (yang menurutnya tidak berguna), juga ikut kena sidak. Beliau merapikan semua buku-buku saya. Perlengkapan make-up. Sampai tumpukan kertas-kertas di laci meja.

“Rumah kita mau kedatangan tamu banyak. Jadi harus bersih semuanya,” begitu kata mama.

Jadi, hari Minggu itu saya ditugasi untuk membersihkan kamar saya sendiri dan menyingkirkan barang-barang (yang menurutnya tidak berguna). Nyatanya setelah dipikir-pikir, memang tidak banyak gunanya juga ya saya simpan setumpuk kartu ucapan, kertas surat lucu-lucu, dan masih banyak lagi yang lainnya.

“Kamu tu udah gede. Masih juga nyimpenin barang-barang anak ABG gini,” mulut mama mengomel lirih.

Sekarang bergeser ke rak pernak-pernik hiasan kamar saya. Dibantu mama, saya pun memilah-milih, mana yang masih saya pertahankan, dan mana yang harus saya buang. Keramik lucu-lucu, pigura unyu-unyu, jam duduk imut-imut. Semuanya pemberian orang dan lucu. Tapi… sepertinya tidak cocok untuk dipajang di rumah keluarga. Hhhmm.. Sepertinya saya mulai harus belajar untuk membangun citra seorang istri yang dewasa nih.. #tsah

“Ini dari siapa? Dari Donny bukan?” itu pertanyaan mama setiap mau menyingkirkan barang-barang lucu saya itu.

Dan jawaban saya selalu sama dari puluhan pertanyaan serupa.

“Bukanlah Ma.. Mana pernah dia ngasih aku barang-barang lucu begitu.”

Lalu setelah itu, masuklah barang-barang itu, ke kotak penampungan, dan siap untuk didistribusikan ke orang-orang yang membutuhkan. Daripada saya memungut bayaran untuk membuka Garage Sale. Mending saya bagi secara cuma-cuma ke orang-orang yang suka pernak-pernik lucu saya.

Satu demi satu sudut di kamar saya dibersihkan dan disortir. Lalu tiba-tiba tangan saya tertuju ke tiga buah buku harian yang terkunci rapat dan tersimpan di ujung laci meja paling bawah. Buku itu merekam semua jejak kisah saya semenjak SD sampai kuliah, bahkan mungkin sudah bekerja. Sejak cinta monyet pertama, sampe berevolusi menjadi kingkong. Bingunglah saya, mau dikemanakan cerita-cerita ababil itu. Kalau cuma dibuang ke tong sampah, nanti ditemu & dibaca orang. Kalau cuma disobek-sobek, gila aja saya sobekin ratusan lembar kertas itu satu-satu.

Akhirnya, berkat bantuan mama & bapak, saya berhasil dengan sukses menghancurkan penggalan curhat & kisah saya di masa lalu itu. Kami membakarnya di samping rumah, dan membuang bekas bakarannya ke septitank. Fiuhh.. Selesai sudah aksi kami dalam membuang semua pernak-pernik yang berhubungan dengan masa lalu saya.

Mengamati api yang makin berkobar ketika minyak tanah dituangkan di atas buku harian itu, pikiran saya menerawang. Masa lalu memang telah membentuk hidup kita di masa sekarang. Tapi maaf, saya benar-benar akan membuangnya ke septitank terdalam dalam hidup saya. Terima kasih untuk semua pihak yang telah hadir mewarnai semua kehidupan saya. Sedih. Susah. Senang. Menangis. Tertawa. Bahagia. Marah. Sungguh menjadikan pelangi hidup yang sangat berharga.

Untuk membuka lembar hidup baru, tidak perlu menunggu sampai Romo dan Pendeta memberkati kami di gereja. Tapi mulai detik ini, saya benar-benar akan menguburnya dalam-dalam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *