Geng pumping kantor saya beranggotakan 3 orang; saya, Dila, dan Ani. Kami pumping di mushola kantor 2x, jam 11 dan 14.30. Di luar jam2 crowded orang sholat.

Enggak seru kalo selama pumping kami cuma diem2an. Dan kalo udah begitu, pasti salah satu dari kami akan berceletuk, “Ada cerita apa nih?”, “Ayo dong kalian cerita sesuatu.”

Cerita2 Geng Pumping memang selalu beragam. Mulai dari obrolan absurd, enggak penting, curhatan, gosip, tapi enggak dikit juga yang infomatif-inspiratif.

Nah kalo siang ini, pembicaraan kami agak enggak penting. Yaitu tentang panggilan orangtua oleh anak.

Saya manggil orangtua saya, Mama dan Bapak. Tapi saya mau membahasakan Luna untuk manggil kami orangtuanya, Ibuk dan Bapak. Alasannya, karena enggak mau ikut-ikut tren manggil Ayah-Bunda (bahasa kerennya, anti-mainstream #halah!), dan enggak mau terlalu kekotaan, manggil Papa-Mama. Apalagi keminggris, Mommy-Daddy. Kami cuma keluarga kecil yang tinggal di desa dan meniti karir di kota. #oposih?

Tapi kalo pas Luna dijemput di daycare, Bunda pengasuhnya selalu bilang, “Ayah Aluna jemput!” Dan, kalo ngobrol sama orang2 lain, pasti bilangnya, “Mamanya Luna.”

Dan lagi, Luna ini baru bisa bilang ma-ma-ma, pa-pa-pa. Tiap dia ngerengek ke saya selalu bilang, ma-ma-ma. Aduh Nak, ayo dong panggil buk-buk-buk.

Tapi sepertinya saya harus bersabar, karena Ibuk adalah kosakata sulit untuk diucapkan anak bayi. Masih gampang Bapak ketimbang Ibuk.

Terus jadi mikir. Hhmm…. Apa panggilan Ibuk-Bapak itu udah enggak tren lagi ya? Atau terlalu ndeso?

Jadi ingat pas saya masih kecil dulu (tepatnya masih TK kecil), teman-teman saya manggil orangtuanya Papa-Mama. Sedangkan saya, masih terdidik untuk manggil orangtua saya Ibu-Bapak.

Saat itu saya ngerasa panggilan Ibu-Bapak itu enggak oke. Lantas saya bilang ke Mama, “Bu, Ibu tak panggil Mama aja ya.” Entah apa jawab Mama saat itu, yang pasti mulai saat itu saya manggil Ibu saya dengan Mama.

Kalo Bapak?

Saya dulu sempat mencoba memanggilnya dengan Papa. Saya ingat betul pas Bapak pulang kerja dan saya menyambutnya dengan berteriak, “Hore Papa pulang!” Yak, itu pertama dan terakhir kali saya manggil Bapak dengan sebutan Papa. Rasanya aneh manggil Papa.

Jadi, saat itu resmilah panggilan orangtua saya adalah Mama-Bapak.

Beruntung lahir jadi anak pertama, yang bisa merusak sebuah sistem keluarga. Karena selanjutnya 2 adik saya manggilnya ikutan Mama-Bapak, sampai sekarang.

Pernah suatu kali Kresna, adik pertama saya tanya ke Mama, “Ma, kok Mama dipanggil Mama sih, kenapa kok enggak Ibu.”

Dan Mama cuma bilang, “Tanya o Mbak Noni. Dia yang ngubah-ngubah panggilan dari Ibu jadi Mama.”

“Wah, piye to Mbak. Padahal wis apik dipanggil Ibu daripada Mama. Temen-temenku pada manggil ibunya, Ibu. Aku sendiri yang Mama,” ujar Kresna.

Tapi berhubung dia seorang adik. Susah sepertinya untuk mengubah kestabilan sapaan ini. Karena sampai sekarang pun Bapak ikutan manggil Mama dengan Mama.

Jaman sepertinya sudah berubah. Kalau jaman saya trennya manggil Mama-Papa, adik saya Ibu-Bapak.

Lalu jamannya anak saya….

Lagi tren Bunda-Ayah.

Haduhh… Memang sih tren itu berputar.

Tapi Luna anakku, jangan ikuti jejak Ibukmu ya. Sekalipun teman-temanmu pada manggil orangtuanya Ayah-Bunda, tetaplah konsisten manggil kami Bapak-Ibuk. Kita harus jadi keluarga anti-mainstream. #halah! #oposih?