Seandainya Aku…

Bergegas aku masukkan ponsel ke dalam tas. Mengambil kunci motor dan keluar kantor, tepat pukul 12 siang. Dia pasti sudah menungguku. Kami janjian akan bertemu di restoran itu, seperti biasanya. Untuk makan siang, sekaligus berbagi cerita.

“Kamu tahu? Aku pacaran baru sejak SMP, loh,” ujarnya tiba-tiba setelah mengunyah suapan terakhir nasinya.

“Ohya, enggak pa-pa kan.. Ketimbang sudah sejak SD. Itu namanya dewasa sebelum waktunya.”

“Kamu percaya, cinta pertama itu susah dilupakan?”

“Hmm… agak percaya sih. Tapi bukan berarti tidak bisa dilupakan. Karena kalau aku diajak balik sama pacar pertamaku, belum tentu mau. Hahaha…”

“Kalau aku, aku akan menebus semua kesalahanku dulu. Melakukan sesuatu yang dulu tidak terpikir untuk kulakukan.”

Aku menyesap es tehku. Membatin, sepertinya dia akan memulai makan siang ini dengan curhatannya. Aku baru mengenalnya sejak kuliah, jadi menebak-nebak pacar pertamanya saat SMP jelas itu susah.

“Malam itu tiba-tiba dia meneleponku. Seperti biasanya, paling cuma mau berbagi cerita tadi di sekolah.”

Benar kan, tebakanku! Sahabatku satu ini pasti mau curhat yang melow-melow. Entah mengapa, sepertinya semenjak dia putus dengan pacarnya yang juga teman kuliah kami, dia jadi lelaki paling melow seantero Indonesia.

“Perempuan itu adik kelasku SMP, persis satu tingkat di bawahku. Semenjak aku masuk SMA, kami jarang bertemu karena sudah tidak satu sekolah lagi. Jadi, saling menelepon yang selalu kami lakukan setiap malam.”

Gantian dia menyesap es tehnya. Udara di luar ruangan terik, sepertinya membuat es batu di gelas kami jadi gampang meleleh.

“Tapi aku tidak pernah menyangka. Di telepon itu dia mutusin aku. Alasannya klasik. Sudah kelas 3 dan mau persiapan menjelas Ebtanas. Aku diminta untuk tidak menghubunginya dulu, sampai Ebtanas itu terlewati.”

“Emang ya, klasik banget masalah itu. Aku dulu suka sebel denger orang mutusin pacarnya karna alasan studi. Kalau udah jelas mau fokus studi, ya udah enggak usah pacaran dari awal dong. Iihh…”

“Iya, aku juga mikir gitu. Aku jengkel dan enggak mikirin dia lagi. Mungkin dia naksir cowok lain kali. Ya udah, kita putus. Selesai. Dan beberapa bulan kemudian aku pacaran sama temenku sekelas di SMA.”

“Busyett.. Cepet banget move on-nya.”

“Alah, cinta monyet juga. Cepet ilangnya, kan.. Apalagi katanya masa SMA itu masa indah. Sayang kalau terlewat tanpa meninggalkan jejak pacaran sama temen sesekolahan.”

“Hahaha.. Dasar kamu. Kamu kan emang suka gitu. Di setiap jenjang pendidikan selalu meninggalkan jejak pacaran. Ternyata itu udah bakat sejak lama to..”

“Sstt.. ceritaku belum selesai.”

“Oh, oke.. Silakan,” ujarku saambil menyomot kentang goreng di atas meja.

“Setelah putus sama pacarku SMA, aku ingat dia lagi. Dan mencoba menelepon rumahnya.”

“Tuh kan.. Kamu tu kebiasaan deh. Baru ingat mantan setelah diputusin sama pacar yang sekarang.”

“Tapi telepon rumahnya enggak ada yang ngangkat,” ujarnya yang mengabaikan celotehanku.

“Besoknya aku ke rumahnya. Tapi rumahnya kosong. Pintu pagar dikunci. Kata tetangga, mereka sekarang sering ke Jakarta. Bisa berhari-hari. Trus aku pulang, dan melupakannya lagi. Sampai akhirnya aku pacaran sama perempuan yang kamu kenal itu di kampus.”

“Wait.. Trus setelah kamu putus sama pacar ketiga kamu ini, kamu sekarang mau cari cinta pertamamu itu?”

“Aku sudah nyari, Nik.. Dan sudah ketemu.”

“Ohya? Trus-trus? Dia mau balikan sama kamu lagi?’

“Seminggu yang lalu aku ketemu kakaknya di mall. Aku nyapa dia, basa-basi sedikit, dan terakhir menanyakan kabar adiknya.”

Dia menyesap kembali es tehnya, yang kini sepertinya hanya tinggal es batunya saja. Lalu menyomot kentang goreng di hadapan kami. Seperti ingin memperlambat ceritanya bagian ini.

“Tapi kakaknya memandangku dengan tatapan aneh. Dia balik tanya ke aku. ‘Loh, kamu enggak pernah denger kabar tentang adikku pa?’ Aku balas menjawab dengan agak tertawa, ‘Masa Mbak nggak tau sih, saya udah diputusin sama adiknya Mbak. Alasannya karena mau fokus Ebtanas.'”

Aku mulai agak deg-degan mendengarkan ceritanya. Jam di tanganku sudah menunjukkan tepat pukul 1 siang. Tapi, cerita dari sahabatku ini, kali ini lebih penting ketimbang kerjaan.

“Kakaknya cerita, bahwa adiknya sudah meninggal 5 tahun yang lalu.”

Mataku terbelalak. “Ini sinetron banget! Kamu yakin kan ini kisah nyatamu?”

“Ya ampun, Noni. Kapan aku bohong sama kamu kalau urusan cinta-cintaan sama perempuan-perempuan itu sih?”

“Oke-oke. Sorry. Jadi, kenapa dia meninggal?”

“Sakit. Kanker leukimia. Sejak SMP.”

Aku ingin berteriak, ‘ini novel banget!’ Tapi rasanya sadis kalau aku benar melakukan itu. Melihat matanya yang terlihat berkaca-kaca, aku percaya, ini kisah nyata.

“Dia dulu mutusin aku dulu karena mau berobat, bukan karena mau fokus ujian. Dia sengaja enggak mau cerita ke aku tentang sakitnya. Entah karena alasan apa. Pas aku ke rumahnya dulu, tapi rumah kosong, itu karena dia sedang pengobatan di Jakarta.”

“Aku menyesal Nik.. Menyesal kenapa aku dulu enggak mengejarnya lagi. Kenapa aku dulu melupakannya seketika. Kenapa aku enggak memenuhi janjiku untuk meneleponnya, padahal Ebtanas itu sebenarnya sudah selesai. Kenapa aku baru mengingatnya setelah aku diputusin sama mantan-mantanku itu. Kenapa juga aku tidak meluangkan waktu sebentar untuk ngobrol dengan tetangganya. Seandainya itu aku lakukan, pasti aku bisa menemaninya di saat-saat terakhirnya. Dan seandainya saat itu sudah kenal handphone, pasti mencarinya akan lebih mudah.”

Aku menepuk-nepuk tangannya, mencoba menghiburnya. Orang-orang di sekitar restoran ini mungkin mengira kami pacaran, tapi yang berwajah melow dan hampir menangis justru di pihak lelaki.

“Sstt.. Sudah enggak ada seandainya-seandainya. Semua sudah digariskan sama Tuhan. Enggak ada yang perlu disesali. Semuanya sudah terjadi. Setidaknya, dia sudah bahagia pernah mengenalmu. Percaya deh, dia masih mencintaimu, cuma dia tidak mau membuatmu sedih. Kamu harus bahagia, karena dia tidak perlu merasakan sakit lagi, pergi dalam damai, dan tetap mengukir namamu di hatinya, selamanya.”

 

Artikel ini diikutsertakan dalam “My First Love Giveaway” Aprint Story

5 thoughts on “Seandainya Aku…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *