Foto di atas adalah foto wefie pertama yang kami ambil setelah punya anak. Diambil saat Lunski masih berusia sebulan, dan di malam hari sebelum ngeloni dia tidur.
Keliatan gelap ya.. Huks.. Waktu itu masih pake BB yang pernah hits pada masanya tapi enggak ada lightnya. Kalau dari dulu udah jatuh cinta duluan sama Android, pilihan pertamanya mungkin sama henpon Smartfren. Harga terjangkau dan fitur keren. Sayang, cinta pertama smartphone saya dulu jatuh ke yang lain.
Mungkin foto itu tampak biasa saja. Semua keluarga pasti punya foto wefie. Entah difotoin orang lain, atau penuh perjuangan dengan pakai timer ataupun tongsis/tongbro (tolong dong sis.. tolong dong bro..)
Tapi buat kami─terutama saya, foto itu sangat bermakna. Bisa nikah sama suami saya itu aja udah Puji Tuhan banget, apalagi punya anak seaktif (baca: ngglidig) Lunski, jelas itu anugerah yang luar biasa.
Saya menikah di usia 26 tahun. Usia yang sebenarnya masih termasuk normal dan lumrah untuk seorang wanita melepas masa lajang. Tapi dulu saya pernah punya impian menikah di usia 24. Dan, impian itu kandas sudah, ketika orangtua saya masih belum merestui anak perempuan satu-satunya ini diboyong oleh orang lain.
Alasannya?
Mungkin setahun perkenalan saya dan suami dulu belum bisa meyakinkan mereka bahwa dia layak untuk dijadikan menantu. Mungkin sikap kami yang terlalu alay bagi mereka sehingga dinilai belum siap membangun mahligai rumah tangga. Mungkin karena mereka belum siap kehilangan anak perempuan satu-satunya ini dimiliki orang lain. Mungkin suami saya dulu belum bisa meyakinkan mereka bahwa saya akan bahagia dan baik-baik saja saat bersamanya. Mungkin juga suami saya dianggap masih terlalu unyu untuk jadi suami, padahal usianya 4,5 thn di atas saya. Atau mungkin… tabungan mereka belum cukup untuk bikin pesta pernikahan anaknya. Mungkin…
Jengkel dan marah sama orangtua sendiri? Jelas pernah. Saya sebel karena pilihan saya tidak segera direstui.
Kenapa tidak seperti pasangan lain yang baru ketemu sekali langsung dapat restu seratus persen. Kenapa tidak seperti orang lain yang diburu-buru nikah sama orangtuanya. Kenapa harus ada fit and proper-test yang berat untuk suami saya. Kenapa orangtua saya serempong itu nyari menantu. Dan ribuan kenapa berterbangan di kepala saya.
Saya tidak pernah menjalani hubungan backstreet. Bahkan sama suami saya ini pun dulu tidak pernah. Supaya mereka enggak memikirkan yang tidak-tidak. Jadi saya ceritakan dan kenalkan semua orang-orang yang dekat dengan saya, termasuk sama suami saya ini ke orangtua. Mau suka atau enggak, pokoknya saya cerita dan bawa ke rumah.
Tapi saya sedih, kenapa dengan prinsip saya “no backstreet” tetep bikin orangtua saya enggak percaya sama pilihan anaknya ini?
Bahkan pernah celetukan saya yang paling ekstrim ke suami saya saat itu seperti ini: “Kamu hamilin aku aja deh, biar kita dibolehin nikah sekarang.”
Dan dia bilang: “No. Kalo mau nikah, ya nikah aja lewat jalan yang resmi baru punya anak.”
Ahh.. makin nyezz saat itu dengernya. Berarti dia mau bersabar sampai dapat restu dari calon mertuanya. So, kita jalani aja hari-hari dengan baik. Berusaha cari muka, jelas. Berusaha mengambil hati, apalagi.
Hingga akhirnya 4 tahun pacaran itu membuahkan hasil: kami dapat restu menikah! Rencana kami nikah di akhir tahun 2012, tapi Bapak saya yang minta di pertengahan tahun aja. “Lebih cepat lebih baik,” katanya berkali-kali.
Iih, jadi geli sendiri. Dulu ditunda-tunda, sekarang diburu-buru. Kami sendiri yang jadi rempong dengan persiapannya. Persiapan teknis, juga persiapan hati. Padahal dulu yang ngebet nikah kayaknya saya deh, tapi ketika mendekati hari-H jadi khawatirin yang enggak-enggak. But life must go on!
Orangtua saya tampak excited merancang pernikahan anak perempuannya ini. Semua harus tampak sempurna, terutama di hadapan Mama. Catering yang enak. Dekor yang bagus. Fotografer yang handal. MC yang profesional. Baju pengantin yang cantik dan elegan.
Nggih, sendiko dawuh Kanjeng Mama…
Tiga bulan setelah kami menikah, buah hati yang dinanti datang juga di rahim saya. Ini adalah cucu pertama mereka. Dan perlakuan mereka ke saya jelas istimewa! Mungkin itu bentuk care-nya sama cucu pertamanya kali ya..
Lalu setelah dinanti selama 9 bulan, Lunski akhirnya nyundul-nyundul minta dikeluarkan. Saat itu tanggal 30 Juni 2013, pukul 23.00. Kontraksi yang terasa sudah sangat luar biasa. Dan bisa-bisanya Mama bilang gini ke susternya,
“Suster, ini enggak mungkin lahir hari ini kan?”
“Enggak Bu, kayaknya.”
“Oh ya udah. Lahirnya besok aja, nunggu 1 jam lagi sampe ganti hari.”
“Lha kenapa, Bu.”
“Biar bayinya bisa jadi kado ulangtahun pernikahan mereka yang pertama. Karena besok mereka ngrayain ultah pernikahannya, Sus.”
Mamaaaa…. Anakmu ini enggak peduli kalau cucumu mau lahir kapan. Lebih cepat lebih baik. Nunggu satu jam itu sangat menyiksa. *guling-guling nahan kontraksi di kasur rumah sakit*
Sekarang ini, Lunski sudah 21 bulan. Artinya 3 bulan lagi dia 2 tahun, dan 3 bulan lagi kami memasuki usia pernikahan ke-3.
Kadang saya suka enggak nyangka bahwa lelaki yang saya perjuangkan dulu itu benar-benar jadi suami saya. Bahkan sampai sekarang saya suka membayangkan. Andai sampai sekarang saya belum menikah dengan dia, hubungan kami gimana ya? Tapi Tuhan selalu mendengarkan doa-doa saya setiap malam.
Suami saya ternyata benar. Tunggu restu dan tidak mengambil jalan pintas, maka hasilnya akan luar biasa. Restu orangtua itu paling mujarab, paling bisa bikin tenang, dan bisa bikin kaki ini tegap melangkah.

Suami saya dulu pernah bilang gini, “Kalau niatnya baik, maka Tuhan pasti merestui. Niat kita untuk menikah kan baik. Pasti Tuhan buka jalan.”
Dan… inilah kami sekarang. The Donny Aprilia’s Family!
Semoga berkat Tuhan selalu melimpah buat kami sekeluarga dan juga buat kalian semua.
Amiinn….
Perjuangan yg berbuah manis y mak…
Slm bwt sikecil yg imut imut y mak
Wah, lama juga perjuangannya ya sampai 4 tahun. Syukurlah happy ending
amin
good luck mak bwt lomba selfienya
@guru5seni8
http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com
Hihihi… geli sendiri liat foto paling atas. Si Lunski kecil-kecil udah sadar kamera aja. Cantik euy, kayak emaknya.
Alhamdulillah.. Memang yang namanya jodoh ngga pernah ke mana ya, Mbak. Mungkin orang tua punya alasan sendiri kenapa belum merestui, toh akhirnya sekarang semuanya bahagia. Yeeeeey!
ah, senangnya ya mba, kalo akhirnya direstui ^o^.. Iya, biar gimanapun restu ortu itu ptg kok…Aku jg ga mau hidupku susah kalo hrs ngelawan restu ortu.. mungkin bagi kebanyakan org yg ‘berpikiran modern’ , cara ku ini dianggab pengecut, ga mandiri, terlalu inggih-inggih , ga mw memperjuangkan cinta
Hihihihi…
Tapi apapun yg mrk bilang, aku msh termasuk org kolot yg percaya, kalo restu Tuhan itu tergantung dari restu orang tua