Dari Drama Korea, The Moffats, Sampai Teenager Parenting Style

image

Ada dua hal yang bisa bikin saya bahagia, selain anak dan keluarga, naik gaji, bonus turun, dapet job review, shopping, ditraktir, traveling, dan menang kuis. Loh, kok banyak? Iya, saya mah gampang dibuat bahagia. :))))

Balik lagi ke dua hal lain yang saya maksud tadi, yaitu drama korea dan boyband 90an.

Minggu ini, setelah dibuat mabok “She Was Pretty”, dan baru menyadari kalo Park Seo Joon itu ganteng maksimal. Lumayanlah, buat nggantiin Lee Min Ho sementara yang lagi wamil. Saya juga lagi mabok sama boyband asing 90an. The Moffats, Backstreet Boys, Boyzone, Nsync, 98 degrees, NKOTB, Westlife.

Sepanjang hari, playlist yang muter di komputer saya cuma ganti-gantian boyband itu. Ketimbang rumus phytagoras atau volume tabung, saya hafal mati semua lirik lagu-lagu mereka. Sambil kerja, berulang kali mulut ini ikutan menyenandungkan lagunya. Bahkan sore saat mandi pun, saya karaoke lagu-lagu itu dengan shower dan sabun.

Saya tumbuh remaja bersama boyband-boyband itu. Menyisihkan uang saku tiap hari demi bisa membeli kasetnya. Merengek ke orangtua untuk langganan majalah Kawanku, Gadis, Aneka Yess, demi poster dan pin-up boyband itu.

Apalah arti dari rengekan ababil itu. Saya hidup di saat ekonomi dan politik Indonesia bergejolak. PHK dimana-mana, kerusuhan disana-sini, dollar menukik naik. Beruntung bapak saya tetap bekerja dan bisa menghidupi keluarganya, meski harus ekstra irit, karena krisis ekonomi bebarengan dengan mereka ambil cicilan KPR.

Tapi euforia saya cinta boyband itu bak orang sakaw, harus tetap dipenuhi atau saya sakit karena enggak punya mega posternya untuk ditempel di tembok kamar. Maka menabunglah saya mati-matian. Mencabuti uban mama yang seperti mencari jarum di jerami, upahnya 5000 per helai. Beruntung kalau dapat 2, seringnya malah enggak dapat. Rajin main ke rumah almarhum simbah, supaya dicap cucu berbakti, sehingga tiap pulang disangoni uang. Rela anterin dan nemenin mama antri lama di dokter gigi, asal dibeliin majalah yang bonusnya poster The Moffats.

Sampai detik ini, saya tidak pernah menonton konser mereka. Sekalipun itu nonton Boyzone yang kemarin barusan konser di Indonesia. Tapi kaset-kaset mereka tidak ada yang luput dikoleksi. Kertas sampulnya diselotip supaya tidak mudah sobek, karena saya selalu membawanya ke kamar mandi. Supaya bisa mandi sambil menyanyi dan menghafal liriknya. Bravo! Bahkan Einstein pun enggak bisa bikin saya menenteng buku Fisika kemana-mana.

Yang paling konyol, saya menulis fan fiction The Moffats di sebuah buku tulis merk Big Boss. Tokoh utamanya saya dan Clint Moffats. Settingnya di Indonesia, Jerman, dan Kanada. Ceritanya tentang saya si pacar Clint yang disembunyikan dari wartawan. Bhuahahaha… Keren kan!

Gara-gara The Moffats saya pingin banget ke Jerman. Gara-gara boyband itu saya kursus bahasa inggris. Dan gara-gara boyband itu hidup saya berbunga-bunga selalu.

Beruntung saya punya orangtua yang luar biasa. Mereka selalu bisa mengikuti selera saya, membaca majalah-majalah saya, ikut mendengarkan lagu-lagu favorit saya, mengantarkan saya ke toko kaset, dan begadang bersama menonton “Meteor Garden”.

Haha, ini cerita lain lagi. Drama asia ini langsung jadi favorit kami bertiga. Kami menonton VCDnya sampai pagi, dan esoknya Mama telat bangun, Bapak telat ngantor, saya telat sekolah. Semua karena Tao Ming Tse dan Sancai! :)))

Suatu saat lagi, Bapak berbaik hati mau beliin saya kasetnya Ricky Martin si “Livin’ La Vida Loca”. Saat itu lagi heboh World Cup 1998, jelas saya enggak mau ketinggalan sama official musicnya. Tapi, pulang kerja Bapak malah beliin kaset P Project, album “Lagunya Lagu Bola”, parodi dari lagu aslinya “Livin’ La Vida Loca”. Maka ngambeklah si ababil ini sesorean. Dan besoknya, Bapak tuker kaset itu dengan Ricky Martin, demi tidak dimusuhi tuan putri kesayangannya. Kemudian, kaset itu selalu diputar sepanjang hari, sampai si tuan putri ababil punya kaset baru penyanyi lainnya.

Pernah juga saya bolos kuliah demi episode terakhir “Full House”. Mama enggak marah, justru nemenin saya nonton. Sudahlah terpampang nyata, bahwa selera drama kami sama. Entah mama yang nyama-nyamain supaya bisa lebih memahami selera anak remajanya, atau memang mama suka sama semua kesukaan saya.

Satu yang saya sadari sekarang, orangtua saya terutama Mama, berusaha kepo dan menjaga anak remajanya ini lewat pernak-pernik favoritnya. Buku yang saya baca, mama ikut baca, termasuk itu komik “Detective Conan” dan “Salad Days”. Majalah yang saya baca, mama ikut baca. Dan kaset yang saya beli, sesekali mama ikutan setel saat lagi masak.

Ajaibnya, tapi saya enggak pernah merasa mama itu rempong, mau tahu urusan anak muda. Tidak pernah ada drama masa remaja yang bergejolak penuh emosi. Justru yang saya rasa saat itu adalah, saya punya mama yang keren. Saya bisa gampang cerita artis ini-itu, dan mama selalu paham. Kami tidak hidup di dunia yang berbeda, karena mama menurunkan levelnya untuk hidup di dunia saya.

Entahlah kalau dirangkum dalam teori parenting, apalah itu namanya teenager parenting style ala mama. Tanpa google pun mama bisa masuk ke dunia saya. Dan itu yang saya pegang benar-benar sekarang.

Saya mau Luna pun melihat bahwa saya ini Ibu yang keren. Bisa masuk ke dunianya, bisa paham artis favoritnya, bisa ngikutin film kesukaannya, bisa kepo tanpa merasa direcoki, dan bisa diajak diskusi fashion terbaru.

Enggak perlu nunggu dia besok beranjak remaja, mulai dari sekarang aja.

5 thoughts on “Dari Drama Korea, The Moffats, Sampai Teenager Parenting Style

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *