Sakit di Depan Anak

Sakit di Depan Anak

Warning, postingan ini bakal banyakan curhatnya. Kalian mungkin enggak bakal dapat pengetahuan apa-apa, selain cerita kekonyolan saya.

Jadi, minggu ini adalah minggu apes dan ketidakbersahabatan saya dengan kendaraan bermotor. Setelah hari minggu, nyetir mobil sendiri bareng Luna, mau ke Alive Fusion Dining, acara Arisan Ilmu KEB, tiba-tiba mobil mogok di jalan karena overheat.

Lalu hari Kamis, mau berangkat kerja pake motor, dianter suami, dan ban luarnya sobek. Seharusnya ban diganti tapi karna itu bengkel kecil jadi enggak punya stok ban. Mau nyari di bengkel lain, masih pada tutup.

Dan hari Senin sorenya, saya kecelakaan. *zoom in, zoom out ala reality show*

Untungnya bukan kecelakaan besar. Tapi kecelakaan kecil itu sukses bikin saya gemetar dan luka serta memar di kaki. Tapi ya untungnya enggak perlu dijahit dan urusan ke kantor polisi segala. *Udah tau kecelakaan masih nyari untung. Lol.*

Ceritanya, hari itu saya ngantor pake motor. Saat pulang kerja, dalam setengah perjalanan semua masih baik-baik saja. Lalu hujan mulai pelan-pelan turun. Saya pun berhenti di pinggir jalan untuk pakai jas hujan. Saat kira-kira 3 kilometer lagi sampai di rumah, saya mencoba menyalip motor dari sebelah kiri (karena sebelah kanannya mobil), dan mengejar detik traffic light di depan. Apesnya, motor depan saya itu ternyata mau belok kiri, tanpa menyalakan lampu sign. Saya langsung tarik rem mendadak dan jatuh nyium aspal.

Saat itu langsung lemes, kaki terjepit body motor, sehingga untuk berdiri pun harus dibantu oleh orang lain. Tapi sempet-sempetnya loh, saya teringat adegan Kang Joo Eun di drakor “Oh, My Venus”, yang jatuh nabrak kaca hotel trus enggak bangun-bangun karena malu, pas ketemu mantan pacarnya lagi jalan bareng sahabatnya. Lol.

Saya juga enggak bangun-bangun. Bukan karena malu, atau keenakan tengkurep di aspal. Tapi karena lemes, enggak sanggup bangun, kaki kejepit body motor.

Keapesan saya hari Senin itu disempurnakan dengan saya yang lupa bawa handphone. Jadi saat kejadian itu, mau telpon suami pun harus minjem handphone orang. 🙁 Saya meminjam handphone mas pengendara motor yang saya tabrak itu, untuk menelepon suami.

Apes lagi, telepon saya berkali-kali enggak diangkat. Tangan saya sudah bergetar, bingung harus gimana, sementara kaki saya berdarah. Saya pun meminta tolong masnya itu untuk mengantarkan saya pulang ke rumah dengan motor saya. Lalu mbaknya (mereka ini sepasang, tampang mahasiswa, entah pacaran atau kakak-adik) saya minta ikutin di belakang naik motornya sendiri.

Tapi entah gimana, atau hanya dugaan saya aja sih… Sepertinya si mbak ini rada ogah kehujanan. Iya, jadi mereka tadi mendadak belok kiri tanpa sign karena buru-buru mau ke Kebumen, tapi enggak bawa mantel.

Tanpa si mbak ini melepas masker dan helmnya, dia berdiskusi dengan si masnya. Saya enggak begitu dengar, saya enggak begitu peduli, saya cuma pengin telepon saya segera diangkat, dia bisa bantu saya selesaiin masalah, dan saya bisa pulang. Tapi, telepon saya masih juga enggak diangkat-angkat. Padahal seharusnya dia sudah duluan sampai rumah, duduk di atas sofa yang nyaman sambil nemenin Luna nonton Bubble Guppies.

Jengkel, saya pun memutuskan untuk minta pulsanya si mas untuk sms suami saya. Saya masih sempet mikir untuk tulis sms yang tidak bernada penipuan. Yaitu sebut nama, kecelakaan di lokasi mana, dan minta dia untuk telepon ke nomor itu, segera. Bukan minta pulsa, tapi minta telepon.

Setelah sms terkirim, segelas teh hangat hadir di depan saya. Lengkap dengan kapas, rivanol, dan betadine. Semuanya dari bapak pemilik rumah yang terasnya saya duduki dengan masih merintih kesakitan.

Saya pun mencoba mengobati luka saya sendiri. Si mbak yang masih juga bermasker dan berhelm mencoba membantu, tapi tidak cukup membantu sih.. Karena luka itu seharusnya dibersihkan dulu, bukan langsung diberi betadine. Tapi niatnya saya hargai, mungkin dia hanya panik.

Sampai saya selesai membersihkan luka dan membalutnya dengan kapas, suami saya masih juga belum telepon balik. Antara kesal, sedih, dan sakit bercampur jadi satu.

Saya mau pulang!

Si mas itu berniat menawari saya mengantarkan pulang ke rumah. Sementara si mbak tetap di TKP. Lalu saat saya tanya, nanti baliknya ke sini gimana? Gampang, bisa jalan kaki, katanya.

Gantian saya yang enggak sampai hati. Tiga kilo kalau berjalan itu jauh juga. Apalagi dengan hujan yang sudah mulai deras bercampur petir.

Sudahlah, saya pasti bisa pulang sendiri, menembus hujan dengan kaki yang bonyok!

Di jalan, saya mengendarai motor dengan sangat pelan. Sementara hujan semakin deras dan petir menyambar-nyambar. Tiap petir berteriak, tangisan saya makin kencang. Kan enggak ada juga orang lain yang dengar selain Tuhan.

Saya cuma sedih, kenapa harus jatuh segala. Kenapa saat hujan. Kenapa pas lupa bawa handphone. Kenapa telepon dan sms ke suami enggak dibalas.

:(((

Sampai di depan rumah, saya biarkan motor masih di luar lengkap dengan tas saya. Saya masuk ke dalam teras dan langsung menangis keras di depan suami. Kesallllll……

Baju saya penuh ingus, karena saya menangis tiada henti. Hujan, petir, dan mati listrik di perumahan, semakin lengkap membangun suasana kelam di rumah saya. Ternyata suara petir dan hujan itu membuat suami saya tidak mendengar dering handphonenya. Dan karena gelap, mati listrik, Luna juga tidak mau lepas dari gendongannya.

Sebenarnya dia sudah ada feeling enggak enak. Kenapa sampai jam 18.00, istrinya belum sampai rumah. Mau ditelepon, tapi dia urungkan, karena ingat bahwa saya hari itu lupa bawa handphone. Lalu ditunggunya saya dengan batas waktu 18.15 kalau saya belum muncul juga, dia berniat untuk menitipkan Luna di tetangga, dan menembus hujan, mencari saya.

Belum sampai batas waktu itu, saya sudah muncul di hadapannya dengan menangis keras.

Luna bingung melihat ibunya sakit. Sesekali dia terlihat sedih dan ikut menangis. Baru kali ini saya terlihat amat buruk di hadapannya. Biasanya, sekalipun sakit demam, batuk, atau pilek. Saya tidak pernah  mengekspresikan dengan menangis atau mengeluh sakit. Tapi kali ini, semua itu tidak bisa ditahan.

Dan saya pun mengobati luka di kaki di hadapannya, sambil berteriak kesakitan. Itu satu yang akhirnya sangat saya sesali.

Karena itu ternyata membuat Luna jadi takut dekat-dekat saya, tidak mau saya peluk, dan bahkan dia tidak mau tidur dengan saya. Sakit ditolak anak itu lebih menyakitkan daripada apapun, pemirsa!

Suami saya bilang, kalau kamu berteriak-teriak saat mengobati kakimu sendiri, itu bisa bikin Luna trauma dan menolak diobati lukanya kalau besok dia jatuh.

Hhmm… iya juga sih. Mulai saat itu, tiap saya mau mengobati luka, selalu saya lakukan sendiri di kamar dan ruangan tertutup.

Sambil pelan-pelan bapaknya menjelaskan bahwa ibuk jatuh, kakinya sakit. Tapi enggak pa-pa kalau mau peluk ibuk, asal enggak kena kakinya. Dan syukurlah Luna takut sama saya cuma bertahan 2 hari saja.

Sekarang kami sudah baikan. Dia sudah mulai berani lihat kaki saya yang terluka, sambil bilang “Abuk atik… gak papa ya.. Eluk-eluk.” *mulai berkaca-kaca*

Saya tidak pernah mengeluh sakit lagi di depan Luna. Lagipula sudah mulai terbiasa dengan kaki pincang-pincang dan menikmati rasa senut-senut tiap berdiri. Mungkin saat itu Luna cuma sedih dan takut, tapi tidak tahu bagaimana mengekspresikan.

Hingga tiba-tiba suami saya bilang, “Nangismu kemarin itu lebay tauk. Gara-gara kebanyakan nonton drama korea. Padahal sakitnya enggak sesakit dulu pas kamu jatuh dari motor 4 tahun yang lalu kan?”

Nggg…. iya sih. Dulu saya juga pernah jatuh sendiri dari motor, gara-gara ngerem mendadak, roda kena pasir. Kaki kanan saya memar dan kesleo parah. Sampai enggak bisa jalan dan lama sembuhnya sampe berbulan-bulan. Bedanya, kejadian itu dulu pas baru 1 bulan nikah. Masih mesra-mesranya dan belum punya anak. Nangis kesakitan tengah malem dihibur. Enggak bisa jalan, digendong.

Sekarang…..? -_______-

Jadi kesimpulannya… Siapa bilang sih jadi ibu enggak boleh sakit. Bolehh… Kalau enggak boleh, keren banget, superwoman anti sakit. Meski agak keteteran dan berantakan, tapi semua pekerjaan rumah tangga pasti bisa kehandle tanpa kita perlu memaksakan diri mengerjakannya. Hari gini, suami kan juga musti paham urusan rumah tangga. Toh selama saya sakit, dia bisa menghandle pekerjaan rumah tangga dengan amat baik, plus mengantar-jemput Luna di daycare, dan saya di kantor.

Cuma, saat ibu sakit, sebisa mungkin tidak mengeluh sakit di depan anak, apalagi kalau anaknya masih batita. Mereka masih mudah untuk trauma. Efeknya, bukannya dia bakal empati, tapi malah takut dan menolak dekat-dekat kita. Tidak ada yang lebih sakit, ketimbang ditolak anak. 🙁

Dan terakhir, naik kendaraan apapun harus hati-hati. Enggak usah buru-buru, apalagi ngebut. Cek kendaraan sebelum berangkat. Dan jadi perempuan harus tau mesin juga, minimal bisa buka kap mesin mobil.

Sekian curhatnya. Mau ngobatin kaki dulu. Bhay!

8 thoughts on “Sakit di Depan Anak

  1. Ya ampun mbak, bertubi2 gitu ya. Kalau saya di posisi mbak pasti gitu juga kali ya. Kasihan si Luna, pas lihat Ibuknya nangis ikut nangis nggak mbak. Semoga kakinya segera sembuh ya.

  2. Y allah mbak..cepet sembuh ya..aq ga kebayang kalo kecelakaan oas diperantauan.pernah kclakaan zaman msh gadis soalny.jd blm ada anak.jgn smpe kecelakaan lagi deh-_-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *