Banyak yang berpendapat, bahwa orangtua tidak boleh memberi nama julukan untuk anak. Karena itu akan mempengaruhi psikologis anak.
Setuju?
Saya punya cerita, Bapak saya suka sekali memberi nama julukan ke anak-anaknya. Tapi bukan nama julukan yang berkonotasi negatif, seperti “Pelit”, “Kriting”, “Gendut”, dan lainnya. Bapak mengarang nama sendiri buat anak-anaknya. Padahal nama yang tercatat di akta itu ya karangan Bapak, tapi setelah anaknya gede, panggilannya beda dengan yang di akta.
Bapak saya suka memanggil saya dengan panggilan “Genon”, adik saya yang namanya Diga dipanggilnya “Digong”. Panggilan yang tidak punya arti apa-apa, tapi dulu saya sebel banget kalau Bapak memanggil “Genon” saat teman-teman saya sedang di rumah.
Bapak boleh panggil Genon, asal enggak ada orang lain di rumah! Yang boleh tahu panggilan Genon cuma Mama dan adik saya. Titik!
Lalu suatu saat, Bapak yang pecinta aneka macam olahraga ini, jadi kapten tim sepakbola kampung. Menjelang tanding tujuhbelasan, Bapak punya ide untuk membuat kaos seragam sepakbola. Nomornya terserah, nama punggung juga terserah. Pendaftaran di Bapak, dan nanti Bapak yang akan memesankan kaosnya.
Tahu nama apa yang tercantum di punggung kaos Bapak?
G-NON
Yes! That’s my embarrassing nickname!
Ya ampunn.. Bisa bayangin perasaan saya yang saat itu masih berusia 14 tahun? Yes, malu. Protes tapi Bapak malah cengengesan. “Udah jadi, susah nglepasnya,” katanya.
Lalu Mama menenangkan dengan berkata bahwa itu artinya Bapak sayang sama kamu. Dan kalau dipakai di luar pun enggak ada yang tahu arti “G-Non” itu apa.
Semenjak itu saya berjanji, tidak akan memberi nama alias atau nama julukan untuk anak saya kelak.
Ya janji. Dan kenyataannya?
Kalau kalian perhatikan di beberapa postingan saya sebelumnya, atau di foto instagram, kadang saya suka menyebut Luna dengan panggilan “Lunski”.
Enggak ada artinya. Lucu aja. Tapi sekarang udah jaranggg … banget.
Lain lagi dengan suami saya, yang kalau Luna mulai bertingkah, berulah, ngeyelnya keluar, tantrumnya kumat, kadang dia suka memanggilnya dengan nama “Paijem”. Sampai sekarang.
Sama, “Paijem” juga tidak punya arti apa-apa. Bukankah di luar sana, ada juga orang yang namanya Paijem?
Sekarang sih Luna masih kecil, belum bisa protes. Entah besok ketika dia mulai bertumbuh besar. Saya harus siap menghadapi kalau Luna bakalan protes dengan panggilan “Lunski” atau “Paijem”nya, seperti saya dulu.
Barusan saya melakukan survey kecil-kecilan ke beberapa temen. Ternyata kebanyakan temen saya juga punya nama julukan yang hanya diucapkan oleh orangtuanya. Contoh kecilnya, “Wowot” untuk nama Wiwit. Dan sama, temen saya itu juga malu dengan julukan karangan Bapaknya. Baru setelah dewasa sekarang ini aja dia berani bercerita tentang nama julukan yang “aneh” itu.
Dan kesimpulan sementara saya adalah … yang hobi memberi nama julukan ke anak adalah Bapak. Seperti Bapak saya yang sampai anak gadisnya ini udah segede ini masih suka manggil saya “Genon” kadangkala “Bu Genon”. Juga suami saya yang suka manggil Luna, “Paijem”. Dan bapaknya temen-temen saya yang memanggil anaknya dengan nama julukan yang aneh.
Padahal dulu yang ngasih nama siapa … Yang ngurus akta kelahiran, sementara ibu-ibu ini masih tiduran nyusuin anaknya, juga siapa … Eh, setelah anaknya gedean dikit, panggilannya sudah beda dengan nama di akta. -____-
Tapi semua itu bikin saya tidak jadi anti dengan memberi nama julukan ke anak. Karena setelah dewasa saya baru menyadari, bahwa julukan “Genon” ke saya itu panggilan sayang Bapak ke saya. Mama tidak pernah sama sekali memanggil saya Genon, cuma Bapak. Dan benar kata Mama dulu, nama punggung “G-Non” di kaos bolanya Bapak itu salah satu wujud Bapak sayang sama saya.
Sama juga nama julukan “Lunski” atau “Paijem” ke Luna. Jelaslah, itu tidak punya maksud negatif atau yang lainnya ke Luna. Kami masih lebih sering memanggilnya, “Luna”. Dia pun masih lebih aware dengan panggilan Luna ketimbang Lunski. Tapi kalau lagi enggak dengerin, dipanggil Luna seribu kali enggak nengok. Eh, giliran dipanggil Paijem baru deh dia nengok. LOL.
Menurut saya memberi nama julukan ke anak, boleh-boleh aja, asalkan …
- Nama julukan itu tidak punya konotasi negatif, seperti “Pelit”, “Kurus”, “Gembrot”, dan macam-macam. Bagaimanapun, nama itu tetaplah doa. Kalau anaknya besok jadi orang yang pelit sampai dia dewasa gimana?
- Tidak memanggil anak dengan nama julukan, di hadapan orang lain. Hargai perasaannya. Kalau kita paksakan dia untuk memahami bahwa itu panggilan sayang, percayalah, anak tidak akan mengerti. Dia baru akan menyadari setelah dewasa nanti.
- Harus inget nama anak, termasuk nama lengkapnya. Enggak lucu kan, keseringan manggil mereka dengan nama julukan atau nama lain, eh … giliran ngisi kolom nama anak, kita lupa nama lengkapnya. LOL
Gimana nih yang lain? Ada yang mau nambahin?
Atau ada juga yang punya nama julukan dari orangtuanya? Atau memberi nama julukan ke anaknya?
Masih perlu banyak belajar nih..
Betul Mbak, nama anak harus positif begitu pula dengan nama julukan yang harus positif pula.
aku jg ngasih julukan bwt si ken, jd shifu, artinya guru besar, hehe,
btw bapaknya gokil amat ya mbak, hahayyy
Aku salah seorang yang suka kasih nama julukan sama orang. Adik aku namanya Widodo aku panggil Guduk. Keponakan namanya Selovia aku panggil Opil. Sepupu namanya Fian dipanggilnya Piucul. Nama julukan datengnya spontan aja, yang terdengar unik, hihi
Anak-anak saya keduanya nicknamenya bukan nama asli. Akbar menjadi Maxy, Damara menjadi Dema. Tapi, kedua nicknamenya bukan nama olok-olok sih, krn ada sejarahnya 😀
aku gak punya julukan dan anak-anakku juga gak punya nama julukan
iya bener mba, julukan ke anak asal positif ga apa2 ya.. aku dulu ga ada julukan dari orangtua tapi dari temen2 itu yang selalu ngasih julukan tapi sifatnya negatif -_-
senengnya manggil nama asli aja… ga mau pake julukan, biar anaknya juga bangga dengan nama pemberian kita..
nama asli ato julukan pastinya harus nama yg baik, karna nama itu doa.. 🙂
aku jg julukannya bnyak hehe tpi positif smw artinya
kalo saya sih tetap manggil nama aslinya hehehe