Melepas Gelar Batita

Melepas Gelar Batita

Saya sudah tidak punya anak batita lagi. Tepat di hari ini, si mantan batita itu sudah berusia 3 tahun. Dia sudah bisa ngeyel, keras kepala, jago dealing dan lobbying untuk mendapatkan keinginannya, dan sudah jago acting dengan air mata buayanya.

Siapa sih yang menyadari bahwa tiba-tiba dia gede begini. Kayaknya baru kemarin ngeden-ngeden di rumah sakit, sekarang udah ceriwis. Dan yang paling keliatan adalah ketika melihat-lihat album fotonya, dulu dia berambut cepak pendek kayak anak cowok, sekarang panjang lurus berponi. Kalau ganjennya kumat, minta dikucir dua serta sesekali minjem rol rambut ibuknya.

Dulu tidak pernah terbayang bakal punya anak cewek yang secentil ini. Jujur saja, saya mengharapkan anak laki-laki sebagai anak pertama. Tapi Tuhan berkehendak lain, dan saya juga belum kenalan sama kalender cina yang konon katanya manjur itu. Besok kalau sudah program anak kedua, akan saya buktikan kemanjurannya yaa..

Setelah menikah dulu, sebenernya kami tidak ingin cepat-cepat punya anak. Paling enggak, ada waktu setengah tahun-lah untuk seneng-seneng berdua, setelah itu baru ngurusin kehamilan dan segala tetek-bengeknya. Tapi niat itu tidak pernah disampaikan ke orangtua, karena sebenernya kami tahu mereka mengharapkan cucu. Apalagi mama saya, tiap saya pulang dulu selalu ditanya, “Kamu masih haid?”. Dan ketika saya jawab “Masih”, raut wajahnya berubah kecewa. Kemudian saya abaikan karena memang saya belum pengin hamil.

Sampai suatu ketika, tetangga perumahan yang satu gang bikin acara jalan-jalan ke pantai bareng keluarga. Mereka semua pergi bersama anaknya. Lah kami.. cuma jalan berdua kayak orang pacaran. Mulailah muncul rasa kepengin di hati saya. Pengin punya anak, pengin jalan-jalan bertiga sama anak, pengin enggak keliatan kayak mahasiswa masih pacaran lagi, pengin dipanggil “ibu” sama kasir supermarket dan bukannya “mbak”.

Hahaha… serius. Dulu pas hamil Luna, pertama kali disapa “ibu” sama kasir supermarket. Dan rasanya hepiii banget, karena berarti “aku udah pantes jadi ibuuuu….” Meski sekarang, mengharap lagi dipanggil “mbak” dan disangka mahasiswa. Lol

Melepas Gelar Batita

Akhirnya 3 bulan setelah menikah saya hamil. Dan Puji Tuhan, saya tidak merasakan mual yang berlebihan atau ngidam yang aneh-aneh. Hanya benci bau-nya sambal di atas ulegan dan pengin jeruk bali yang masih utuh belum dikupas.

Selama hamil, saya tetap beraktivitas kerja normal seperti biasa, diantar-jemput suami. Tapi pernah suatu kali saya naik motor sendiri sejauh 35 kilometer untuk janjian sama temen-temen dari kantor lama. Dari ujung barat ke ujung timur. Perasaan sih.. dulu biasa aja, enggak ngerasa itu jauh dan enggak ngerasa itu hebat. Tapi kalau sekarang, kondisi enggak hamil pun, saya mikir.. mending naik mobil-lah.. daripada motoran. Hahaha.. Iya, saya sekarang semanja itu.

Ohya, hamil Luna dulu juga bikinsaya gagal ngrasain main Paint Ball. Saat itu kantor saya bikin acara gathering di Bandungan. Salah satu acara serunya adalah Outbond dan Paint Ball. Dan saya ngapain? Ikut dateng tapi pegang kamera doang. Enggak bisa ikut lari-lari, basah-basah, apalagi tembak-tembakan. Tapi tanpa sadar kadang saya ikutan lari buat ambil gambar, atau bersorak loncat-loncat ketika ada yang ketembak. Hingga diingetin temen, bahwa saya sedang hamil.

Sayangnya, sampai sekarang belum kesampaian juga main Paint Ball.

Melepas Gelar Batita

Di trimester kedua, saya juga pernah mengajak Luna perjalanan panjang serta jauh, mudik ke Banyuwangi. Ditempuh selama 12 jam perjalanan darat dengan mobil. Sebenernya, ibu mertua melarang, tapi sayanya ngeyel. Buat meyakinkan, saya minta approval dari obsgyn. Dan syukurlah… Luna dan saya baik-baik saja. Meski setelah sampai hotel di Banyuwangi, saya muntah-muntah hebat.

Dan ketika di trimester akhir, saya harus merasakan LDR selama kurang lebih dua bulan. Saya di Jogja, suami di Jepara. Tiap Jumat malam dia sampai Jogja, dan Senin pagi harus berangkat lagi ke Jepara. Karena enggak mau sendirian di rumah, saya ngungsi ke rumah orangtua. Dan berangkat kerja, (lagi-lagi) naik motor sendiri dengan perut buesar.

Baca juga: Tips Menjalani LDR dengan Suami

Iya, perut saya dulu emang buesar banget, enggak sepadan dengan badan saya yang kecil. Selama hamil, saya hanya naik 8 kilo. Padahal Luna di perut sudah masuk kategori overweight. Kalo kata Obsgyn, plasenta di dalam membuat semua yang saya makan masuknya ke anak, bukan ke tubuh ibunya. Satu sisi seneng sihh.. jadi terpicu untuk makan makanan sehat demi anak. Tapi sisi lain, khawatir juga kalau enggak bisa lahiran normal karena anaknya kegendutan. Hingga akhirnya, di usia kehamilan 7 bulan saya disuruh diet, supaya besok lahirannya gampang dan bayi enggak kegendutan.

Lalu di usia kehamilan 38 minggu,Obsgyn mendapati detak jantung Luna melemah. Dan malam itu, saya dirujuk langsung ke rumah sakit untuk rekam jantung. Kalau kondisinya tetap atau memburuk, harus segera operasi malam itu juga. Jelaslah itu bikin geger satu rumah. Dan ternyata itu karena saya belum makan malam serta leher Luna terlilit tali pusat.

Saat itu sempet ada kondisi tegang antara Bapak saya dan Obsgyn. Karena Bapak mengharapkan semuanya selamat, jadi lebih baik operasi aja sekarang juga. Sedangkan Obsgyn merekomendasikan untuk ditunggu kontraksi normal-nya dulu aja, karena semuanya sudah normal kembali. Obsgyn saya sabar banget, dia udah biasa menghadapi orang-orang panik. Katanya ke saya setelah Bapak keluar ruangan, “Biasanya, kalau cucu pertama yang lebih panik eyangnya, ketimbang orangtuanya sendiri.”

Lol. Bener dokk…

Dan… Tiga tahun yang lalu, lahirlah si bayi Aluna, tanggal 1 Juli 2013 melalui persalinan normal. Luna lahir tepat di ulangtahun pernikahan kami yang pertama. Ya, jadi sekarang juga anniversary kami ke-4. Hihihi.. yang mau ngado, double yaa..

Baca juga: Menanti 1 Juli

Tapi sayang, Luna terpaksa harus mondok di RS selama 5 hari, sedangkan saya diperbolehkan pulang. Karena Luna sakit infeksi saluran pencernaan. Awalnya karena dia tidak pipis seharian, dan selalu muntah tiap diminumin ASIP.

Rasanya sedih bangett.. tiap malam pumping sambil nangis. Dan jam 10 malam, suami mengantarkan ASIP ke rumah sakit sambil menengok Luna. Sejenak dia mampir ke ruang doa di rumah sakit untuk mendoakan kondisi anak kami. Berharap dia segera pulang dan bisa bikin rame rumah dengan tangisannya.

Meski sekarang, tiap denger dia nangis saya jengkel sekali. “Hishh.. Ibuk cuma nglarang kamu lompat tinggi-tinggi, kenapa kamu malah nangis keras sekali.”

Melepas Gelar Batita

Iya, saya ibu yang cerewet. Ibu yang bawel. Ibu yang ribet. Ibu yang impulsif tiap lihat baju dan mainan anak. Ibu yang sering berantem sama anak perkara fashion. Dan kami adalah sepasang ibu dan anak yang sama-sama keras kepala.

Gimana enggak gemes coba sih.. kalau Luna ngotot make piyama untuk pergi ke gereja. -___-

Ah, anakku… kamu udah gede sekarang..

“Luna, selamat ulangtahun yang ketiga ya sayang. Ibuk memang bukan ibu yang sempurna. Tapi ibuk akan berusaha memberikan cinta yang sempurna buat kamu.”

10 thoughts on “Melepas Gelar Batita

  1. Happy Born day Luna,, seperti mak noni,, saya juga memiliki calon mantan batita tanggal 17 juli nanti ^_^ semoga selalu menjadi anak yang sehat, pintar, cerdas, ceria ya luna :*

  2. Lunaaaa selamat ulang tahun cantiiikkk <3

    Semua yang terbaik buat Luna, makin sehat, pinter, cantik menawan hati, baik budi, tak kekurangan suatu apapun.

    You're a truly good mom, Mba Non :')

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *