Menjadi #Relationshipgoal Bagi Anak Kita

Menjadi Relationship Goal Bagi Anak Kita

Lagi-lagi tentang Karin. Semoga kalian tidak bosan melihat timeline bersliweran membahas gadis ABG ini.

Sudah 4 hari terakhir, enggak di kantor, di rumah, di grup whatsapp, bahkan di sosmed, kami membahas Karin tiada henti. Termasuk dengan suami. Tapi bukan tentang “bagaimana menjadi orangtua yang baik, supaya besok anak kami tidak seperti Karin.” Melainkan bagaimana kami berdua bisa menjadi #relationshipgoal bagi anak-anak kami nantinya.

Melihat hubungan Karin Novilda dan Muhammad Gaga yang dijadikan #relationshipgoal bagi anak-anak ABG, tapi sayangnya relationship itu cuma seumur jagung. Lalu, masa iya yang namanya #relationshipgoal itu seperti itu. Pastinya enggaklah..

#relationshipgoal yang baik dan benar itu seharusnya ada di pasangan orangtua kita masing-masing. Kalau orangtua anak-anak kita, ya berarti #relationshipgoal mereka adalah kita.

Sekarang saya mau cerita dikit tentang orangtua saya dulu. Mereka bukanlah pasangan sempurna, bukan pasangan romantis yang tiap ada anggota keluarga ulangtahun selalu dirayakan atau diucapin selamat ulangtahun. Mereka bukan orangtua yang selalu mendisiplinkan kami untuk berdoa bareng bersama keluarga. Mereka juga bukan pasangan yang adem ayem tanpa masalah.

Mama dulu menikah di usia yang masih muda, 20 tahun. Sebulan nikah, langsung hamil saya. Jadi, Mama kuliah dengan berbadan dua sampe enggak bisa duduk di kursi lipat yang ada mejanya.

Dulu sebelum saya menikah Mama pernah bilang, menikah itu manisnya cuma di awal, karena 1 atau 2 bulan selanjutnya kamu akan melihat pasanganmu yang sebenar-benarnya. Mama bilang begitu bukan tanpa alasan, tapi karena memang Bapak sangat berbeda ketika masih pacaran dulu. Dan itu membuat Mama sedih, stres, menyesal menikah muda, dan berulang kali mengancam akan pulang ke rumah orangtua. Tidak jarang saya melihat Mama nangis, mengepaki baju dan mengajak “Sana, kamu juga packing, kita ke rumah Mbah.” Tidak jarang juga saya mendengar atau dada tersentak kaget serta takut, karena melihat mereka berdua bertengkar keras dengan kata-kata kasar.

Tapi yang namanya pernikahan, “yang sudah dipersatukan Tuhan tidak bisa diceraikan oleh manusia.” Jadi, saya benar-benar melihat bagaimana proses pendewasaan hubungan itu terjadi di antara mereka. Mama perlahan menjadi istri yang enggak terlalu sensitif dan manja. Dan Bapak perlahan juga menjadi suami yang enggak terlalu dominan, enggak keras secara fisik ataupun perkataan, dan bisa lebih lembut pada istri serta anak-anaknya.

Semuanya berjalan begitu saja. Tanpa terapis, tanpa konsultan, tanpa pemuka agama, melainkan orangtua mereka masing-masing yang menjadi tempat mereka bercerita.

Namanya ibu, pasti punya kepekaan pada anaknya. Dan almarhum Mbah Putri (ibunya Mama) selalu tahu dan peka, ketika Mama dan Bapak bertengkar hebat. Seringkali almarhum Mbah Putri tiba-tiba nongol di rumah, 30 menit atau 1 jam setelah mereka bertengkar. Apa itu namanya kalau bukan feeling yang kuat dari seorang ibu?

Tapi setelah melihat anaknya menangis dan curhat karena disakiti oleh suaminya, beliau tidak pernah mengajak Mama untuk pulang saja ke rumah mereka. Almarhum Mbah Putri justru menyuruh Mama tetap di rumahnya dan menyelesaikan masalahnya pelan-pelan. Entah apa jadinya kalau saat itu almarhum Mbah Putri ikut campur dalam masalah mereka dan menyuruh Mama balik ke rumah ortunya. Bisa jadi saya ada di keluarga broken home.

Lantas mereka tetap menjadi #relationshipgoal saya?

Sebenernya enggak juga. Karena yang namanya goal itu pasti yang sempurna. Sedangkan di dunia ini, tidak ada pasangan yang sempurna. Begitupun orangtua saya.

Kalau mengutip kata-kata dari teman saya dulu, “Setiap orang pasti punya ‘luka’ dengan orangtuanya dulu. Baik itu ‘luka’ karena disakiti dalam bentuk apapun, juga ‘luka’ karena orangtua tidak sesuai dengan harapan kita.”

Kita berharapnya orangtua bisa bareng terus sampai maut memisahkan, tapi ternyata kok enggak. Kita berharapnya orangtua itu baik terus ke kita, apa-apa diturutin, setiap curhat didengerin, selalu bisa update tentang pergaulan kita, tapi kok enggak juga ya. Kita berharapnya orangtua itu selalu sweet ke anak-anaknya, tapi bahkan ultah kita pun mereka lupa. Atau kita berharap orangtua rejekinya lancar, tapi kenyataannya kita tidak tinggal di keluarga yang bergelimang harta, sekalipun kita tahu mereka sudah bekerja keras.

Sejak kita lahir dulu, kita enggak bisa milih pengin dilahirkan oleh keluarga mana. Penginnya sih, keluarga A, kayaknya kok hidupnya enak banget, orangtuanya rukun, bahagia, enggak riwil, dsb. Kalau kata orang Jawa itu namanya “wang sinawang”. Kita sering menginginkan berada di posisi orang lain, padahal belum tentu orang lain itu bahagia, karena dia juga pengin berada di posisi orang lain juga.

Kesimpulannya adalah, saya tidak menjadikan orangtua saya sebagai satu-satunya #relationshipgoal saya. Tapi saya belajar banyak dari hubungan mereka dan juga hubungan pasangan keluarga lain (khususnya orangtua teman-teman saya). Kemudian dari situ, saya menyatukannya dan menjadikannya sebagai #relationshipgoal keluarga saya pribadi.

Saya belajar bahwa jika bertengkar dengan pasangan, kita tidak boleh pulang ke rumah orangtua, apalagi curhat ke teman lawan jenis.

Karena sekali kita melangkahkan kaki keluar dari rumah, maka masalah justru akan jadi runyam. Misalnya orangtua jadi ikut campur dan memperkeruh suasanya, membela anaknya mati-matian, padahal anaknya juga salah. Pernikahan juga mengajari untuk dewasa. Sehingga tidak apa-apa lantas kita ngadu ke orangtua.

Saya akui sih, saya pernah seperti Mama yang berkata “pulangkan aku pada orangtuaku..” yang tentunya tidak pernah dibolehkan sama suami. Saat mengucapkan “aku mau pulang” sebenernya dalam hati, “Ini enggak seriuss… ini cuma ancaman aja. Karena kalau beneran pulang ke rumah orangtua juga enggak mauuu..” Hahaha… *ketauan sama suami deh.. oke fiks, besok kalo berantem enggak boleh pake ancaman ini lagi.

Saya belajar untuk tidak bertengkar keras dengan kata-kata kasar di depan anak.

Saya masih ingat betul bagaimana rasanya dulu ketika mendengar mereka bertengkar keras sampai menggebrak meja. Jantung ini berdegup kencang sekali, takut kalau ada sesuatu yang lebih buruk terjadi. Lalu efeknya adalah saya kalau bertengkar juga seperti itu. Berteriak keras, berbicara kasar, dan menggebrak meja atau membanting pintu dengan keras.

Pernah sekali waktu, kami bertengkar keras di depan Luna. Dan Luna sangat ketakutan, dia menangis bingung harus “membela” siapa. Sehingga dia cuma teriak “Ibuk…,” “Bapak…”

Setelah itu saya menyesal banget. Saya menginginkan Luna dapat melihat kami sebagai salah satu #relationshipgoal-nya kelak. Tapi kalau saya bertengkarnya aja begini, tidak bisa mengelola emosi dengan baik, apa yang bisa dicontoh.

Saya ingin menjadi orangtua yang selalu sweet ke anak-anaknya.

Selalu merayakan setiap momen bahagia bersama-sama. Apapun itu. Tidak hanya ucapan selamat ulangtahun saja, tapi juga pencapaian-pencapaian lain dalam pribadi kami masing-masing.

Tidak harus dengan makan-makan mewah atau yang mengeluarkan banyak uang. Sekadar memuji, mengapresiasi, memeluk, mencium, dan mengucapkan selamat dengan hati tulus sudah menjadikan kita orangtua yang sweet ke anak. Kalau biasanya bentuk afeksi seperti ini dilakukan oleh ibu, tapi sekarang seharusnya tidak lagi. Ayah pun bisa menunjukkan afeksi sweet ini ke anak-anaknya.

Saya tidak malu menunjukkan keromantisan kami berdua di depan anak.

PDA menurut saya itu boleh. Apalagi kalau sudah sah kayak begini, duh.. rasanya pengin PDA biar orang-orang yang masih saja menunda-nunda menikah, jadi kepengin menikah. Hahaha…

Kalau ada orangtua yang tidak memperbolehkan anaknya melihat orang berciuman (I mean, ciuman bibir yaa..) termasuk itu orangtuanya. Sedangkan tidak buat kami. Kalau kami mau ciuman, ya ciuman aja di depan anak. Tapi tentunya bukan ciuman yang hot yaa… Melainkan ciuman romantis yang menunjukkan rasa kasih sayang.

Tujuannya sederhana, yaitu supaya mereka tahu bahwa kami saling mencintai. Karena seringkali kehectic-an urusan rumah tangga membuat kita lupa caranya menjadi romantis. Dan saya meyakini, dengan menjadi pasangan yang romantis di depan anak-anak, maka mereka akan menjadi romantis juga dengan orangtuanya.

Kalau PDA dan romantisnya itu udah sah.. malah lebih keliatan keren kan.. dan jelas itu baru namanya #relationshipgoal.

Baca juga: Suami Romantis Ituu..

Saya belajar untuk tidak malu mengucapkan kata “maaf”.

Jujur deh, kata satu ini susaahh.. banget diucapkan. Saya tidak dibesarkan oleh orangtua yang rajin mengucapkan maaf ketika melakukan kesalahan. Saya tidak pernah mendengar Bapak mengucapkan maaf ke Mama, begitupun sebaliknya. Lalu sekarang, saya menjadi seperti itu. Ketika bertengkar dengan pasangan, saya juga nggak bisa bilang maaf. Meski tahu bahwa saya juga salah.

Apa iya, saya lantas mengharap Luna untuk berani berkata “maaf”, padahal saya sendiri juga ogah untuk ngomong “maaf” ke suami. Harus diawali dengan kita memberi contoh kepada pasangan masing-masing kan..

Baca juga: 10 Kebiasaan yang Harus Diajarkan Ke Anak

Saya belajar untuk menjadi istri atau perempuan yang nurut sama suami dan bisa dengan tulus melayani suami.

Pernah suatu kali saya dan salah satu teman membahas begini, “zaman sekarang istri-istri itu kenapa pada ‘beranian’ sama suami ya..” Termasuk kami juga. Meminta suami untuk mengerjakan ini-itu, menuntut suami juga untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi apa itu salah?

Enggak. Karena sekarang era-nya berbagi peran. Enggak jarang kan sekarang kita sering lihat suami lagi jemurin cucian di depan. Cuman sayangnya, pembagian peran ini kadang suka kebablasan, sehingga terkesan istri jadi ‘beranian’ sama suami. Merasa bisa ikut menghasilkan uang, atau merasa sudah melakukan ini-itu. Lalu menuntut suami untuk juga mengerjakan ini-itu.

Bukankah seharusnya suami-istri adalah pasangan yang bisa saling menghormati dan menghargai?

Saya berusaha untuk selalu jujur pada pasangan, tentang apapun juga.

Termasuk urusan keuangan. Misalnya, barusan dapat arisan, trus di rumah adem ayem aja enggak cerita ke suami. Atauu.. diem-diem tanpa ijin suami membeli suatu barang. Semurah apapun barang itu, sesedikit apapun kita dapat rejeki, menurut saya, kita HARUS cerita ke pasangan.

Jangan kita hanya tahu bahwa “kebutuhanku sudah dipenuhi suami”, lalu selesai. Darimana suami mendapatkan uang tersebut, hayo? Bener semuanya halal? Apapun kondisinya, misal terpaksa harus berhutang, ya masing-masing harus saling tahu, saling jujur.

Saya jadi tahu bahwa pasangan yang baik adalah yang bisa membawa kita menjadi pribadi yang lebih baik.

Enggak penting deh, cakepnya ngalahin Tyler Posey, atau kayanya setara sama pangeran Arab, atau juga romantisnya seperti pangeran di kerajaan-kerajaan ciptaan Disney, atau kerjanya jadi bos di perusahaan multinasional dengan gaji 10 digit. Semua itu jadi enggak penting ketika ngomongin #relationshipgoal.

Yang penting, apakah ketika kita bersamanya, pribadi kita menjadi lebih baik? Lebih kreatif, lebih sabar, lebih lembut, lebih teratur, lebih rapi, lebih rajin berdoa dan beribadah, lebih sering inget sama Tuhan atau enggak. Dan sebagainya.

Trus jadi inget berita di Line Today. Bahwa Gaga mutusin Karin karena disuruh ibu, karena akhlak Karin enggak baik. Nahh… enggak tau bener atau enggak. Tapi ketika hubungan tidak membawa masing-masing menjadi lebih baik, yaa…. udah enggak keren lagi. Bukan #relationshipgoal lagi.

Saya belajar untuk menjadi orangtua yang selalu update tentang kesukaan anak.

Seperti Mama saya dulu yang sukanya baca majalah Kawanku, untuk tahu artis idola dan tren fashion anaknya seperti apa. Semuanya supaya Mama bisa deket dengan dunia saya, sehingga saya tidak segan untuk cerita apapun tentang kehidupan ABG saya.

Hasilnya memang iya sih.. Mama orang pertama yang tahu, saya abis jadian sama siapa. Atauu.. gebetan saya yang baru namanya siapa. Atauu.. cowok yang barusan nelpon ke rumah itu, taksiran saya. *ketauan taksirannya banyak*

Lalu Mama cerita ke Bapak, dan mereka berdua tidak menjudge saya macam-macam. Mereka berdua pernah muda kan.. tahu gimana kehidupan ABG itu. Asal enggak kelewat batas dan masih dalam norma kesopanan.

Itu beberapa #relationshipgoal saya. Sehingga Luna besok bisa melihat bahwa orangtua gaul. Bukan gaul secara penampilan, tapi gaul secara pemikiran dan pergaulan.

Baca juga: Dari Drama Korea, The Moffatss, Sampai Teenager Parenting Style

Inti dari semua tulisan saya adalah #relationshipgoal itu susah diciptakan, tapi bisa diusahakan. Kalau kita punya “luka” dari kehidupan orangtua kita kemarin, bukan berarti #relationshipgoal tidak bisa terbentuk. Karena tidak ada pasangan yang sempurna. Tapi kita bisa mengusahakannya menjadi sempurna dengan belajar dari pasangan-pasangan yang lain.

Tulisan ini juga jadi self reminder bagi saya sendiri, yang usia pernikahannya masih seumur jagung, tapi punya cita-cita membangun bahtera rumah tangga dengan orang yang sama, selama-lamanya.

Jadi, sudahkah kalian mencium suami/istri kalian hari ini?

15 thoughts on “Menjadi #Relationshipgoal Bagi Anak Kita

  1. Sudaaaaaah #eh…
    Memang paling penting dalam pernikahan adalah keterbukaan ya mak. Seneng karena apa apa bisa diceritakan. Dua belah pihak juga lebih percaya sama pasangan. Iiih keren deh #relationshipgoal nya :*

  2. Suka sama penjabarannya. Pertama dari sisi anak akan pengertiannya kepada ortu. Lalu dilanjut dari sisi ortu ke anak.

    Aq sendiri lebih suka bgian pertama karena pembahasan dari anak ke ortu jarang sekali dibahas.

  3. Sukaaaa sekali dengan tulisan mama editor ibu luna ini.
    Sebuah harapan untuk senantiasa memberikan yang terbaik untuk keluarga especially anak
    Memantaskan diri untuk menjadi contoh yang baik dan panutan yang tangguh untuk anak
    Mencium pasangan setiap hari, wooow, wajib dong

  4. Baru ini seneng banget baca ulasan ttg abg itu hehe. Krn biasanya yg jadi sorotan hanya pribadi si abg saja. Jarang ada yg bicara #relationshipgoals nya. Well, saya setuju sama smua poin d atas. Sekalipun kita bukan dibentuk dr pernikahan org tua yang mulus (ya krn emang gada pernikahan yg mulus 100% sih hehe) , tapi smuanya bisa kita usahakan ya Mbak 🙂

  5. Gak perlu jadi panutan semua orang, asal anak sendiri melihat kita dan pasangan sebagai acuan itu udah seneng banget ya.

    Saya juga banyak belajar dari hubungan orang tua saya. Yang baik diambil. Yang jelek dibuang aja.

  6. Memang menjadi orang tua digenerasi kedepan kudu menyesuaikan dengan zaman yah,,
    Nggak terus bilang “dulu, bapak itu kalau belajar,,,blablablabla”

    Berbuat baik untuk diri sendiri, bisa jadi contoh untuk sekitar – terutama anak ^_^
    kerenlah mbak postingannya..

  7. Suka tulisannya mbak. Meski pernikahan orang tua kita bukan tanpa cacat, tapi kita tentu saja bisa banyak belajar dari perjalanan kehidupan pernikahan mereka. Akhir2 ini saya dan suami berpikir untuk our future children kami ingin memberikan compliments (tentunya di waktu dan kondisi yang tepat) karena kami menyadari kami berasal dari keluarga yang bahagia tetapi tidak terbiasa dengan memberi pujian. 🙂 Thanks for sharing! Salam kenal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *