Begini Caranya Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Begini Caranya Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Mumpung masih gres nih, saya mau berbagi cerita event yang saya hadiri 6 hari yang lalu.

Jadi, sejak sebelum lebaran saya dapat undangan dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) untuk ikut Pelatihan Pemahaman Kesetaraan Gender bagi Penulis dan Penerbit Buku Ajar Sekolah.

Dari judulnya udah wow banget ya.. Khas pemerintah. Acaranya juga wow. Wow capeknya karena 2 hari dikarantina di Hotel Inna Garuda. Mulai 11-12 Agustus, full day dari jam 8 pagi sampai 10 malam.

Diisi oleh 3 fasilitator, Bu Ikhlilah dari Program Magister Kajian Gender UI, Pak Wawan dari Departemen Agama, dan Bu Ida dari KPPA. Duh… maaf enggak hafal nama lengkapnya.

Bisa kebayang ya capeknya, seharian di dalam ruangan, belajar tentang Kajian Gender. Ngerjain tugas, presentasi, nonton film, diskusi. Persis kayak kuliah. Meski ada coffee break, games, dan ice breaking, tapi tiap ada istirahat agak panjang saya langsung masuk kamar dan tidur sebentar. Kok bisaaa?? Ya bisalah. Disempetin.

 

Tapi semuanya worth it banget. Saya jadi tahu tentang gender, kebijakan yang tidak ramah gender, buku-buku yang bias gender, stereotype, kekerasan gender, dan banyak lagi.

Oke. Jadi ceritanya dimulai dari mana?

 

Gender atau Sex?

Apa sih definisi gender menurut kalian?

Kalau masih ada yang menjawab gender adalah female dan male, itu salah besar. Female dan male adalah Sex atau jenis kelamin.

Contoh simpelnya gini. Warna itu punya jenis kelamin enggak? Enggak kann.. Tapi tiap lihat warna biru identiknya cowok, dan warna pink identiknya cewek. Itu artinya warna punya gender.

Begini Caranya Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Kemarin kita diminta untuk menuliskan hal-hal yang lekat dengan warna biru dan pink. Saya menulis di kertas biru, “berani” dan di kertas pink “manja”. Lalu kertas biru ditempel di sisi laki-laki, dan kertas pink ditempel di sisi perempuan. Setelah itu semua jawaban peserta dilihat. Apakah iya, yang berani cuma laki-laki? Dan yang manja cuma perempuan? Enggak kan.. Banyak perempuan yang berani, banyak juga laki-laki yang manja.

Jadi sebenernya, gender itu sebuah pikiran atau stereotype yang terbentuk akibat konstruksi sosial.

Beuhh… udah kayak kuliah belum penjelasannya?

 

Bentuk Ketidakadilan Gender

Ada banyak sekali bentuk-bentuk ketidakadilan gender. Dan semuanya diringkas menjadi 5 bentuk.

  • Beban Ganda (Double Burdon)

Banyak perempuan yang susah mencapai kenaikan pangkat atau promosi jabatan. Karena saat bekerja, banyak hal yang kemudian menggantungi perempuan, baik itu anak atau urusan rumah tangga. Misalnya nih ya.. sering dateng kerja telat karena ngurusin anak dulu, sering ijin kalau anak sakit, pulang kerja seharusnya istirahat di rumah masih mampir-mampir belanja kebutuhan dapur.

*langsung lihat diri sendiri, cuti tahunan selalu abis bukan buat liburan tapi ngurusin anak sakit di rumah*

  • Subordinasi

Ada banyak anggapan bahwa suatu pekerjaan yang dikerjakan jenis kelamin tertentu maka akan dinilai lebih rendah. Contohnya ya.. perempuan yang bekerja sama kerasnya dengan laki-laki, enggak jarang perusahaan memberikan gaji lebih rendah ke perempuan.

Mungkin perusahaan itu masih menganggap bahwa laki-laki adalah Pencari Nafkah Utama, dan perempuan Pencari Nafkah Tambahan. Padahal tahu enggak sih, sejak tahun 2000 pemerintah sudah menghapuskan definisi tersebut. Jadi sekalipun perempuan, karyawan tersebut berhak atas tunjangan untuk keluarganya.

Pendapat bahwa perempuan itu harusnya di urusan domestik dan laki-laki di urusan produksi, juga merupakan salah satu ketidakadilan gender bentuk ini. Hey, banyak loh.. laki-laki yang luwes banget ngurusin domestik dan sebaliknya perempuan yang lincah di urusan produksi.

  • Stereotype

Sama seperti games kertas biru dan pink tadi. Apa yang saya tuliskan itu merupakan stereotype. Bahwa laki-laki itu yang pemberani, dan perempuan itu manja. Yang hobi berantem itu laki-laki, yang cengeng itu perempuan.

Semua bentuk stereotype negatif jelas merupakan bentuk ketidakadilan gender. Padahal, enggak semua laki-laki pemberani dan hobi berantem, kan? Dan enggak semua perempuan itu manja juga cengeng, kan?

  • Kekerasan

Kekerasan itu bentuknya ada banyak; kekerasan fisik, psikis (termasuk verbal), ekonomi, seksual, spiritual, magic. Contoh kekerasan ekonomi adalah membatasi perempuan untuk bekerja, sehingga perempuan dibuat bergantung pada laki-laki. Atau sebaliknya, perempuan dieksploitasi seksual dan bekerja tapi ditelantarkan.

Kalau kekerasan spiritual contohnya, memaksakan keyakinan dan agama pasangannya, dengan ancaman-ancaman. Sedangkan kekerasan magic banyak terjadi di daerah-daerah tertentu, misal perempuan dipelet sehingga mau menikah dengan dia.

Serem bett yaa.. Amit-amit deh.

  • Marginalisasi

Sedangkan marginalisasi adalah bentuk penyingkiran perempuan dari akses publik. Misal nih ya.. kebijakan-kebijakan yang menghalangi perempuan untuk cuti melahirkan, menyusui, atau sakit karena menstruasi. Perempuan yang sakit karenamenstruasi itu berhak dapet ijin cuti 2 hari loh.. Dan sayangnya banyak perusahaan yang tidak memberikan itu, dikiranya cari-cari alesan buat cuti. Padahal kalo emang sakit, ya beneran sakit banget kalikk..

Atauu.. siswi yang hamil dikeluarkan dari sekolah. Memang ya, itu aturan sudah sejak lama. Tapi aturan itu menghalangi perempuan untuk belajar loh.. Padahal dia punya hak akan ilmu, sama dengan laki-laki yang mungkin menghamilinya.

Intinya sih, marginalisasi ini adalah dampak dari bentuk ketidakadilan sebelumnya. Karena beban ganda, subordinasi, stereotype, dan kekerasan, perempuan jadi tersingkirkan dan dianggap tidak pantas atau tidak mampu.

Sampe di sini jelas?

*benerin kerah, macak dosen*

Begini Caranya Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Begini Caranya Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Sekarang giliran kita mengajari anak dan keluarga supaya lebih sadar gender. Bukan kemudian menganggap perempuan itu sama dengan laki-laki, tapi setara. Sama dan setara itu berbeda.

Dalam hal kodrati, perempuan itu berbeda dengan laki-laki. Perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui. Laki-laki tidak bisa. Sehingga memang untuk hal-hal tertentu perempuan berhak mendapat perlakuan khusus, yaitu kebijakan-kebijakan yang tidak menyingkirkannya dari akses publik.

Misal hak cuti melahirkan, ruang laktasi, waktu menyusui, cuti menstruasi, kursi saat naik transportasi umum, gerbong kereta khusus perempuan, termasuk anak tangga yang tidak terlalu tinggi sehingga perempuan (khususnya yang hamil) tidak akan kesusahan saat naik tangga.

Jadi kalau ada gerakan-gerakan feminis yang menolak pakai BH. Duh-duh.. itu bukan gerakan sadar gender juga kalik.. Tapi menolak kodrat dari Tuhan. Kesenengan laki-laki dong, liat perempuan enggak pake BH. Huahahaha…

Trus gimana caranya menciptakan keluarga sadar gender?

  • Tidak mengotak-kotakan pekerjaan rumah tangga. Misal masak itu tugasnya ibu, masang lampu itu tugasnya ayah. Atau.. pekerjaan ibu hanya mengurus rumah tangga dan pekerjaan ayah mencari nafkah. Kan semuanya bisa dibagi.. Ya ayah, ya ibu.. bisa sama-sama mengurus rumah tangga dan mencari nafkah. Kalaupun memang dalam sebuah rumah tangga memutuskan untuk istri di rumah, tapi bukan berarti juga kemudian suami tidak peduli urusan anak dan rumah tangga, kan…
  • Memberi contoh tindakan menghormati perempuan. Misal dengan memberi kursi untuk ibu hamil atau ibu yang lagi menggendong anak, saat di transportasi umum. Tidak suudzon saat tahu teman sekelasnya tidak masuk karena menstruasi, trus dinilai dia cuma mau menghindar dari ujian. Padahal pada perempuan tertentu, menstruasi memang bisa sangat sakit sekali.
  • Tidak menasihati anak dengan label jenis kelamin. Misalnya, “Jangan nangis, anak laki-laki kok nangis.” Heh, anak laki-laki boleh banget loh nangis. Nangis itu salah satu bentuk ekspresi emosinya. Jangan sampai karena dibatasi semenjak kecil, dia besok mengekspresikan emosinya dengan kekerasan fisik. Lebih gawat itu.
  • Memberi ruang untuk mengungkapkan pendapat. Baik itu perempuan ataupun laki-laki punya hak untuk berpendapat. Enggak ada ceritanya, jadi perempuan harus nurut ketika dijodohin, atau jadi perempuan harus nurut ketika enggak dibolehin studi ke jenjang lebih tinggi, karena ujung-ujungnya paling ngurusin dapur. Heh…
  • Menjadi perempuan yang mandiri secara finansial. Enggak harus dengan bekerja full time di kantor, tapi cobalah menggali apa potensi diri sehingga bisa menghasilkan uang secara mandiri. Secara enggak langsung ini bisa mengajari anak bahwa perempuan itu juga bisa berkarya dan layak diapresiasi.

Baca juga: Alasan Kenapa Ibu Harus Bekerja

**

Gimana.. kuliah 2 hari saya sudah cukup jelas ya disingkat dalam 1 postingan blog.

Pas ikut acara kemarin, saya langsung inget rumah. Dimana setiap pagi, saya selalu bangun paling awal dan memulai segalanya duluan. Kalau saya bangun telat, serumah kacau semua, telat semua berangkat kerja dan sekolahnya. Huahaha..

Juga langsung inget kantor. Dimana setiap saya dateng terlambat pasti kebanyakan bukan karena macet atau mogok, tapi karena ngurusin anak yang cranky, enggak mau sarapan, dan menolak mandi dengan seribu alasan. Atau, cuti tahunan saya yang selalu abis bukan buat liburan tapi buat nungguin anak yang sakit di rumah. Jadi saya selalu sisain jatah cuti sampai akhir tahun, karena anak sakit itu tidak bisa ditebak. Huuhh.. berharap banget deh, ada kebijakan bahwa surat ijin anak sakit itu berlaku sah dan tidak memotong jatah cuti karyawan.

Baca juga: What Working Mother Want

*semoga tulisan ini dibaca sama Menteri Ketenagakerjaan*

Intinya sih.. kesadaran gender itu harus merata di semua bagian. Tapi paling enggak, kita bisa memulainya dari keluarga kecil kita dulu. Supaya perubahan besar bisa terjadi di negara ini. Setuju yaa…

Dirgahayu Indonesia ke-71.

Merdeka!

15 thoughts on “Begini Caranya Menciptakan Keluarga yang Sadar Gender

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *