Kali ini saya tidak akan cerita tentang diri sendiri, tentang suami, apalagi tentang anak. Gara-gara baca tulisan Tanti Amelia tentang passion, saya jadi pengin cerita sedikit tentang adik saya. Adik yang paling badung, paling bengal, paling rebel, tapi om idola-nya Luna.
Tulisan Tanti bisa dibaca di sini:
Mengubah Hobi Menjadi Rezeki
Di antara ketiga anak mama dan bapak, adik saya ini yang paling rebel. Entah sudah berapa kali mama dipanggil guru BP gara-gara ulahnya. Ketahuan boloslah, ketahuan ngerokok di sekolahlah, bahkan ketahuan minum juga pernah. Lagian dia bego juga waktu itu, minum kok pake seragam sekolah. Lol
Tapi sebelnya, dia ini anak tercerdas dibanding dua saudara lainnya. Kalau saya harus belajar 3 hari 3 malem buat pinter, harus les ini-les itu biar fasih. Dia enggak perlu semuanya. Ibaratnya ditinggal ngeluyur sampe pagi, besoknya di sekolah tetep bisa dapet nilai bagus pas ulangan harian.
Setelah lulus SMA, dia kemudian melanjutkan kuliah manajemen di sebuah universitas negeri di Jogja. Sekolah negeri lo… Negeri! Saya aja kuliah di sekolah swasta karena enggak lolos SPMB. Ehh.. dia yang bandel ini bisa kuliah di kampus negeri. Apa enggak iri.
Semua berjalan biasa saja. Range usia kami 6 tahun. Jadi ketika dia kuliah, saya kerja. Saya menikah, dia menyelesaikan semester akhir teorinya sambil nyambi kerja. Saya punya Luna, dia mengaku sedang menyelesaikan KKNnya.
Hingga suatu saat, dia datang ke saya untuk pinjam uang, untuk membayar kuliah.
Lah? Kan bapak selalu tertib membayar kuliah anak-anaknya. Kenapa dia musti minjem duit saya? Saya yang saat itu lagi nggendong Luna udah mau marah, jangan-jangan dia nilep duit orangtua.
Dengan pelan dan takut-takut dia cerita, bahwa sebenernya sudah setahun ini dia drop out dari kampusnya. Dia mengaku tidak kuat kuliah manajemen. Passionnya bukan di situ. Nilainya selalu jelek. Dia lebih milih bekerja ketimbang di kampus untuk kuliah dan menyelesaikan tugas-tugasnya.
Kampus sudah memberi kelonggaran ke dia untuk pindah jurusan, tetapi dia tetap tidak mau. Karena jurusan yang sesuai passion-nya, tidak ada di kampus itu. Passionnya adalah kuliah seni di jurusan desain komunikasi visual.
Lalu dia memilih untuk drop out diam-diam, tanpa memberi tahu kami sekeluarga. Dia memilih sendiri kampusnya, sebuah kampus swasta. Dia juga membayar kuliahnya sendiri, hasil dari bekerja sampingan. Hingga akhirnya uangnya habis, karena ternyata kuliah seni itu modalnya gede. Beli kanvas, beli cat, beli media-media gambar lain yang entahlah saya juga nggak paham.
Saya enggak bisa marah sama dia. Rasa iba menggantung di wajah saya. Bagaimana pun dia adik saya. Masa depannya, masa depan saya juga. Kalau dia jadi orang sukses kan Luna bakal kecipratan kesuksesannya juga. Lol
Saya cuma jengkel, kenapa enggak dari dulu dia ngotot sama orangtua enggak mau kuliah di manajemen. Kenapa dia memilih diam dan mengalah ketika orangtua bilang, “Kuliah di sini aja.. kampus negeri loh.. lebih bonafid.” Nyatanya kebonafidan belum tentu bisa menjamin masa depan.
Memang sih, sikap nurut pada orangtua itu akan memperlancar segalanya. Tapi dari kasus ini saya jadi belajar, bahwa meski jalan yang dipilih orangtua itu pasti yang dirasa terbaik untuk kita, belum tentu hasilnya nanti pasti baik. Kita tetap punya hak penuh untuk menentukan masa depan kita.
Beda ceritanya mungkin sama Tontowi Ahmad yang dipaksa sama orangtuanya untuk main badminton, dan dia mau hanya karena iming-iming uang 5000 tiap dia berangkat latihan. Bertahun-tahun kemudian, pilihan orangtuanya akan masa depannya ini membuahkan hasil yang sukses. Bedaaa… karena setelah bertahun-tahun berjalan, akhirnya Owi menyukai pilihan ayahnya ini. Bagaimana kalau tidak? Enggak yakin juga, dia bakal dapet emas kemarin.
Lebih banyak lagi orang-orang yang terjebak pada pilihan orangtua. Ada yang memilih manut, nurut. Lalu besoknya menjadi orang yang biasa-biasa saja. Tapi ada juga yang seperti adik saya, bertahun-tahun berusaha suka tapi tetap tidak bisa. Di depan terlihat nurut, tapi sesungguhnya jiwanya memberontak. Orang-orang model begini, apa-apa dipendem sendiri. Tinggal ditunggu aja kapan akan meledak. Serem dek…
Sebenernya, ada banyak cara untuk meluluhkan hati orangtua. Enggak harus cara yang brutal dan penuh emosi. Tapi bisa juga dengan cara cantik yang pasti kita bisa menemukannya sendiri, karena kita yang mengenal mereka lebih dekat. Entah membujuk mereka sambil menunjukkan bukti-bukti kuat. Atau bisa juga menunjukkan dengan aksi dan bukti karya nyata.
Seperti yang Bapak saya pernah bilang, “Kalau anaknya maunya gitu ya terus gimana..? Ya udah to, nggak pa-pa.” Masa ya mau dipecat jadi anak. Enggak mungkinlah… Paling bertengkar sehari-dua hari, seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan. Lalu selanjutnya, seiring dengan sikap kita yang menunjukkan bahwa kita serius dengan pilihan hidup kita, maka semua akan baik-baik saja.
Jadi intinya tergantung anaknya, seberapa kuat mempertahankan passion-nya, menunjukkan keseriusannya, dan membuktikan bahwa pilihannya ini adalah yang terbaik bagi masa depannya kelak.
*
Trus gimana nasib adik saya itu?
Berbekal uang pinjaman saya, dia membayar lunas kuliahnya. Tapi saya tetap tutup mulut dan tidak bercerita sedikit pun ke orangtua perihal kelakuan parah adik saya ini. Saya tahu dia punya rencana. Dia pasti akan cerita sesuai pada waktu yang sudah dirancangnya.
Tapi namanya rencana Tuhan beda ya sama rencana manusia. Sepinter-pinternya kita nutupin suatu hal dari orangtua, mereka nanti pasti akan tahu juga. Dan mereka pun akhirnya mengetahui sendiri bahwa anaknya ini nakal parah.
Saat itu, beberapa bulan kondisi di rumah panas. Bapak marah, mama marah. Anaknya yang berulah, mereka berdua bertengkar saling menyalahkan. Lalu sore itu, selesai bertengkar bapak pergi keluar naik motor, meninggalkan mama di rumah yang lagi nangis (so typical boys). Dan beberapa jam kemudian mama ditelpon sama orang asing, mengabari bahwa suaminya kecelakaan.
Kemudian semua diurus dengan cepat. Memindahkan bapak ke rumah sakit, mencuci karpet mobil yang dimuntahi bapak saat dalam perjalanan, dan menunggui bapak di ruang UGD. Semuanya dilakukan oleh adik saya itu, sementara mama menangis stres, sedih, dan panik. Di balik wajah lelah adik saya ini, tampak sesungguhnya dia menyesal telah membuat orangtua stres dan bertengkar gara-gara ulahnya. Tapi kalau dipikir-pikir ulang, inilah masa depan yang dia inginkan. Menjadi orang yang berkecimpung di bidang seni, desain, dan fotografi.
Perlahan, semuanya kemudian membaik. Saling introspeksi diri, saling belajar atas kesalahan di masa lalu, saling menahan egoisme dan emosi diri. Termasuk saya juga belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak saya kelak. Yang selalu rajin menstimulasi dan kerja keras untuk memfasilitasi kebutuhan anaknya. Tapi kemudian tetap legowo saat pilihan anaknya tidak sesuai dengan harapannya.
Menjadi orangtua itu itu memang tidak bisa sempurna. Tapi yang paling penting bagaimana kita selalu belajar dari ketidaksempurnaan itu.
Adik saya sekarang mendapat support penuh dari orangtua. Dia kuliah di jurusan diskomvis dengan tertib dan selalu rajin menunjukkan hasil perkuliahannya yang bagus. Dia juga tetap nyambi kerja paruh waktu, jadi fotografer, jadi desainer, dan desain produk. Semua fasilitas studi dan pekerjaannya tetap dipenuhi orangtua. Tau sendiri kan, kuliah seni itu modalnya gede juga ternyata. Beda sama kuliah komunikasi, yang cuma modal komputer dan printer.
Dan yang jadi highlight penting lagi adalah.. Kasus adik saya ini ternyata membukakan peluang untuk adik saya yang paling kecil memilih jurusan impiannya. Sebelumnya dia hampir kuliah di psikologi. Tapi setelah peristiwa itu, dia banting stir dan memilih mengambil jurusan yang sama dengan kakaknya, desain komunikasi visual.
Mama bahagia, bapak bahagia, adik-adik saya bahagia, dan saya pun bahagia.
Mau desain header blog, tinggal minta dibuatin mereka. Mau liburan keluarga tapi punya koleksi foto-foto yang kece, tinggal minta difotoin mereka. Besok kalau mau bikin cafe atau desain mural, tinggal bilang ke mereka suruh buatin. Heratis. Huahahaha..
Kalian yang mau kenalan dengan adik-adik saya ini, atau mau lihat karya-karyanya, bisa follow dan intip art gallery-nya di sini.
Blog | Instagram Om Na | Instagram Om Ga | Art Gallery
Update cerita: Kedua adik saya ini sekarang sudah sarjana semua. Lulus dengan nilai yang hampir cumlaude, kurang 0,03 doang. Nilai yang jauhh lebih bagus daripada IPK saya. Mereka sudah kerja dan berpenghasilan sendiri. Dan dengan bangga, Bapak selalu memamerkan karya-karya mereka ke relasinya.
Lihat, anakku memang bukan dokter, bukan PNS, bukan dosen. Tapi mereka bertanggung jawab dengan pilihannya.
kalau aku, ngumpulin bukti dlu mbk, kalau passion aku ini dan ini ini ini yg bs aku dptkan dr passionku,
alhmdulillah, langsung berhasil
tengkiu sharingnya ya mbk, bekal parenting nih
semangat makk..
untungnya skrg ortuku g aneh2 dan nntut macem2 lagi :”)
Kalo kita udah nunjukin keseriusan atas pilihan kita, mereka pasti paham & nggak nuntut macem.
Wah…salut dan selamat yaa u adiknya, akhirnya bisa kuliah sesuai passion. Temen anak saya mirip ceritanya. Diselesaikan smp selesai kuliah di Ekonomi. Ijazah diberikan ke Mamanya. Lalu dia kuliah lagi ke FSRD. Saya nulis buku lhoo…”Kuliah Jurusan Apa? Fakultas Seni Rupa dan Desain…U siswa SMU dan para ortu yg msh blm jelas, sekolah seni rupa nanti jadi apa sih?…hehe…maaf promo…
Wah, keren2. Cara dapetin bukunya gimana?
pernah ada kasus serupa nih Mak di sekitarku.. dan akhirnya sama kayak Omnya Luna, memilih sesuai passionnya.
Kalo udah passion, akhirnya nggak kemana2 ya..
Jurusannya sama kayak jurusan favoritku, Mbak.. Cuma pas ikut SPMB di salah satu univ negeri di malang nggak keterima :'(
Tapi biarpun gagal masuk Diskomvis, aku kadang tetep coba-coba sih, Mbak.
Semangat Mbak! Seringkali kuliah kita enggak searah sama pekerjaan/passion kita nantinya kok..
Kalo dulu ada DeKaVe aku pasti udah nyemplung ke sini yaaa
Yowes, kuliah lagi aja. Huahaha..
Baca cerita ini langsung ‘jleb’ banget ke saya. Memang gak sama persis, sih. Tapi saya termasuk anak yang menurut banget. Makanya, sekarang saya mau ikutin gimana anak aja. Asalkan mereka yankin dan saya tau persis passionnya mereka itu apa
hiks…mbrebes mili aku mbacanya, mbak… memang susah ya jadi orang tua. tapi ya itulah namanya perjuangan. walaupun ga selalu seiring sejalan, bonding antara orang tua dan anak itu yang paling penting. thank you for sharing, mbak.
seru mba baca blognya .. hehe
salam kenal ya ..
Haii.. makasih sudah mampir. Salam kenal juga.
Wah, ceritanya sama dengan keponakan saya. Pindah ke jurusan yang dia mau. Tapi bedanya dia terus terang kepada orang tuanya. Jadi hanya setahun kuliah di administrasi, trus pindah ke hukum. Jurusan yang dia mau. Orang taunya, nurutin mau anaknya.
Halo mak!
Waah adiknya beruntung udah tau minat dan bakatnya.. Lah aku mah baru tau passion ya akhir2 ini. Huhu..
Semoga anak saya bisa lebih baik lagi dari saya, aamiin
Hai, mbak Noni,
Cerita diatas sangat menginspirasi. Ada pelajaran berharga yang patut dicontoh dan dimengerti. Semoga saya sebagai ibu dari tiga anak laki-laki dengan karakter dan kemampuan yang berbeda, bisa legowo dengan pilihan anak-anak.
Kata hati itu ga bisa dibohonginnya mbak. Ikut seneng pd bisa ngejalanin passionnya
Ceritanya mirip cerita adik les saya, mbak. Dipaksain masuk ilmu komunikasi oleh ortunya, padahal anaknya berbakat di bidang seni dan wirausaha. Dia nggak tertarik sm ilmu eksak. Akhirnya sekolahnya nilai drop parah. Untung skrg udah keluar dr kampus lamanya dan memilih lanjut di manajemen ekonomi utk menunjang bisnis fotografi yg digelutinya. Semoga yg terbaik untuknya.