Dulu saat masih SMA, siswa yang mau masuk klub debat itu ada seleksinya. Tidak cuma pintar, cerdas, dan punya nilai akademik yang tinggi aja, tapi juga mampu mengendalikan emosi dan mampu menyampaikan pendapat dengan baik. Tanpa terkesan ngotot, tanpa adu ketegangan urat leher, dan tanpa nada bicara yang tinggi. Melainkan semua pendapat tersampaikan dengan santun, lugas, dan bernas.
Tapi sekarang, kelompok debat sepertinya tidak perlu ada seleksi ya… Semenjak TV mulai menayangkan acara debat bertajuk talkshow. Semenjak internet merasuk ke sendi-sendi kehidupan kita. Dan semenjak sosial media mulai mengambil alih kontrol hidup kita. Lalu semua orang seakan berlomba-lomba menyampaikan pendapatnya masing-masing.
Dengan dalih, “Ini kan, negara demokrasi,” lantas seakan kita bisa menyampaikan pendapat tanpa melihat koridor hukum dan efek bola salju yang terus membesar.
Belum lagi di sosial media, ketika pendapat itu tersalurkan hanya melalui media tulisan, dan sangat berpotensi disalahartikan oleh pembacanya.
Seperti saya dulu yang jengkel setengah mati tiap bertukar pesan dengan suami (yang statusnya saat itu masih pacar), karena dia tidak pernah memainkan emoticon di whatsapp atau BBM. Semuanya lempeng aja. Dia yang aslinya santai dan membalas pesan saya dengan senyum, tapi karena saya tidak melihatnya, lalu saya menanggapinya dengan serius. Saya mengira dia tidak antusias dan tidak suka. Dan dia, memang dasarnya gaya bahasanya macam papan triplek. Tidak luwes menggunakan pilihan emoticon di hape. Menurutnya, memilih emoticon yang akan dikirim itu buang-buang waktu. Tidak efektif.
*
Makin bundet lagi, ketika status di sosial media itu ditanggapi orang yang berbeda pendapat dengannya. Debat virtual pun terjadi. Masing-masing konsistendengan pendapatnya, bahkan sampai niat banget melampirkan bukti dan fakta. Tidak puas dengan bertukar pendapat pendek-pendek, lalu membuat status tandingan yang sebenarnya menyindir status seseorang. Masih kurang puas, lantas membuat tulisan panjang di blog yang bisa dibaca ribuan orang.
Ah.. tidak ada habis-habisnya sih, debat virtual ini. Apa coba yang didapat? Pertengkaran iya, pertemanan hilang. Tidak jarang, netizen jengah dengan orang yang hobinya berdebat di media sosial. Tindakan remove atau block pertemanan di sosial media langsung dilakukan, dan saat bertemu secara langsung, mendadak semuanya menjadi awkward. Sepi. Tidak ada kelanjutan perdebatan virtual itu lagi. Persis. Biasanya orang yang suka debat virtual, akan mati kutu ketika harus berdebat secara langsung.
Sejujurnya, saya bukan orang yang suka remove atau block pertemanan di sosial media, sekalipun pemikiran dan prinsip hidupnya berbeda dengan saya. Karena menurut saya, dengan meremove pertemanan ini, berarti saya tidak bisa menerima perbedaannya.
Mungkin sebagian ada yang merasa, perdebatan itu tujuannya untuk mempengaruhi orang terhadap pemikirannya. Saking antusiasnya untuk mempersuasi, bunyi tuts keyboard di laptop terdengar keras, seiring dengan otot leher yang menegang dan kepala yang memanas.
Mari Kakak.. minum es kelapa muda-nya dulu.. Biar adem..
*
Padahal ya, usaha setengah mati untuk mempengaruhi orang lain melalui debat virtual tersebut sesungguhnya jarang tercapainya. Selesai berdebat, masing-masing tetap konsisten dengan pendiriannya. Kalaupun ada yang berubah, paling hanya sementara. Karena selanjutnya kita akan kembali dengan pendapat kita masing-masing.
Seperti perdebatan yang ramai di timeline ibu-ibu macam saya. ASI vs Susu Formula. Pospak vs Clodi. MPASI instan vs MPASI homemade. Anak diasuh nenek vs Anak diasuh nanny. Sekolah umum vs Homeschooling. Ibu bekerja vs Ibu rumah tangga. Dan banyak.. lagi lainnya.
Entah ya kalau di timeline kaum bapak-bapak. Kalau saya intip di media sosial suami, perdebatannya banyak tentang klub sepakbola idola, atau tentang politik.
Ibu-ibu yang lebih nyaman menggunakan pospak ke anaknya, ya tetap memakai pospak. Sekalipun dihujat oleh kaum Clodi garis keras dengan tudingan “merusak bumi”.
Bapak-bapak yang mengidolakan Manchester United pun juga tetap membelanya dan tidak berpaling hati. Sekalipun klubnya sering kalah dan diejek oleh para die hard fans Manchester City.
Lantas, buat apa coba kita memperpanjang debat? Bukankah lebih baik kita mulai berdamai dengan perbedaan. Mereka lebih memilih memberi anak dengan susu formula, ya sudah… Yakinlah, setiap ibu pasti akan memberi yang terbaik untuk anaknya, semampu yang bisa diberikannya.
Mereka lebih memilih untuk mencontreng partai B, ya sudah… Percayalah, semua partai yang lolos kualifikasi adalah partai-partai yang punya tujuan sama, yaitu menyejahterakan bangsa ini.
Perbedaan itu ada bukan untuk diperdebatkan. Melainkan diselaraskan hingga tercapai hidup yang lebih indah.
*
Seperti saya yang cinta berat dengan belanja online, dan menanti-nanti Hari Belanja Online Nasional besok. Tolong.. jangan debat saya dengan mengatakan “belanja online itu penuh penipuan.”
Buat yang pernah tertipu, wajar merasa begitu. Buat yang punya waktu luang untuk pergi berburu belanjaan dari satu toko ke toko yang lain, silakan berkata begitu. Atau buat yang sedang menjalankan program diet dan ingin belanja sambil berolahraga jalan kaki, boleh juga lebih memilih belanja offline.
Tapi buat saya yang mager kelas berat. Gayanya sok sibuk, padahal selow maksimal. Penginnya olahraga ngecilin perut, tapi prakteknya olahraga gerakin jari di laptop dan hape. Maka ketika didebat keras oleh aliansi belanja offline pun, saya akan tetap pada pendirian saya dengan memilih belanja online.
Jadi, sudahlah… hentikan yuk, semua perdebatan yang tidak berguna ini. Mari berdamai dengan segala macam perbedaan. Aku begini, kamu begitu. Aku suka ini, kamu suka itu. Aku memilih ini, kamu memilih itu. Tidak ada yang lebih baik, tidak ada yang lebih sempurna. Semua punya tujuan yang sama.
Begitupun saya yang memilih belanja jenis apapun via online. Ya sudah… yang penting tujuan sama, yaitu karena semua wanita sama-sama suka dengan kata-kata “diskon”, dimana pun lapak itu dibuka. Dan karena kita tidak ingin melewatkan segala kesempatan langka yang bisa menyelamatkan isi dompet kita.
Selamat berburu dan meramu belanjaan.
Tidak perlu berdebat kalau hasil perburuannya pun berbeda selera. Karena bukankah itu indahnya perbedaan.
Nggak kebayang kalau lipstik yang dijual cuma 1 warna aja, atau baju cuma ada 1 macam model aja. :))))
aku mash suka belanja online Mak..
eh, bdw ngomongin debat, yg emak2 tuh
ASI vs sufor, diapers vs clodi dan endebrew2… yg ngejengkelin sih debat sama org yg ngerasa sok paling bener, bikin”hmmmm
Hihihihi.. topik apapun, biasanya selalu ada orang yang ngerasa sok bener ya.. =D
Well said, Mba Noni. Saya pecah telor nih, ngga silent reader lagi, hehehe…
Adanya perbedaan di dunia ini justru membuat tambah kece dan berwarna. Sama juga kayak olshop yang lg banyak berkembang, semakin banyak semakin bagus karena konsumen jadi bisa memilih lapak mana yg lebih murah, atau kualitas mana yg lbh oke
Belakangan ini timeline memang panas dan bikin gerah..
Untuk aku sendiri sih berusaha untuk mengharagai pendapat siapa pun dan so far belum pernah nge-remove siapa pun, paling skip gak dibaca aja …
Entahlah apakah aku pernah di remove orang karena sering nyetatus galau-baper gak jelas yah haha..
perbedaan ini yang membuat kita memahami dan membuat hidup semakin berwarna.