“Buku barumu kan udah terbit, bagi 1 dong buat aku..”
Bagi temen-temen penulis, kalimat itu pasti sering banget didengar ya. Dan rasanya gemes gimanaaa gitu. Saya sebagai editor juga ngerasa gemes kok.
“Justru, kalau kamu temen, kamu wajib beli buku baruku. Beli 1 buku aja, udah nambah recehan royalti yang akan aku terima nanti.”
Royalti adalah salah satu bentuk penghargaan penulis atas karyanya, yang dihitung berdasarkan persentase penjualan. Semakin tinggi jumlah eksemplar buku yang terjual, semakin banyak juga royalti yang akan diterima. Makanya, membeli buku karya asli jadi salah satu bentuk penghargaan kita pada penulis.
Tapi karya penulis tidak selalu dihargai dengan royalti.
Yes, tidak selalu semua karya dalam bentuk buku dihargai dengan royalti. Dalam perjanjian penerbitan, karya tulisan yang dibukukan bisa dihargai dalam bentuk beli putus, royalti, dan semi royalti.
Royalti buku berkisar di angka 6%-15% dari harga jual bukunya. Namun rata-rata, royalti adalah di angka 10%. Ada royalti yang akan didapatkan flat seberapa pun eksemplar buku terjual. Ada pula bentuk royalti yang progresif. Misal penjualan 1-4000 eksemplar royalti 10%, 4000-8000 eksemplar royalti 12%, dan di atas 8000 eksemplar royalti 15%.
Persentase royalti tersebut tergantung pada kredibilitas penulis dan tidak dibayarkan tiap bulan, melainkan per 6 bulan sekali setelah buku terbit. Beberapa penerbit bahkan sudah memberlakukan bulan-bulan tertentu pengiriman royalti.
Ada beberapa penerbit yang memberikan uang muka royalti di awal penerbitan buku, ada pula yang tidak. Besarannya bervariasi, mulai dari 1,5 juta sampai 20 juta, bahkan bisa lebih.
Beli putus naskah biasanya berkisar di harga 1,5 juta sampai 20 juta. Bisa kurang atau bahkan lebih dari itu. Tergantung ketebalan tulisan, proyeksi pasar, dan kredibilitas penulis.
Kalau beli putus pembayaran biasanya ditransferkan saat naskah sudah diterima oleh penerbit. Beberapa ada pula yang ditransferkan berkala. Misal sekian persen ditransfer di awal naskah masuk untuk proses editing, lalu sisanya ditransfer saat naskah akan terbit.
Semi royalti adalah salah satu bentuk penghargaan untuk penulis yang mengombinasikan keduanya. Misalkan, saat naskah masuk penulis akan menerima sejumlah uang beli putus. Lalu setelah penjualan 8000 eksemplar, mulai masuk ke royalti 10%.
Tidak semua penerbit menggunakan sistem ini. Kebanyakan penerbit pasti menggunakan 2 jenis penghargaan di atas, royalti dan beli putus.
Iya, royalti memang besarannya segitu.
Kalau kamu berharap royalti buku adalah di angka 50%, bersiaplah kecewa. Jika bukumu diterbitkan oleh penerbit mayor, ya memang sebesar itulah royalti yang akan dishare kepada penulis.
Begini pembagian keuntungan sebuah buku:
- 10% royalti penulis,
- 20% untuk biaya produksi & cetak (penulis sama sekali tidak diminta uang sepeser pun untuk biaya ini),
- 5% untuk transportasi (bukumu akan ada di semua toko buku se-Indonesia, dan jelas pengirimannya butuh biaya)
- 5% untuk promosi
- 10% untuk penerbit
- 50% rabat distributor atau toko buku
Jadi, kalau kamu pengin mendapatkan keuntungan yang lebih dari buku, saran saya lebih baik pakai self publishing, dan semua dilakukan sendiri, termasuk penjualannya. Karena setahu saya, karya self publishing belum tentu bisa masuk toko buku mayor. Semua buku yang bisa nampang di toko buku mayor, harus melalui distributor, yang mana potongan rabatnya biasanya tinggi.
Makanya biasanya beberapa karya self publishing nebeng distribusi di sebuah distributor tertentu.
Royalti yang diterima pasti kena pajak.
Jelaslah ya.. Semua penghasilan kita bakal kena pajak. Dari yang saya tahu, di Indonesia, pajak royalti bagi yang punya NPWP adalah sebesar 15%. Sedangkan bagi yang tidak punya NPWP sebesar 30%.
Semua detil laporan penjualan dan potong pajak, pasti dilaporkan oleh penerbit secara berkala. Biasanya berdekatan atau mungkin bebarengan dengan pengiriman royalti.
Antara royalti dan beli putus itu…
Tergantung sih.. Asalkan, besaran yang nantinya diterima memang layak untuk menghargai karya tersebut.
Dengan sistem beli putus memang penulis akan mendapatkan uang besar dengan lebih cepat, tidak perlu menunggu tiap 6 bulan. Tetapi, jika nantinya buku tersebut best seller, penulis tidak bisa ikut menikmati hasil penjualannya. Mau seberapapun jumlah eksemplar buku yang terjual, nominal beli putus tetap sebesar itu, tidak bertambah.
Sedangkan kalau dengan sistem royalti, penghargaan atas hasil penulisan baru akan diterima 6 bulan kemudian. Kalau ternyata penjualan bukunya tidak sesuai harapan, bisa banget besaran royalti yang nantinya diterima tidak sesuai harapan. Makanya, promo buku internal yang dilakukan penulis juga diperlukan banget. Tidak semuanya pasrah pada penerbit. Ibaratnya ya.. buku adalah anak bersama penerbit dan penulis. Dan untuk membesarkannya, harus dilakukan kedua belah pihak.
Saya selalu salut sama penulis-penulis yang bikin program promonya sendiri. Termasuk bikin PO bukunya sendiri, dan giftnya luar biasa keren-keren. Atau bikin giveaway yang seru-seru.
Keren lohh.. Semangat nulis buku, emang harus diimbangi dengan semangat promo. Percuma atuh, udah nulis bagus-bagus, tapi enggak ada yang baca.
Dan lebih keren lagi, kalau temenmu nulis buku, jangan ditodong minta bukunya. Tapi mending beli bukunya di toko buku, atau minimal ikut bantuin promoin bukunya.
Mbak, terima kashhh yaaa jadi paham aku beli putus sama royalti. 8dulu cita2 jadi penulis, dan kandas, ehhh ehehhe*
samaan themanya ehhe
Wah jadi tauuuu banyak baca postingan ini, ternyata royalti dibagi-baginya banyak ya.
Bener banget Mbak. Saya penulis yang kurang bisa promo nih…Agak pasrah gimana gitu nungguin royalty per 6 bulanan…
Iyaaaaa…
Aku pernah baca tentang hal ini dan ketika pertama tahu terperanjat sendiri sih sama besar prosentase royalti nya hiks…
*kemudian balik nge-draft novel yang kagak kelar-kelar*
Makasih penjelasannya mak Noni, aku dulu juga beli putus jaman masih mahasiswa duluk. Tak apalah, lumayan buat uang saku. Ya emang gak sabar ya klo nunggu royalti, cuma klo bukunya best seller pasti royaltinya woooow hihihi. Tfs
Salam kenal kakak penulis. Bagus nih info royaltinya. Dan saya juga punya teman penulis dan suka curhat gini, orang-orang pengin buku gratis dari penulis yang jadi temennya sendiri. Sementara orang-orang ini lebih suka nongkrong di Starbucks. Padahal harga kopi di Starbucks lebih mahal dari harga buku temanku.
Btw, sejauh ini kakak nggak pernah berhenti berkarya hanya karena peristiwa teman-teman ini kan, kak?
info yg sangat bermanfaat
————————