Badan saya sedang tidak bisa diajak kompromi. Leher gatal banget, nafsu pengin dibatukin. Dan seharian di ruang berAC ternyata membuat hidung tertular. Mampet, gatal, dan pengin bersin. Mungkin saya terlalu jumawa, kemarin saat sakit hampir menghampiri, saya koar-koar berhasil mengusirnya dengan ramuan tradisional. Tapi sepertinya saya mengusirnya kurang jauh. Begitu kondisi drop sedikit, langsung flu berkuasa.
Ternyata yang namanya sakit, kalau udah takdir harus sakit, ya udah ya.. sakit aja.
Saat sedang merebahkan kepala di meja, mencoba tidur sejenak akibat ngantuk efek obat, tiba-tiba notifikasi di HP muncul. “Mbak, The Chocolate Chance besok tanggal 1 Februari, ada meet and greet-nya di Hartono Mall. Dateng yuk!”
Dan saya langsung teringat bukunya, novel yang dulu sempat saya edit dan olah konsep serinya, “The Chocolate Chance.” Buku ini menyimpan banyak cerita. Bukan cerita sesungguhnya di novel, tetapi cerita di balik proses kreatifnya.
Saya sempat sedikit panik karena harus mencari penulis novel yang cocok untuk menggarap seri Love Flavour. Saya sempat dibuat pusing karena cover yang diorder ke desain tidak kunjung sesuai dengan bayangan. Konsep covernya adalah kotak selongsong cokelat.
Saya sempat dibuat buru-buru karena sudah deadline, tapi proses redaksional belum selesai juga. Dan saya juga sempat dibuat nangis, karena setelah buku selesai cetak ternyata barcode ISBNnya beda dengan yang seharusnya.
Mampus! Mencetak ulang buku itu jelas tidak mungkin. Berapa banyak biaya cetak yang harus dikeluarkan lagi? Mau dibayar pakai apa? Pakai gaji, jelas butuh berbulan-bulan kerja.
Untungnya, masalah itu bisa diselesaikan dengan membuatkan stiker barcode, yang akan ditempel menutup barcode lama. Waktu terbit memang jadi mundur beberapa hari, karena proses manual itu butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi yang penting masalahnya cepet selesai, biaya tidak nambah banyak, dan buku cepet beredar di toko buku.
Terima kasih mbak-mbak dan mas-mas di percetakan yang mau sabar nempelin stiker barcode satu-satu ke ribuan eksemplar buku. Sungkem atu-atu.
Semua proses naik-turun itu terjadi saat saya sedang hamil besar. Sudah mood saya juga naik turun, masalah di kantor bikin makin puyeng. Luna sudah tertempa cobaan sejak dalam kandungan. Hahaha..
Sekitar setahun kemudian, buku yang diproses dengan berdarah-darah ini ternyata diminati oleh penerbit Lejen dari Malaysia. Dan saat launching, terbanglah saya ke Kuala Lumpur untuk menghadirinya.
Buku yang aslinya berjudul “The Chocolate Chance” ini diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan diberi judul “Coklat”. Kalau sebelumnya cover buku berkonsep selongsong cokelat, seri Malaysia berganti konsep menjadi bungkus cokelat Delfi.
Untuk penamaan judul buku, teman editor penerbit di Malaysia cerita ke saya, bahwa mereka sangat mencintai bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Dan sudah diatur, bahwa segala macam bentuk literasi harus ditulis dengan bahasa Melayu. Enggak ada ceritanya judul buku pakai bahasa Inggris, semuanya bahasa Melayu.
Beda ya sama di Indonesia. Tanpa mengurangi rasa cinta sama bahasa Indonesia, ternyata penulisan judul dengan bahasa Inggris kadangkala bisa lebih laku ketimbang bahasa Indonesia.
Lalu sekitar dua tahun kemudian, tiba-tiba saya dikabarin oleh penulis “The Chocolate Chance”, Yoana Dianika. Bahwa bukunya sudah deal akan difilmkan oleh Dari Hati Films. Wow!
Sebenarnya ini bukan buku pertama yang saya edit yang difilmin sih.. Sebelumnya juga ada “Strawberry Surprise” yang difilmkan dan dimainkan sama Reza Rahardian dan Acha Septriasa.
Baca juga: Kejutan dari Strawberry
Proses dealing, scenario writing, casting, shooting, sampai rilis film ini lamaaaa. Lebih lama ketimbang dulu pas saya lempar konsep cerita ke Yoana dan digarap dia untuk penulisan. Hahahaha..
Sampai akhirnya film The Chocolate Chance siap tayang di bioskop besok 2 Februari 2016. Dimainkan oleh Ricky Harun, Pamela Bowie, dan Miqdad Addausy.
*
“The Chocolate Chance” menambah daftar buku-buku Bentang Pustaka yang difilmkan. Di waktu premier yang berdekatan ada pula film “The Nekad Traveller” dari buku “The Naked Traveller” yang juga akan tayang sebentar lagi. Ini menunjukkan bahwa buku dan film itu berdekatan. Bentuk kreativitas yang tiada batas.
Jadi kalau ada yang bilang, “Jadi penulis kalau karyanya enggak bestseller beneran kayak Supernova atau Laskar Pelangi itu percuma, capek di proses nulisnya, enggak worth it di royaltinya.”
Berarti kemungkinannya ada 3: penerbitnya kurang support dalam berbagai sisi, karyamu memang kurang menarik, atau editormu kurang cerewet.
Baca juga: FAQ Editor Buku
*buka kartu, anaknya enggak cuma cerewet di rumah, tapi juga di kerjaan* Bhuahahaha…
Mupeng dicerewetin mb Noni deh
Beneran siap dicerewetin aku? Hahaha.
wiih keren mbak.. selamat yaa.. pasti rasanya berbunga2 buku editannya difilmkan. Semoga sukses filmnya juga. Hmm, jd pengen bikin buku solo dan dieditin nih, hehe.. *dream oh dream