#LifeAsEditor: Apa yang Membuat Naskahmu Ditolak Penerbit

yang Membuat Naskahmu Ditolak Penerbit

Heyho!

Udah lama saya enggak nulis seri ini. Setelah baru saja kemarin mendapat “kabar” yang cukup mengejutkan, trus tiba-tiba kepikir untuk menuliskan postingan ini. Enggak ada hubungannya sih, antara “kabar” tersebut dengan tema postingan ini. Tapi, “kabar” tersebut yang pasti akan menambah deretan pengalaman saya di dunia editing dan perbukuan.

Yang bagian “kabar” itu bakal saya ceritakan kapan-kapan ya.. Maunya sok misterius, padahal aslinya biar waktunya agak lama dulu jadi bahan untuk diceritain akan lebih banyak. LOL

Okesip. Jadi siapa yang naskahnya pernah ditolak penerbit? Atau jangan-jangan pernah ada yang kutolak ya?

Jujur ya, bikin alasan penolakan naskah itu pekerjaan yang sulit. Nolaknya sih, gampang ya.. Tapi nulis alasannya itu yang bikin mikir. Mau dibilang naskahnya enggak menjual, kok kayaknya kejam, padahal emang iya loh.. Tiap mau mengakuisisi sebuah naskah, otak-otak para editor langsung bekerja, “Kira-kira naskah ini akan terjual sekian ribu eksemplar dalam waktu sekian bulan.”

Akhirnya, alasan monoton yang sering saya tuliskan adalah, “naskah kurang menarik.” Padahal sebenarnya dibalik alasan itu, masih tersimpan alasan-alasan kejam saya lainnya. Atau mungkin, dasarnya saya orangnya gampang pekewuh ya.. Suka kepikir, kalau nulis alasan ini bakal menyakiti hatinya enggak ya.. Dia bakal tersinggung trus berhenti berkarya enggak ya..

Hishh.. Dasarnya overthinker!

Baca juga: Perhatikan Ini Sebelum Mengirim Naskahmu ke Penerbit

Jadi apa aja sih, sebenernya alasan kenapa naskah ditolak penerbit? Ada banyaakkk…

1. Terlalu banyak typo.

Emang sih, ya.. setiap naskah itu akan melalui proses editing. Tapi kalau kami harus bekerja terlalu keras untuk memperbaiki teks yang typo. Duh, maaf banget. Baru baca sekali udah langsung males.

Baca juga: Bahasa Indonesia yang Aneh

2. Gaya penulisan yang bundet susah dipahami.

Jelas ya.. Ini langsung skip. Tolak. Sekalipun mungkin temanya menarik, tapi kalau enggak diimbangi dengan cara penulisan yang runtut, yang jadi zonk. Dari beberapa halaman awal baca, editor langsung tahu akan seberapa besar editing dilakukan terhadap naskah ini. Lebih baik ditolak aja, ketimbang dipaksa terbit tapi pas proses editing akan menguras emosi.

3. Ide cerita terlalu biasa, sering ada di film atau buku lain, dan endingnya mudah ditebak.

Cewek biasa, ketemu cowok kaya raya, trus jadian, trus menikah. Udah gitu aja? Enggak ada intrik-intrik sebagai bumbu cerita? Ya udah, bhay aja deh ya..

4. Ceritanya bertele-tele.

Udah sampe separo buku, kenapa enggak sampai pada pokok konflik cerita sih.. Kalau saya yang ngecekin aja bosan, apalagi pembaca entar yaa.. Intinya, rebutlah hati editor sejak awal, maka penulis akan bisa merebut hati pembacanya.

5. Penulis bukan orang yang pakar menulis tema tersebut.

Ini kebanyakan terjadi pada tulisan non-fiksi. Misal, ada orang yang nulis buku “strategi mahir bahasa inggris”, padahal dianya bukan lulusan bahasa inggris, dan dari profilnya tidak menunjukkan dia pernah tinggal di negara berbahasa inggris. Yakin naskah yang ditulisnya valid?

6. Alur dan setting yang tidak menarik.

Enggak cuma jalan cerita aja yang harus menarik, alur dan settingnya pun harus menarik. Kalau perlu alur flashback, ya ceritakan dengan smooth. Kalau penginsetting yang terkesan romantis, ya deskripsikan lokasi yang benar-benar bikin pembaca ikut merasakan aura romantisnya.

7. Asal nulis, kurang riset.

Mau nulis cerita yang settingnya di Perancis biar terkesan romantis. Tapi kurang dalam risetnya, dan malah membuat deskripsi setting enggak kuat. Niatnya menggambarkan Perancis, malah yang kebayang Jakarta. Zonk!

Bahkan ya, andai kalian belum pernah ke suatu tempat tersebut tapi pengin menjadikannya setting cerita. Boleh-boleh aja. Asal risetnya kuat. Bisa dengan perbanyak baca, nonton film dengan setting kota tersebut, atau interviewteman yang tinggal di sana.

Ini enggak berlaku hanya untuk setting. Segala sesuatu yang mau dituliskan itu butuh riset. Fyi, Dee Lestari melakukan risetnya bertahun-tahun hanya untuk mempelajari hidup Orang Utan, dan dijadikan materi dalam novel Partikel-nya. Dan Mbak Dee juga bertanya banyak tentang “tidur” pada ahli tidur, untuk dijadikan bahan mengembangkan cerita dalam novelnya Gelombang.

Baca juga: Tentang Dee Lestari

Enggak cuma tulisan non-fiksi aja yang butuh riset. Fiksi pun, riset itu penting banget.

8. Penulis kurang terkenal.

Ini enggak berlaku untuk semua jenis buku. Karena faktanya, banyak kok penulis-penulis yang memulai dari awal, hingga akhirnya terkenal. Semua penulis terkenal kan, awal mulanya juga tidak terkenal.

Cuman, untuk beberapa kategori buku, seringkali editor lebih mengutamakan sosok yang lebih terkenal, ketimbang mengorbankan diri mencari sosok yang tidak terkenal, yang kemudian berimbas pada merosotnya omzet. Karena harus diakui, sosok itu mempengaruhi ketertarikan calon pembaca terhadap bukunya.

Lha, kalau aku belum terkenal gimana caranya biar terkenal lewat buku?

Perkuat branding diri. Promosikan dirimu dan bukumu dengan gencar juga. Jangan cuma pasrah ke penerbit. Penerbit butuh kerjasama dengan penulis untuk membuat bukunya bestseller. Toh, kalau jadi bestseller, akan jadi keuntungan penulis juga. Royaltinya meningkat.

Baca juga: Serba-Serbi Royalti Buku

9. Penulis tidak kooperatif.

Untuk saya pribadi, sering banget tanya ke kolega editor dari penerbit lain, bagaimana proses bukunya saat diterbitkan di penerbit tersebut? Bagaimana attitudenya?

Kalau bukunya di penerbit tersebut bestseller, berarti naskahnya yang ditawarkan ini patut diperhitungkan. Kalau enggak bestseller, bisa dipertanyakan dan digali lebih lagi apa yang kurang, supaya ketika terbit di sini bisa lebih bestseller.

Trus bagaimana attitude-nya ketika meminta untuk revisi. Kalau enggak kooperatif dan males revisi, trus editor yang harus bekerja keras editing sambil jambak-jambak rambut. Ya sudah, lebih baik diakhiri saja tanpa harus dimulai.

10. Tulisan copas.

Yang ini adalah kesalahan besar yang bakal langsung ditolak editor. Biasanya banyak ditemukan di naskah non-fiksi, tapi tidak jarang juga di naskah fiksi.

Kadang emang kami suka selo gitu sih, copy-paste teks dan search by google. Kalau ketemu yang sama persis atau 70% sama, bisa hampir dipastikan tulisan lain di bab-bab berikutnya, pasti bakalan ada yang copas juga.

Lebih baik tolak deh.. Ketimbang bikin perkara sama si penulis teks aslinya.

*

Hhmm… apa lagi yaa lainnya…

Kayaknya itu aja sihh.. Nanti kalau ketemu permasalahannya biasanya baru inget. Tapi kurang lebih yang saya temui adalah kesalahan-kesalahan tersebut, yang bikin saya langsung ilfil dan males akuisisi tulisannya.

Gitu deh ya..

Semoga bisa jadi bahan masukan biar naskahnya enggak aku tolak lagi. :p

Bhay!

20 thoughts on “#LifeAsEditor: Apa yang Membuat Naskahmu Ditolak Penerbit

  1. Aku rada sedih dengan referensi literasi fiksi saat ini, tiap melongok toko buku yang kutemukan adalah karya2 yang kebanyakan seragam, yang cinta cintaan cetek dg setting luar negeri, ato meski difilmin pun tetep aja bagiku kurang greget. Gaya bahasanya kurang kaya. Mendadak rindu karya lama macam punyaknya sutardji calzoum bahri, agus noor, atau sastrawan surelais yang karyanya bikin mikir yang baca

  2. Daridulu penasaran ama alur suatu buku, dari mulai dikirim ke penerbit sampai bisa ada di toko :).. Ternyata saringan awalnya udah ketat ya mba.. Aku prnh baca novel, yg kliatan bgt risetnya ga kuat.. Cerita soal sekolah di luar negri, tp beberapa kalimat bhs inggrisnya kaku dan banyak salah, juga detil ttg lokasi seperti ngambang.. Kliatan kLo penulisnya cuma riset setengah jalan :p.. Berarti editornya ga bgs juga ya mba kalo gitu..

  3. Wah sedih juga kalau ditolak, tapi semua pasti butuh proses. Gak ngerti bab begini tapi untuk yang mau masukin ke penerbit yakinkan tulisn sudah oke dari banyak aspek ya

  4. AKu belum pernah ngajuin naskah ke penerbit, tapi kalau aku ngajuin, sepertinya aku belum lolos untuk tulisan tidak bertele-tele. Kadang aku susah buat nulis yang lansung point nya aja. Huhuhu

  5. Belum pernah ngeluarin buku solo, tapi poin yang mbak sebutin itu emang fatal kalo ditinggalin sih.
    Apalagi selama baca buku fiksi, hampir tema-temanya mirip, kecuali yang emang udah mendapat nama si penulis. Risetnya cukup tinggi, dan gak sembarangan menelurkan karyanya.
    TFs buat artikelnya ini mbak ^_^

  6. Berarti kalo udah terkenal bisa punya peluang lebih ya untuk diterima naskahnya? Wah. Menarik nih.

    Etapi mbak, kalo udah Search dari Google dan enggak ketemu copas. Tapi pas udah terbit baru ketahuan gitu pernah enggak sih mbak?

    Kayak buku non-fiksi gitu. Kadang isinya mirip-mirip semua.

    1. Ada batas toleransi kutipan. Kalo sebuku isinya kutipan semua, jelas itu copas. Biasanya ketarik kok, kalo paragraf pertama udah copas, biasanya pas ditelusuri selanjutnya banyak yg copas.

  7. Masalah copas ini sedang nge-heiits banget.
    Tapi seandainya niih, mba Noni…naskahnya memang copas, tapi kalimatnya diutak-atik sedikit…biar gak semata-mata copas.
    Apakah bakalan ke detect sama si google?

    Apakah ini berlaku juga ketika kita ngirim naskah yang kita post sendiri di blog lalu kita kirim ke web semacam Urban Mama atau Rocking Mama?

  8. pastinya kecewa ya kl naskah bukunya di tolak tp ga papa sih, namanya jg awal menuju sukses. Segalanya diraih dg susah biasanya berhasilnya bs bertahan lama. Tp susah juga kl bagian penerima naskah dan penyampai info menolak naskah calon penulis buku. Kudu berbesar hari banget.

  9. Saya.dl sempat kerja adi editor juga mba dan apa yg mba tuliskan diatas benar semua haha.. tulisan yg banyak typo pasti langsung bikin ilfeel dan ditolak penerbit hejehe

  10. aku sih baru sekali bukunya terbit itu pun antologi hahhahha kasian

    eh tp ini informasi penting siapa tau habis ini aku langsung nulis buku ye kan..

    kalau ditolak minimal udah ngertilah.. kira kira 10 ini alasannya..

    kec yg no 10 widiwww amit amit.. jauhkanlah hamba dari sifat plagiators aaamiin.. nggak papa ga diundang ke istana.#eh

  11. Terkadang tulisan typo itu tidak pernah kita sadari dan akhirnya malahan di tolak oleh penerbit. Bikin kesal juga sih klo sekiranya kita menulis dengan benar eh tau taunya ditolak karena beberapa tulisan banyak yang typo terus cerita yang kita buat bertele tele lagi.

  12. Wiiihh, cakep nih,.

    Iya sih, aku biasanya langsung nulis aja. Tapi sebelum publish biasanya kubaca jd kalo ada typo ya langsung dibenerin, hihihi

    keren tipsnya, makasih mbak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *