Dengan Cara Apa Kita Memprotect Anak Kita

Dengan Cara Apa Kita Memprotect Anak Kita

Lama sekali ternyata saya enggak ngisi blog ini. Bukannya sibuk-sibuk amat sih.. Tapi badan cukup capek, dan tiap ngelonin Luna pasti bablas ketiduran. Padahal tengah malam adalah satu-satunya waktu senggang saya buat me time, salah satunya dengan nulis blog. Nyatanya, me time saya beberapa minggu terakhir ini malah cuma browsing sosmed mulu. >.< Blogwalking pun tak pernah.

Semalam saat lagi asyik scroll timeline Facebook, saya baca satu berita, tentang seorang psikolog ternama sejagad Indonesia yang memprotes keras Bekraf karena mengundang Girls Generation (SNSD) karena menurutnya girl band tersebut adalah simbol seks, untuk tampil di (katanya) acara HUT RI. Padahal sebenarnya acara itu adalah untuk Countdown Asian Games 2018. Kok ya, kebetulan berdekatan sama HUT RI. Jadi banyak orang salah mengira, sampai-sampai Triawan Munaf, kepala Bekraf mempertegas hal itu berkali-kali di twitnya.

Saya enggak mau membahas banyak berita itu, sekalipun sebenernya ngikutin banget beritanya. Tapi pasti kalian jugalah.. Atau kalaupun enggak, browsing sendiri beritanya bakal lebih update lagi.

Tapi mendadak saya memikirkan, apa dampak negatif kalau anak muda (khususnya anak saya kelak) ketika menonton band yang seksi? Atau menonton film dengan adegan ciuman bibir? Termasuk saat melihat orang berbikini, baik di TV atau di pantai.

Mau enggak mau, menurut saya, kita musti memikirkannya. Karena ini akan berhubungan dengan style parenting kita, juga bagaimana nantinya kita menjelaskan tentang pendidikan seks pada mereka.

Di luar kasus pornografi yang memang bikin miris yaa… Saya berdoa banyak, semoga anak-anak kita semua terhindar dari hal-hal tersebut. Karena memang sih, faktanya semakin maju teknologi, godaan untuk anak-anak semakin besar. Kalau dulu godaan kita cuma nonton TV dan main Tetris di Game Watch, sekarang enggak cuma TV, tapi juga Youtube, game playstation, gadget, film bioskop, dan ikon band idola remaja.

Lantas, apa karena saking parnonya kita, lantas memblokir semua akses anak-anak. Melarangnya menonton TV, menggunakan gadget, menonton Youtube, dan mengenal bahkan menyukai band-band lokal atau luar negeri. Dan saking parnonya juga, kita membatasi anak perempuan kita untuk berteman dengan laki-laki, bahkan itu dipeluk oleh ayahnya sendiri.

Itu bikin saya mikir dan berdiskusi juga sama suami. Karena style parenting kan harus kesepakatan dari kedua belah pihak. Enggak bisa cuma diputuskan salah satu pihak aja.

Hingga akhirnya kami memutuskan untuk tidak ingin membatasi Luna mengakses apa saja, asalkan masih dalam batas yang wajar, terkontrol, dan dalam pengawasan orang tua. Sampai suatu saat nanti dia dewasa dan bisa menentukan hidupnya sendiri. Karena enggak mungkin selamanya dia bakal saya awasin terus, kan..

Baca juga: Menciptakan Internet Aman di Rumah

Saya memperbolehkan Luna mengakses Youtube, tetapi dengan parental control yang dinyalakan. Mengeceknya, tadi membuka channel apa saja. Memberinya pengertian bahwa ada channel-channel tertentu yang sekalipun lolos, tetapi saya tidak perbolehkan untuk ditonton.

Dan ternyata, memberinya pengertian itu manjur banget. Kalian tahulah, channel superhero fun yang princess Elsa nikah sama Spiderman, trus hamil dan dokternya Hulk. Channel itu lolos filter, sekalipun Youtube sudah diamankan. Ya karena mungkin karena mereka menampilkan tokoh-tokoh kartun ya… Tapi apa coba faedahnya?

Makanya semenjak saya pernah melarang Luna menonton channel itu dan sejenisnya, dia langsung tanggap. Dan setiap cover video itu muncul di halaman depan, otomatis dia akan melewatinya atau berkata, “Ini enggak boleh ditonton ya, Buk…”

Baca juga: Aturan Main Nonton Youtube

Saya tidak berusaha menutupi tayangan TV, film, atau gambar yang menayangkan perempuan berbikini, dalam konteks normal. Misal lagi di pantai, atau photo challenge session seperti di Asia’s Next Top Model kemarin. Dan bukan berbikini di adegan berhubungan seks ya.. Kalau itu jelas big no.

Bagi saya, perempuan berbikini di sikon tertentu itu wajar, dan dia perlu tahu. Bukan berarti bikini itu jelek dan perempuan berbikini itu perempuan enggak bener. Perempuan yang bajunya serba minim dan ketat juga bukan berarti perempuan jelek. Karena prinsip saya, perempuan punya hak menentukan ingin seperti apa dia berpakaian.

Masalah menggoda iman laki-laki, itu perkara lain. Justru itu perlu dipertanyakan, kok bisa tergoda hanya karena melihat perempuan berpakaian minim. Apa karena selama ini mereka terlalu dibatas-batasi sampai sekalinya lihat langsung kemecer pengin menerkam. Serem ihh…

Baca juga: #ParentsTalk: Kalau Anak Besok Mulai Pacaran Gimana?

Saya tidak berusaha terlalu keras untuk menutupi adegan kecupan bibir, kecuali french kiss yang sampe guling-guling, mendesah-desah manja, atau slow motion yang terkesan dilama-lamain. Biasanya kalau sudah begini, saya alihkan perhatian Luna ke hal yang lain, bukan dengan memintanya menutup mata. Kalau sengaja ditutupin matanya, anak justru akan makin penasaran.

Bukan apa-apa sih.. Tapi, lah wong saya dan suami sendiri sering mempertunjukkan kemesraan dengan berciuman di depannya. Mengecup bibirnya sepersekian detik di depannya, menunjukkan bahwa mencium bibir tidak selalu berkonotasi seksual. Melainkan, apa yang dilakukan orang tuanya ini adalah salah satu ekspresi kasih sayang.

Begitu pula dengan adegan di TV yang mungkin mempertontonkan adegan ciuman bibir yang cuma sepersekian detik itu. Mereka adalah sepasang orang yang saling mengasihi. Ciuman bibir itu tidak selalu berkonotasi seks ah… Tergantung otaknya siapa dulu yang mikir.

Baca juga: #LifeasEditor – Tentang Buku Anak yang Ditarik Peredarannya

Kembali ke pertanyaan di judul atas, “Dengan apa kita memprotect anak kita?”

Mungkin beberapa di antara kita ada yang memilih untuk menutup semua aksesnya, ya itu tentu hak setiap orang tua ya.. Beda style parenting bukan berarti dosa kan..

Cuman kalau saya, ya itu tadi.. Kebalikannya, saya tidak ingin menutup aksesnya, dan ingin membukanya luas dengan term and condition yang berlaku.

  • Memberinya batasan dalam mengakses Youtube. Misalnya cuma 15 menit sehari, dengan mengaktifkan parental control.
  • Memperbolehkannya bermain gadget dan mengunduh games, tapi dengan batasan. Misalnya anya boleh dimainkan saat weekend dan parental control yang aktif. Sehingga dia tidak bisa sembarangan download game yang aneh-aneh. Untungnya sampai sekarang dia justru lebih tertarik bermain aplikasi edukatif di gadget, seperti puzzle, mewarnai, mencocokkan gambar, dll. Mungkin karena saya juga eggak pernah ngenalin games lain kali ya.. Dasarnya kami enggak ada yang suka ngegames.
  • Memperbolehkannya nonton TV, tapi khusus untuk acara-acara yang berfaedah. Kebetulan saya bukan penggemar sinetron, apalagi dangdut-dangdut apalah itu.. Jadi enggak terlalu khawatir sama efek sinetron. Lha wong, tiap malem TV di rumah selalu mati. Paling pol, yang ditonton Discovery Channel atau Net TV, dan yang ter-urgent kemarin adalah nonton AsNTM bareng Luna. Kadang jujur ya, pengin mantengin Star World dan ngikutin Revenge atau 2 Broke Girls, tapi kok males kalau harus ditonton bareng anak.Karena acara itu enggak ada urgensinya dan enggak ada faedahnya bagi kehidupan kami sekeluarga.
  • Membebaskannya menyukai tokoh idola siapapun. Mau band lah, girlband, boyband, terserah.. Masa-masa muda yang ngefans artis gila-gilaan itu akan jadi kenangan indah. Dan saya enggak akan menghalang-halanginya membuat kenangan tersebut. Semua orang berhak alay, dan berbahagialah kamu yang pernah alay pada masa mudamu. LOL. Kalau kita khawatir pada band tersebut memberi pengaruh buruk pada kehidupannya. Ya jangan asal judging, cari tahu dasarnya dulu, baru komunikasikan dengan anak. Semakin dicounter dan judging, wajar kalau para ABG bisa berubah jadi singa, dan kemudian menjaga jarak dengan kita. Enggak mau juga kan, anak kita besok menjaga jarak dengan kita, gara-gara kita terlalu membatas-batasinya dan tidak menghormati pilihannya.
  • Mengikuti update tren kehidupannya saat ini, dan bukannya memaksa mengikuti tren kita jaman baheula. Siapa seleb yang dia ikuti, kita kepoin.. Bagaimana kehidupannya di sosmed juga kita perhatikan. Banyak kok, ibu-ibu yang mainan sosmed sebenernya cuma buat ngawasin anaknya. LOL. Hingga akhirnya, pada satu titik kita menyadari bahwa dia sudah dewasa, sudah bisa dipercaya, dan tidak perlu diawasi lagi. Saya sih percaya, fase kita percaya pada anak itu setelah kita lulus melewati fase mengawasinya tiada henti dan menasehatinya dari hati ke hati, hingga berhenti pada satu titik bahwa “anakku bisa dipercaya, dia bertanggung jawab, dan bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk.”
  • Memberinya informasi pendidikan seks sejak dini, supaya dia tidak mencari dan mendapatkannya justru dari orang lain. Semakin ditutup-tutupi, anak semakin penasaran mencari tahu sendiri. Gawat kan, kalau dia justru mendapatkan informasi dari orang lain. Ya kalau bisa dipercaya, ya kalau enggak. Dan menurut saya, memberikan pendidikan seks usia dini itu tidak terbatas pada ini organ reproduksi perempuan, ini laki-laki. Tetapi juga memberinya pemahaman bahwa setiap orang berhak memutuskan ingin seperti apa dia berpakaian. Tidak melulu cara berpakaian diidentikkan dengan seks, kan..

Baca juga: Dari Drama Korea, The Moffats, Sampai Teenager Parenting Style

Udah lama enggak ngeblog, sekalinya nulis panjang juga ya ternyata. LOL. Semoga enggak ada yang capek, bacanya.

But, the bottom line is…

Dengan cara apa saya memprotect anak saya? Dengan memberinya kebebasan dengan batasan. Bukan memberinya pagar tinggi dan menutup aksesnya pada kemajuan dunia.

🙂

9 thoughts on “Dengan Cara Apa Kita Memprotect Anak Kita

  1. Aku setuju 🙂
    Aku pun hasil dari didikan orang tua yang tidak melarang ini itu tapi pengawasannya penuh. Tidak berusaha nutup apapun. Karena emang iya, semakin ditutup semakin penasaran. Dan pengertian orang tua itu ampuh. Anak akan lebih percaya orang tua.

  2. Saya suka dengan quote terakhirnya. Daripada membatasi anak-anak terlalu ketat, saya lebih memilih memberinya bekal supaya dia bisa membuat benteng sendiri. Anak-anak juga perlu belajar membuat benteng dengan bekal yang kita kasih. Kalau terlalu menutup akses, saya malah khawatir ketika sudah mendapatkan kebebasan nanti malah anak terkaget-kaget

  3. Aku sepakat sama poin memberikan pendidikan seks sejak dini supaya gak cari tau dari orang lain. Orang tuaku cukup demokratis untuk soal ini Mbak. Sampai sekarang pun aku dan Mama gak canggung mau bahas soal seks, tapi gak soal hubungan intim ya hahahaha …

    Yg mbak Noni tulis ini jadi bikin aku inget soal menggenggam pasir. Kalau digenggam terlalu kuat, malah ‘berontak’. Digenggam lembut, justru terjaga di tangan 🙂

  4. Sama mba.. Aku juga ga mau terlalu mengekang anakku, krn aku sendiri udh ngerasain pas kecil dulu, dikekang abis2an ama ortu. Akibatnya apa?aku jd yg paling bandel, suka berontak dan tertutup ama ortu.. Dr penglamanku sendiri, akhirnya aku belajar, kalo anak2ku ga bisa digituin.. Jamanku aja dikerasin bisa bikin anak makin nakal, apalagi anak jaman sekarang yg ga ingin taunya tinggi banget

  5. Setuju sama semua poin diatas, intinya pendampingan terhadap anak itu sangat diperlukan karena anak belum tau mana yang baik & yang buruk. Orang tua adalah guru pertama anak, jadi meskipun gadget sudah ada sistem keamanannya, anak tetap harus didampingi, agar kita bisa lebih dekat & memberi info yg baik pd anak bila diperlukan.

  6. menemukan ini di list bawah saved page facebook. (brarti sudah lama banget nyimpennya). tapi tetap sukaaaa poin2 yang dikemukakan di tulisan ini. Antara belajar demokratis dengan deg2an takut kebablasan atau sebaliknya masih terlalu membatasi itu seni tersendiri. TFS mbak noni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *