Sekilas orang-orang yang melihat, akan melihat saya adalah sosok yang begitu mencintai bekerja. Menikmati rutinitas berangkat pagi, pulang sore. Pekerjaan yang dekat dengan hal yang disukai, buku. Terima gaji tiap bulan, dan punya uang sendiri. Enggak perlu tergantung suami kalau pengin memanjakan diri, atau membelikan Luna sesuatu, etc.
Tapi, tidak selalu saya sebahagia itu.
Berangkat pagi-pagi, bahkan lebih pagi dibanding suami, sehingga tidak bisa mengantarkan Luna ke daycare. Itu sering bikin sedih. Aku ini ibunya, kenapa enggak bisa antar-jemput anak sendiri, sih.. Segitunya amat ya, harus berangkat kerja pagi-pagi, pulang sore hari.
Kadangkala, ketika harus saya yang mengantarkan Luna ke daycare, karena suami ada urusan pekerjaan yang lebih pagi, maka saya akan membangunkan Luna lebih pagi lagi, kalau ada waktu menyuapi sarapannya, kalau sudah mepet dengan jam masuk kerja saya, maka saya akan membawakan sarapan ke daycarenya. Meminta bantuan bundanya, untuk menyuapinya sarapan.
Itu baru urusan anak. Belum lagi urusan perdapuran. Mau beli makan di luar terus, bikin pengeluaran bulanan lumayan juga. Sekalipun di rumah ini ada 2 orang yang berpenghasilan, tapi tidak serta-merta mengubah kami menjadi pasangan kaya-raya.
Kami punya mimpi dan cita-cita, jadi target tabungan ditetapkan. Untuk segera mencapainya, anggaran rumah tangga diketatkan.
Jadi, kami hampir selalu makan masakan rumahan setiap hari. Beli di luar, kalau kemarin enggak sempet belanja, bangun kesiangan sampai enggak sempet masak, dan mager berat yang bikin otak males mikir hari ini musti masak apa.
PR banget nggak sih, mikir hari ini masak apa. Bahkan di kantor, saya sering googling ide masak, buat dimasak esok pagi atau selama seminggu ke depan.
Kalau di pekerjaan, saya punya timeline produksi buku, maka di rumah, saya punya timeline produksi masakan. Mayan sih.. biar enggak perlu ekstra mikir.
Untungnya, punya suami yang bisa masak. Jadi kalau buru-buru (yang seringnya memang selalu buru-buru), dia akan mengambil alih masak-masak.
Kira-kira gitulah drama tiap pagi di rumah saya. Ini Luna masih belum harus masuk sekolah pukul 7 tiap pagi. Etapi, kalau dia besok masuk TK yang jam masuknya lebih pagi, justru saya bisa nganterin dia sekolah, ding. Yey!
Eh iya loh.. Cita-cita saya saat ini adalah jadi macan ternak. Remeh banget ya. Jujur, kadang saya sering iri lihat teman-teman yang punya waktu longgar untuk antar-jemput anaknya. Sedangkan saya harus menyesuaikan diri dengan jam kerja kantor yang teratur.
Baca juga: Hal yang Kamu Pikirkan tentang Ibu Bekerja Ini Tidak Selamanya Benar
Dan setiap hari saya harus menempuh perjalanan kerja sejauh 20 kilometer, PP. Kadang naik motor, kadang nyetir mobil. Enggak pernah naik bis atau ojek online. Menunggu mereka justru bikin telat atau saya harus siap-siap lebih pagi lagi. Mendingan berangkat-pulang sendiri.
Kadang orang enteng aja bilang, “Salahnya, punya rumah jauh amat.” Iya, karena kami cuma mampu beli rumah di pinggiran ini. Itu pun kredit. Kalau ditanya penginnya, ya punya rumah sendiri di tengah kota, dekat sama mana-mana. Tapi kami memilih rumah yang sesuai dengan kemampuan kami. Ini pun tanpa dibantu atau minta dibantu orangtua. Karena punya rumah itu tanggung jawab pasangan suami-istri, ngapain juga sih, ngrepotin orangtua. Masih mampu, kami bayar dan cicil sendiri semuanya.
Makanya, 5 tahun yang lalu ketika ada tawaran pekerjaan di kantor baru, yang hari kerjanya Senin-Jumat, saya dengan senang hati menerimanya. Karena sebelumnya, kantor saya yang lama itu kerjanya Senin-Sabtu. Enggak kebayang deh capeknya, kalau saya musti kerja 6 hari seminggu.
Tapi meski begini, saya masih bisa bersyukur, karena tinggal di Jogja. Jarak 20 kilometer itu masih bisa saya tempuh dalam waktu 35-40 menit. Saya enggak perlu bangun lebih pagi untuk menyiapkan semuanya. Enggak perlu mengorbankan banyak waktu keluarga untuk terjebak macet di jalanan.
Baca juga: Manajemen Waktu Ibu Bekerja
Di luar itu semua, rasa capek dan pengin berhenti dari semua rutinitas ini, seringkali muncul. Lihat ibu-ibu yang bisa 24 jam sama anaknya, kayaknya kok menyenangkan ya..
Lihat ibu-ibu yang tiap hari bisa menyiapkan dan membuat aktivitas bermain sendiri untuk anaknya, kayaknya kok seru ya..
Lihat ibu-ibu yang selalu eksplore masakan buat anak dan suami, tanpa diburu-buru waktu kerja, kayaknya kok enak ya..
Dan lihat ibu-ibu yang berdandan cantik tiap hari untuk antar-jemput anaknya sekolah dan ke aneka les, kayaknya kok membahagiakan hidupnya.
Kalau orang Jawa bilang, “Urip kuwi wang sinawang.” Apa yang yang kamu lihat menyenangkan di kehidupan orang lain, belum tentu semenyenangkan itu. Seperti mungkin, orang lain yang melihat hidupmu, sebagai ibu bekerja.
Baca juga: Saat Harus Meninggalkan Anak ke Luar Kota
Capek dengan rutinitas. Anak sakit. Ritme kerja di kantor yang bikin otak panas. Harus pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Semua bikin saya mengumpat dan mengeluh tiap hari.
Entah sudah berapa kali saya mengeluh ke suami. “Kalau gini terus caranya, aku mau resign aja!” Sampai lama-lama telinganya sudah capek, dan bilang, “Ya udah, resign aja..”
Tapi kemudian, ketika dihadapkan sama kesempatan itu, saya malah jadi galau. Maju-mundur untuk beneran resign.
Kalau saya di rumah terus dan ngurusin anak sepanjang hari, kira-kira bisa waras enggak ya.. Karena enggak semua ibu bisa waras ketika mengurusi anaknya seorang diri, sepanjang hari.
Kalau saya jadi fulltime macan ternak, nungguin anak sekolah sambil hangout sama genk macan ternak di mall atau cafe. Bisa berapa rupiah sendiri yang harus dikeluarkan. Bisa-bisa stres karena penghasilan sendiri udah enggak ada, tapi pengeluaran bertambah. Ya kan, nikahnya bukan sama pengusaha kaya raya, trus bisa gabung ke genk Girls Squad.
Kalau saya jadi mompreneur seperti yang sudah lama diimpikan, kerja dan blogging dari rumah aja. Kira-kira apakah itu beneran bisa membuat waktu bersama keluarga akan lebih banyak, atau justru jadi kerjanya 7/24.
Dan kalau saya beneran di rumah terus setiap hari dan sepanjang hari. Kira-kira bosen dan mati gaya ya.. Trus kerjaannya cuma nonton TV dan mainan sosmed, sambil nunggu anak pulang sekolah. Enggak ada temen curhat enggak penting, akhirnya curhat di sosmed. Segala-gala yang enggak penting diceritain. Duh, enggak mau juga.
Gini nih, akibat kebanyakan mikir dan galau berkepanjangan. Lalu akan diem dan bahagia, setelah gajian dan bonus tahunan turun yang nominalnya tak terkira.
Hahaha.. Gitu aja terus siklusnya. Bete dan ngeluh mau resign, satu purnama kemudian bahagia dan bangga menjadi ibu bekerja.
Baca juga: What Working Mother Want
Bos saya pernah bilang, “Orang yang bilang, ‘Aku mau resign’. Sebenernya, dia justru lebih berat hati untuk mewujudkan keinginannya.”
Wah, beneran menohok banget.
Entah saya akan terjebak menjadi pekerja kantoran sampai pensiun atau tidak. Walau sebenernya saya punya target usia juga sih, untuk berhenti dari rutinitas kantoran. Target yang enggak perlu diceritakan. Tar kejadian deh, yang dibilang bos saya itu. Oh, big no!
Baca juga: Manajemen ASI Ibu Bekerja
Di luar itu semua, saya orang yang suka sibuk. Dan akan lebih sehat psikisnya, kalau otak dan fisik bekerja. Dan sekalipun suami jelas menafkahi, tapi saya akan lebih waras kalau punya penghasilan sendiri. Ditambah lagi, saya punya kebahagiaan tersendiri ketika bisa membantu suami untuk mewujudkan mimpi-mimpi kami.
Kami berdua punya mimpi, kecil dan besar. Menyekolahkan Luna di sekolah A, yang pendidikannya terkenal bagus. Memberi kesempatan padanya untuk kuliah di mana pun dia mau, dan akan benar-benar banting tulang untuk membantunya mewujudkan impiannya. Belum lagi, KPR ini masih berjalan sampai Luna SD besok.
Kalau dilihat sekarang, kayaknya cukup-cukup aja. Tapi sering kepikir, masa depan.. Kebutuhan hidup pasti akan jauh lebih meningkat.
Kira-kira sanggup enggak ya..
Memang sih, hidup itu jangan pakai rumus matematika. Tuhan enggak akan membiarkan umatnya kelaparan. Yang kayaknya enggak cukup, tapi sama Tuhan pasti dicukupkan. Cukup untuk ukuran Tuhan, bukan manusia.
Tapi hidup juga enggak bisa pakai standar orang lain. Tingkat kebahagiaan ibu A, mungkin dengan mengurusi anaknya seorang diri, sepanjang waktu. Tapi tingkat kebahagiaan ibu B, mungkin dengan bekerja dan dibantu oleh asisten untuk mengurusi anak dan rumah.
Baca juga:Alasan Kenapa Ibu Harus Bekerja
Yes, saya memang sedang mengeluh. Jadi ibu bekerja itu lelah dan seringkali terpikir untuk resign. Tapi di antara keluhan dan umpatan yang entah sudah berapa banyaknya itu, akhirnya saya memilih untuk bertahan.
Tidak hanya perkara, berkurangnya pemasukan keluarga, tapi bertambahnya pengeluaran. Tapi juga mempertegas lagi apakah saya akan waras dengan menjadi ibu rumah tangga? Itu yang lebih penting.
Huhuhuu.. aku bangett.. cuma pd akhirnya ak memilih resign, daan.. terjadilah sebagaimana tersebut , hal yg dikhawatirkan itu.. malah yg kurasa lebih parah.. huhuhu..
Duh, semangat yaaa.. Perlu penyesuaian diri lagi, kayaknya.
Bener mbak, kalo di rumah kadang juga stress. Huhuhu. Sama-sama balada ya. Aku sendiri memilih freelance, yang bisa milih proyek atau bisa langsung oke kalo stress. Tapi ya balik lagi, kalo pas kerja kok rasanya kangen rumah. Hehehe.
Beruntung banget sabtu minggu libur ya mbak, 2 hari buat kumpul full sama keluarga..
Semangat ya mbk^^
karena aku memang dr dulu maunya kerja , gak mau di rumah saja, jd semua kesulitan hr s dicarikna solusi dan hati perlu sabar dan aku ajarkan anak2ku dr dini mandiri shg gak banyak mneyusahkan, tp untungnya anak2 jd mandiri dr kecil
Iya sih, anak yang udah biasa ditinggal kerja sama ibunya, biasanya jadi lebih mandiri ya..
memang perlu tekad yang kuat ya kalau dari biasa kerja trus jadi ibu rumah tangga
aku akan bingung kl raya udah mulai masuk TK karena skrg ke daycare deket kantor jd pagi2 bisa langsung diangkut barengan. Kl udah TK dan minta anter itu kayaknya bakal berat, yg penting ketika kerja suami dukung, jadi kl ada apa2 bisa bekap, bantuin..
Karena jam masuk kerjaku lebih pagi ketimbang suami, jadinya Luna berangkat sama bapaknya. Aku mikirnya, kasian ah.. harus ikut aku berangkat pagi2. Daycare kan gak ada aturan jam masuknya. Tapi aku rindu antar-jemput dia. Hahaha..
Setiap ibu punya masalahnya sendiri ya. Kadang aku mau resign juga jadi IRT tapi tiap mau nitip Ghaza aku malah jadi galau sendiri. Aku protektif soalnya, suka tidak percaya bagaimana orang lain menjaga Ghaza. Hehehe
Saya sih salut sama ibu-ibu yang punya tugas rumah banyak, punya anak kecil, tapi masih tetep bisa survive bekerja kantoran. ? Tapi alangkah baiknya jika dipertimbangkan lagi untuk lebih mengurus anak dan keluarga. hehehe.
Lebih diseimbangkan gitu ya..
tulisan ini akuuuu banget. hahaha. galau banget deh pokoknya urusan anak vs bekerja, sampe aku disindir sindir soal nitipin anak ke ortu. hiks. apalagi rumahku juga jauh, sekitar 1-1.5 jam perjalanan karena surabaya macet book ?
Semangat kakakk… *saling menguatkan* ?