Sampai sekarang saya belum pernah ngalamin sakit gigi, gigi berlubang, gigi ditambal, atau operasi gigi. Padahal aslinya saya enggak rajin-rajin amat gosok gigi tiap malem. Minimal gosok gigi 2x sehari, cuma tiap selesai mandi. Malemnya sebelum tidur, ya.. tergantung mood aja. Kalau merasa mulutnya enggak nyaman akibat makanan dinner barusan, ya gosok gigi. Kalau ditegur anak, baru gosok gigi. Payah bangetlah pokoknya.
Tapi sebaliknya dengan Luna. Kecil-kecil gini, giginya sudah berlubang banyak dan gripis di 4 gigi susu depan atas. Abis sudah gigi depannya. Padahal dia jauh lebih rajin gosok gigi ketimbang ibunya, dan dia juga bukan anak dot. Enggak ada kebiasaan ngedot sambil tiduran trus merem ketiduran. Karena dia selalu minum susu pake gelas cup atau sedotan. Selesai minum baru mapan tidur.
Kalau saya perhatikan, Luna kecil dulu sekitar usia 1 tahun, punya hobi ngemut makanan di depan gigi. Bibir sambil mecucu-mecucu, padahal sebenernya lagi ngemut makanan. Trus lama-lama, gigi depan atasnya habis. Habis dimakan nasi.
Dulu, tiap ada orang yang komentar, “Kok, giginya habis. Pasti ngedot ya..” Saya masih telaten banget menyangkal dan menjelaskan, “Enggak, dia enggak ngedot, tapi dulu kecilnya makannya selalu diemut di gigi depan.” Tapi lama-lama, capek banget jelasin satu-satu. Saya biarin aja mereka beropini masing-masing. Karena komentarnya selalu gitu, padahal demi dokter gigi yang ganteng, Luna bukan anak dot.
Setelah perkara gigi depan yang habis ini, muncul lagi gigi geraham yang lubang satu per satu. Perasaan, saya udah rajin ngajak dia sikat gigi deh. Bahkan usia belum genap 2 tahun, saya udah beliin dia pasta gigi ber-xytitol. Kemudian ketika ngobrol dengan temen, dalam hati saya membatin tidak terima. Kenapa yang ortunya males banget disiplinin anak sikat gigi, tapi gigi anaknya masih bagus semua. Sedangkan anak aku enggak…. Why God?
Di tahun 2015, saya sempat mengonsultasikan giginya Luna ke Peri Gigi, klinik gigi rekomended di Jogja. Kids and aesthetic dental care. Kapan-kapan saya pengin review ini, ya..
Tapi, dokter yang bertugas saat itu menyarankan untuk tambal 1 tahun lagi, sambil nunggu anaknya gedean dikit. Oncemnya saya saat itu, enggak tahu kalau yang priksa giginya Luna dulu adalah dokter gigi biasa. Padahal sebenernya ada dokter gigi spesialis gigi anak, tapi hari itu sedang tidak praktik. Makin oncemnya lagi, saya menunda tambal hingga 2 tahun karena khawatir Luna bakal kesakitan ketika ditambal. Ini karena ibunya enggak pernah tambal gigi jadi mikirnya macem-macem.
Dan tahun 2017 lalu ketika saya balik ke Peri Gigi, khusus ke drg. Liza, spesialis gigi anak.Komentarnya sedikit mengomel tapi tetap halus, “Kenapa harus ditunda? Harusnya dulu bisa.”
Huhuhuhu… kenapa enggak dari dulu aku kenal dirimu ya, dok.. Selama ini terlalu santai karena Luna enggak pernah mengeluhkan giginya. Dan toh, gigi susu gini, tar kan bakal ganti dengan gigi permanen yang baru juga. Padahal, sekalipun gigi susu tetap harus dirawat dengan baik, biar gigi permanennya juga hasilnya baik.
Selama akhir bulan Desember sampai awal Januari kemarin, setiap minggu Luna selalu ke dokter gigi. Setelah dia kooperatif untuk dirontgen giginya, besoknya satu per satu giginya ditambal. Seminggu sekali satu gigi, karena kalau semua sekaligus dianya bisa capek trus trauma. Anak kecil kalau udah trauma ke dokter gigi, bisa gagal diperiksa. Kalau trauma ke dokter anak, misal takut disuntik, masih bisa dipegangin dan dipaksa suntik. Lah kalau kalau trauma dokter gigi, trus bibirnya mingkem rapet, yang diperiksa apanya dong..
Untungnya, dokter Liza ini sabar banget. Ditambah di kursi periksa Peri Gigi ada layar LCD yang muter film kartun anak-anak. Jadi, selama sebulan Luna bolak-balik ke dokter gigi, puji Tuhan dia enggak trauma sama sekali. Cuma saya yang enggak suka denger suara desingan bor. Kayaknya kok sakit, tapi Luna diem aja, berarti enggak sakit kan..
Saya sempat menanyakan tentang gigi susu depannya yang gripis. Besok tanggalnya gimana ya? Apanya yang goyang-goyang, wong giginya enggak ada.
Tapi katanya, pasti akan kerasa goyang ketika sudah waktunya tanggal. Tinggal ditunggu aja, nanti bisa tanggal sendiri, bisa harus dibantu dokter. Sama seperti proses gigi utuh pada umumnya.
Dan saya sendiri, mulai detik ini berjanji untuk rajin kontrol gigi Luna 6 bulan sekali. Saya enggak mau mengulang kesalahan yang sama. Meski sekarang ini giginya udah dapet tambalan banyak, tapi besok semoga gigi permanennya bagus-bagus, dan dia enggak perlu ngerasain sakit gigi.
Terakhir kontrol kemarin ada kejadian lucu. Sambil nunggu antrian, Luna kenalan sama seorang anak cewek di pojok playground. Sebut saja nama anaknya Sailormoon. Sailormoon ini seumuran dengan Luna. Sama-sama superaktif, ketawanya sama-sama keras dan heboh, trus lari-lari di lorong. Mereka juga sama-sama saling menyombongkan dirinya.
Sailormoon: Aku kalau sekolah, enggak nangis lo..
Luna: Aku juga enggak nangis.
Kami yang denger rasanya pengin jitak Luna. Lha wong, tadi pagi dia barusan dianterin ke sekolah nangis kok.. Gemezh. Lalu percakapan kesombongan mereka berlanjut lagi.
Luna: Aku enggak takut sama dokter gigi.
Sailormoon: Aku juga enggak takut. Nanti aku masuk sendiri.
Lalu 15 menit kemudian, giliran Sailormoon masuk ruang dokter duluan. Dia bilang ke mamanya, “Aku sendirian aja! Mama di luar.” Tentu Mamanya enggak mau dong.. Sebagai ortu kan, harus terlibat aktif konsultasiin anaknya.
Dan 5 menit setelah Sailormoon di dalem, dia nangis superkenceng. Teriak-teriak enggak mau ditambal. Bhuahahaha.. lupa dia, tadi yang abis bergaya siapa. Dasar anak-anak, semua sama aja. Gayanya doang yang digedein, realisasinya nanti belakangan.
Lucunya lagi, pas kami lagi duduk-duduk santai nonton TV di ruang tunggu, tiba-tiba tangan Luna ditarik sama neneknya Sailormoon. Sambil izin ke saya, katanya, biar cucunya mau buka mulut dan mau dipriksa giginya. Siapa tahu Luna bisa kasih support ke dia.
Tapi tetep dong.. Sailormoon sedang di fase keras kepala seperti Luna. Mau Luna nungguin di depannya, tapi kalau enggak mau diperiksa, ya udah tetep enggak mau buka mulut.
Setelah Sailormoon keluar, giliran Luna yang masuk. Dia diperiksa dan ditambal dengan aman, tanpa drama. Sementara Sailormoon, sama mamanya dibolehin masuk untuk lihat temennya. Kalik-kalik, setelah lihat temennya berani, trus nular ke dia. Saya yang lagi nungguin dan dokter Liza yang lagi meriksa ikut bujukin. Tapi sayangnya kami kurang berhasil.
*
Di luar, saya sempet ngobrol sebentar dengan neneknya Sailormoon. Dia mengeluhkan cucunya yang sebenernya sudah beberapa kali ke dokter gigi, tapi tetep aja takut. Kenapa ya?
Lalu saya jadi mikir sebaliknya, kenapa Luna berani ya? Padahal beberapa bulan sebelumnya, tiap saya sebut mau ke dokter gigi, dia takut juga loh..
- Saya kasih dia game dokter-dokteran, khususnya dokter gigi. Supaya dia familiar dulu dengan alat-alat yang dipakai sama dokter. Ketika gigi dibor, maka hapenya bergetar. Gimana caranya nambal gigi, dan sebagainya. Menurut saya, game ini cukup efektif biar anak enggak takut dokter. Kalau saya sih, pakai game Doctor Kids dan My Dentist. Tinggal browse dan instal aja dari Play Store atau App Store.
- Bacain buku tentang anak yang berani ke dokter gigi. Bahkan saya bacain buku ini udah setahun lebih. Buku obral, harga 5000, yang dibeli saat Kanisius lagi bazar. Ternyata bermanfaat juga ya..
- Sounding berkali-kali bahkan beberapa hari sebelumnya, bahwa besok hari Senin mau ke dokter gigi, nambal giginya Luna. Kamu berani ya. Ibu pasti nemenin.
- Tidak menakut-nakutinya tentang dokter gigi. “Ayo gosok gigi, nanti ibu bawa ke dokter gigi loh.” Emang mau ngapain di dokter gigi, bu.. Kayaknya lebih enak bilang, “Nanti kalau giginya sakit gimana.. Enggak bisa makan cokelat lagi lho.. Padahal kamu kan suka cokelat.”
- Tidak memaksa atau memburu-burunya ketika di dalam ruang periksa. Misalnya, ketika naik ke kursi aja bisa lama banget. Atau kumur-kumur aja, pake acara pegang-pegang krannya dulu. Kadang enggak sadar kita pengin dia segera cepet dan mau, trus bilang, “Ayo cepet!” “Ayo dong, mulutnya dibuka lebar. Cepet!” Menurut saya, bisa jadi ini malah bikin anak melakukan hal sebaliknya. Intinya sih, santai aja, sabar aja. Luangkan waktu yang panjang untuk mendampingi anak ke dokter gigi. Kalau dokternya aja sabar dan enggak memburu-buru, jadi ya kita ortunya juga musti ikut sabar. Ini makanya, antrian dokter gigi itu selalu panjang dan lama. Karena periksa 1 anak, minimal bisa 15 menit.
- Cari dokter gigi spesialis anak yang sabar, serta klinik gigi yang enggak bikin anak bosen. Dan itulah kenapa saya pilih Peri Gigi. Mau ini letaknya mayan jauh dari rumah, tapi demi kenyamanan anak, enggak masalah.
- Kasih reward ketika dia berhasil melalui proses periksa gigi dengan baik. Kalau Luna rewardnya adalah es krim yang dikasih gratis dari Peri Gigi. Hahaha..reward enggak modal. Tapi harus konsultasi dulu sama dokternya ya, boleh enggak langsung makan es krim. Karena untuk tambalan non-permanent, harus nunggu 30 menit enggak boleh makan.
Itu kalau saya ke Luna sih.. Tapi tiap anak memang beda-beda ya treatmentnya. Tinggal sabar dan telatennya kita aja.
Dan ohya, lama-lama saya jadi mikir bahwa gigi adalah TAKDIR. Ada yang ditakdirkan giginya bagus, rapi, tanpa perlu susah payah rajin gosok gigi. Tapi ada juga yang baru lupa gosok gigi semalem aja, langsung giginya berlubang. Jadi, yang dikasih takdir gigi bagus, bersyukurlah dengan tetep dirawat. Tapi kalau takdirnya dikasih gigi rapuh dan mudah sakit, semoga tetap kuat menjalani serangkaian perawatan ekstranya.
Dan yang penting lagi, semoga anak kalian juga berani ke dokter gigi ya..
Tayo sm Tifa juga seneng klo ke peri gigi. Bahkan tayo itu sampe hobi scalling tiap 6 bln sekali. Klo tifa masih takut. Dia senengnya cm makan es krimnya doang. Luna pinter ya…berani tambal gigi
Wah pinter, kl Ais dr kejauhan aja udh takut ke dokter. Huhuhu