Gaji selalu jadi bahasan sensitif. Beberapa orang sengaja mark up gajinya ketika ditanya orang yang kepo maksimalita. Bahkan beberapa juga sengaja mark up gaji, demi pengajuan KPRnya diacc bank. Ini mah usaha banget kerjasama sama bagian HRD dan Keuangan kantor.
Trus tiba-tiba kepikiran nulis tentang gaji ketika genks kantor rame bahas instastories-nya Jouska, financial planner yang sedang ternama di jagad dunia maya. Beberapa DM yang masuk di akun mereka dipost ulang, ada yang cerita gajinya 20 juta, ada yang 50 juta.
Dan ketika adminnya berkata, “Ini follower Jouska gajinya gede-gede semua ya..” Kuhanya kalem sambil membatin, “Yang gajinya biasa aja, males nge-DM dan umbar gaji berapa.” Karena sadar diri, gaji belum sampe ke angka-angka fantastis tersebut.
Sebenernya enggak heran juga sih.. Karena gaji puluhan juta untuk fresh graduate dan entry level itu bisa banget didapat. Tergantung perusahaannya, industrinya, omzet bisnisnya, dan job desc pekerjaannya. Dan ohya, lokasi kerjanya.
Sudah pada tahulah ya.. UMR Jogja itu seberapa. Kalau liat nominalnya, bikin nangis. UMR rendah, tapi nilai property tinggi. Kalo gini terus kapan orang Jogja bisa kaya dan beli rumah. Coba cek rumah-rumah mewah di Jogja, banyakan yang punya kerjanya di luar kota semua.
Tapi karena kuterlanjur nyaman dengan kota ini, biar realistis, cari kantor yang pusatnya di ibukota. Biar gajinya sesuai standar sana, tapi biaya hidup seperti standar Jogja.
Oh, cerdas nian awak ni!
Tapi yang namanya gaji, sekecil apapun kita merasa, kalau ditanya cukup apa enggak? Ya harus cukup. Cukup buat makan sebulan, jajan tiap weekend, bayar sekolah anak, biaya entertaint, biaya komunikasi dan transportasi tiap hari, nabung pendidikan anak, nabung dana darurat, nabung traveling, nyicil KPR, dan nyicil kartu kredit.
Dulu awal-awal nikah sih, masih gaya. Pengeluaran masih standar. Tapi setelah bertahun-tahun membangun bahtera keluarga (gaya ih, baru 6 tahun juga), lingkaran komunitas bertambah, pergaulan meluas. Dan itu membuat biaya sosialisasi pertetanggaan meningkat. Ini sungguh tak terhindarkan, karena enggak mungkinlah bertahun-tahun nikah enggak bergaul sama sekali dengan tetangga. Hidup macam apa itu.
Melihat biaya hidup berkeluarga yang makin aduhai.. Jujur aja, saya enggak pernah merasa gaji saya kurang banyak. Kalau suatu bulan ternyata pengeluaran saya besar banget sampai harus bobol tabungan. Saya selalu merasa bahwa saya yang enggak pinter ngatur prioritas pengeluaran.
Saya mudah dipuaskan dengan gaji yang ditransfer tiap bulan. Dari yang pertama kali kerja kantoran digaji 900 ribu per bulan, sampai sekarang udah sekian juta rupiah ada di rekening. Puji syukur, selalu merasa punya gaji besar.
Ini mungkin yang bikin lambat kaya, karena enggak ambi perihal materi. Lol
Padahal kalau dipikir-pikir, lingkaran pertemanan saya cukup glamour dan berpotensi membentuk jiwa ambi materi. SD, SMA, dan Kuliah, saya belajar di sekolah swasta ternama, yang tarikan SPPnya bikin kuharus berterima kasih pada kerja keras bapak selama ini. Dan itu artinya juga, sebagian besar siswa di sana cukup mampu untuk hura-hura.
Kerja dengan gaji yang luar biasa. Punya bisnis dengan omzet fenomenal. Atau paling enggak nikah sama suami dari keluarga pewaris tahta.
Tapi untungnya, pertemanan saya biasa. SMA ada di tengah kota dekat dengan mall, tapi 3 tahun di sana nge-mall sama mereka cuma sekali aja. Jajan dan hangout seadanya. Enggak harus di restoran yang lagi hitz atau bikin arisan macam geng sosialita. Mungkin ini yang bikin saya selalu merasa cukup dengan penghasilan, yang puji syukur memang cukup.
Seringkali emang ya.. lingkaran pertemanan itu mempengaruhi bagaimana kita memandang gaji suami dan gaji diri sendiri. Apalagi kalau ditambah postingan mereka di sosial media yang mungkin bisa bikin hati membuncah penuh iri dengki. Lalu kirim whatsapp ke suami, “Besok liburan ke luar negeri yuk..”
Semata-mata bukan karena emang butuh dan direncanakan. Tapi karena terbawa hasrat pengin terlihat mampu seperti mereka.
Kalau udah gitu, emang mending puasa sosmed aja.
Satu minggu yang lalu, saya dapet rapelan kenaikan gaji tahun ini. Totalnya lumayan banget, ditambah abis dapet promosi juga kan.. Langsung aja saat itu saya buka-buka Tokopedia, toko-toko online di Instagram, dan juga Ikea. Sampai akhirnya mantap, weekend ini mau beli 2 stool di The Ayoyoo, melengkapi stool yang udah ada sebelumnya di ruang tamu.
Ohya, juga beli sepatu Luna karena pas jalan-jalan kok nemu sepatu lucu harga murah dan dia suka. Beli baju sexy buat menggoda suami (biar kerjanya lebih keras lagi). Dan ditutup jajan di cafe baru deket rumah Uti.
Lalu muncul ucapan suami yang cukup menohok.
“Gajimu naiknya lumayan. Trus sisanya berapa?”
Eh.. iya ya.. Berapa ya.. Perasaan kok cepet banget berkurang buat bayar ini-itu ya..
Dari dulu gaji cuma 900 ribu per bulan, sampai sekarang yang udah sekian juta. Sisanya itu ada berapa?
Sungguh, gaji itu tak pernah abadi, kecuali slipnya. Karena dasarnya manusia, gaya hidup pasti akan menyesuaikan penghasilan. Jadi coba yuk bandingkan saat dulu fresh graduate gaji masih kecil, sampai sekarang udah professional worker.
Gaji dikurangi gaya hidup, sisanya berapa?
Aset apa aja yang nyantol dari gaji yang selama ini kita terima?
Dudududuu….
Kalau kalian lagi depressed dan iri dengki lihat teman sepermainan punya gaji tinggi di perusahaan bonafid atau nikah sama pengusaha yang omzetnya milyaran. Perlulah membuka cakrawala pergaulan dengan keluarga yang biasa-biasa aja. Untuk menyeimbangkan duniawi, supaya kita bisa belajar bersyukur dan enggak mudah kepenginan.
Terpacu pencapaian gaji orang lain, boleh-boleh aja. Asal imbasnya adalah bekerja lebih giat supaya naik gaji, dan bisa menyenangkan keluarga. Bukan buat gaya-gayaan atau karena balas dendam doang.
Selamat menanti gaji bulan ini!
Menohok, menusuk, merobek kalbuque LOL
Terima kasih atas ide tulisannya sahabatque
Salam kenal Bunda