Tahun ini Luna bakal genap 5 tahun. Udah masuk kelas TK (yang sebenernya udah dicicil mulai Januari kemarin), udah bukan anak daycare lagi, dan jadi anak rumahan yang tiap pulang sekolah langsung pulang ke rumah.
Karena jadi anak rumahan, otomatis pergaulan dia di rumah jadi luas. Siang pulang sekolah main sama tetangga di situ. Sorenya main sama tetangga di sana. Kadang main di rumah mereka, kadang di rumah kami, kadang main sepedaan, atau istana-istanaan di gazebo kompleks.
Kami bukan tipe orang tua yang selalu nemenin anak main. Dulu sih, iya. Tapi lama-lama, dia bisa dilepas main sendiri dan kami juga lebih berani.
Lagian, saya tinggal di sebuah perumahan kecil. Anak-anak pada ribut di tengah jalan, pasti kedengeran. Dan sesibuk apapun kami di dalam rumah, kalau terjadi chaos pas mereka main, ya harus sigap keluar.
Karena udah jadi anak rumahan, artinya pertemanan Luna makin luas. Kalau dulu cuma temen-temen daycare doang, sekarang ada temen-temen sekolah yang jumlahnya jauh lebih banyak. Belum lagi nambah anak-anak tetangga dan lainnya.
Kalau kita punya relasi banyak itu kan, seneng yaa.. Tapi kalau anak udah mulai bermasyarakat, punya temen banyak, artinya kita harus siap dengan “masalah-masalah” yang kemungkinan besar akan dihadapi. Contohnya ya, sebelum ini kita merasa punya anak yang suci putih bersih, tak bernoda. Segala omongan kita, kelakuan kita, dan tontonan kita dijaga betul supaya enggak ditiru anak. Nah, setelah anak gedean dikit dan mulai bergaul tiba-tiba dia pulang main dengan pertanyaan yang bikin syok, “Pelakor itu apa sih?”
Hehh.. Tahu dari mana kosakata itu? Selama ini nonton Insert juga enggak pernah.
Anw, itu tadi sekadar contoh doang. Luna belum pernah nanya tentang definisi pelakor. Semoga nanyanya besok-besok aja setelah saya punya jawaban yang bisa dijelaskan dengan sederhana. Biarlah sekarang dia polos apa adanya..
E siapa bilang polos terus. Kapan itu dia tiba-tiba pulang sekolah sambil cerita kalau punya lagu baru. Trus nyanyi, “Sayang.. opo kowe krungu jerit ing atiku, mengharap engkau kembali..”
Anakku sekarang Vianisti. Siapa yang ngajarin woyy? Siapa yang nyecokin dia lagu-lagu dangdut. Nonton Dangdut Academy aja enggak pernah. Tapi masih mendinglah, ketimbang dia nyanyi “Jaran Goyang”. Lol
Berat juga jadi orang tua. Setelah bertahun-tahun “dikerangkeng” dari dunia luar, akhirnya jebol juga.
Itu baru contoh sederhana aja sih… Ada hal-hal yang bikin cenut-cenut kepala, semenjak Luna mulai bermasyarakat.
Kosakata dan Pengetahuan Lintas Usia
Persis kayak tragedi Vianisti tadi. Tiba-tiba pas lagi mandi, dia bilang, “Besok, rumahnya temenku si A, B, C, D, mau tak bom.”
Whattt… Ini ide dari mana lagi??
Temen deket Luna, di rumah dan di sekolah itu 90% laki-laki. Dan berhubung enggak pernah ngerasain punya anak laki-laki, jadi bertanya-tanya, apa kosakata “bom” lazim diucapkan anak laki-laki? Trus ditiru sama Luna yang sehariannya main boneka dan masak-masakan ini.
Tapi, suami saya enggak sepakat sama sekali. Saat ini, kosakata “bom” bukan kata-kata yang bijak diucapkan anak-anak, walau sekadar mainan. Kosakata “bom” itu lagi sensitif, enggak usahlah dibuat main-main. Gimana kalau keceplosan dan didenger sama keluarga korban bom.
Dulu ketika suami masih kecil, emang sering ngomong “tembak..”, “serang..” ketika main perang-perangan. Tapi enggak pernah ngomong kata “bunuh”. Kata “bunuh” dan “bom”, sama-sama kosakata yang enggak bijak kalau dibuat mainan sama anak-anak.
Ajakan Main Tak Tahu Waktu
“Lunaa.. ayo main..”
Hahaha.. yang punya anak pasti paham banget. Ajakan temen-temennya untuk main itu selalu datang silih-berganti. Selesai diajak main sama si ini, ganti dipanggil sama si itu. Baru juga bangun tidur, pagi-pagi pager udah coba dibuka sama temen-temennya. Dan masih tidur siang, teriakan ajakan main keluar itu terdengar di balik pager.
Emang sih, kerjaan anak-anak seusia Luna apa sih, kalau bukan main. Tapi main itu ada waktunya, kan.. Main gadget ada waktunya, main di luar juga ada waktunya.
Pas lagi kesel-keselnya ini, saya curhat ke mama. Dan saya diketawain. “Enggak inget po.. Dulu kamu punya temen yang kayak gitu juga. Sampe pager rumah tak kunci, gorden tak tutup rapet. Kalau enggak, kamu ngeluyur terus main di luar.” Lol
Emang sih, ya.. Di geng sepermainan, pasti akan ditemukan anak-anak yang memang tugasnya ngajakin temen-temennya main ke luar, tak kenal lelah, tak tahu waktu. Dan itu bikin kepala ibu-ibu macam diriku cenat-cenut.
Sejak itu saya selalu disiplin perkara main keluar. Meskipun hari libur, dan pagi-pagi di luar sudah rame anak-anak ngajakin main. Dia enggak boleh main, kalau belum mandi dan sarapan. Teman-temannya juga enggak boleh main ke rumah. Kalau mau nungguin Luna ya, di luar aja.
Siang juga sama. Pulang sekolah, boleh main di luar. Tapi jam 12 siang harus pulang. Mau dipakai main kek, atau tidur siang kek.. Terserah, yang penting di rumah. Sorenya, baru boleh keluar juga kalau sudah mandi. Lalu pulang saat adzan maghrib berkumandang. Enggak ada aturan anak kecil kelayapan pas langitnya udah gelap. Tar digondol wewe! Lol
Main Tanpa Merapikan Mainan
Main ini, itu, lalu prungg… ditinggal ke luar. Pindah tempat main tanpa beresin dulu. Maksudnya apa ini??
Kalau Luna main sama anak-anak yang gedean dikit, usia SD awal, mereka lebih bisa bertanggung jawab. Sebelum pulang, mereka akan bisik-bisik. “Kamu tadi yang ambil, kembaliin dulu.” “Kamu juga ambil yang itu, dibalikin juga.”
Terserahlah, yang penting semua kembali ke tempat semula..
Tapi kalau Luna main bareng anak-anak seumurannya, yang relatif masih susah diatur itu. Ya Tuhan, ini sungguh menguji kesabaran. Berkali-kali dikasih tahu, tapi ya gitulah.. seringnya ditinggal pergi.
Dugaan saya nih ya, di rumah temannya Luna juga akan melakukan hal yang sama. Langsung pergi, tanpa beresin mainan, dan bikin yang punya rumah mengelus dada menahan kesabaran. Lol. Satu sama.
Biasanya, kami enggak segan-segan menyuruh anak-anak itu merapikan mainan. Tapi kalau mereka udah pergi duluan, Luna yang harus merapikan mainan. Sebanyak apapun yang tadi dibuat mainan temen-temennya. Kasihan juga sih.. tapi kan, dia ikut andil mainin..
Akhirnya biar enggak kebanyakan, kami membatasi mainan yang boleh dikeluarkan. Hanya Luna yang boleh mengambil mainannya di kamar. Setiap dia akan ambil mainan, dia harus mikir seberapa banyak mainan yang sanggup dibereskan. Kalau sanggupnya cuma dikit, ya jangan keluarkan banyak-banyak.
Mintaan
Geli deh nulis bagian ini. Kata mama juga, ini pernah kejadian ketika saya kecil dulu. Tiba-tiba, siang bolong mama disamperin anak tetangga yang minta makan. Atau, tiba-tiba anak tetangga itu buka kulkas dan ambil susu Indomilk cokelat. Trus pulang sekolah, saya nangis karena susunya hilang. Juga kebiasaan tiap main ke rumah selalu buka-buka tudung di meja makan..
Ehh.. sekarang kejadian. Lol. Yang untungnya enggak seekstrim itu juga.
“Luna, aku minta susumu, ya..” Sekali-dua kali nggak papa sih, kalo tiap hari, gemashhh deh, rasanya.
Susu itu barang yang mahal. Kalau diturutin terus, konsumsi susu Luna sebulan bisa hampir sejuta. Susunya Luna adalah susu UHT kotakan kecil. Saking praktisnya, dia sering ambil sendiri, trus tahu-tahu abis aja gitu. Mungkin itu juga ya, yang bikin temennya pengin minta. Kayak susu yang dibagikan di hampers ultah.
Tapi masalahnya, stok susu ini bukan buat dibagi-bagi tiap hari. Bisa bengkak pengeluaran rumah tangga Bu Noni.
Agak kontradiktif sebenernya, dulu kita ngajarin anak untuk berbagi. Sampai segede ini dia emang suka banget berbagi segalanya ke temen-temennya. Tapi kalau berbagi susu SETIAP HARI, ooo… saya belum sekaya itu.
Kalau berbagi makanan beda lagi. Kadang dia suka bawa makanan lebih untuk dikasih ke temennya di sekolah atau rumah. Cuman keselnya, ketika saya nemu makanan itu dibuang di depan rumah. Padahal termasuk biskuit mahal dan enak. Sedih banget.
Ajakan Main yang Ekstrim
Suatu hari Luna cerita kalau dia abis main di deket sungai dan jembatan. What? Itu kan, bahaya.. Kok bisaa.. Sekalipun bareng anak-anak gedean dikit, tetep enggak boleh main jauh-jauh. Tapi kejujurannya harus dihargai, enggak boleh dimarahi.
Untuk perkara ini saya nasehatin berkali-kali untuk tidak main jauh-jauh. Mau pindah tempat main pun harus laporan dulu. Tadi di rumah A, trus pindah ke rumah B. Pokoknya harus laporan. Supaya enggak susah nyarinya.
Pernah di sore menjelang gelap, saya bingung nyariin Luna. Biasanya ketahuan dari sendalnya, dia lagi ada di mana. Tapi kok di teras rumah tetangga enggak ada penampakan sendal Frozennya. Lahh… ternyata dia lewat pintu belakang rumah tetangga. Ya, mana kelihatan..
Kata temen saya, di circle manapun itu, selalu ada anak yang beranian dan inisiatif tinggi untuk ngajakin main-mainan yang rada ekstrim. Anak-anak model begini yang sering bikin senam jantung ibu-ibu protektif macam saya. Tapi kalau enggak main sama dia, permainan jadi enggak seru. Iyakah… Lol
*
Kalau dijembrengin satu-satu bisa banyak lagi. Tapi bukan berarti main sama temen itu selalu ada masalah ya.. Sejauh ini, hal-hal yang bikin pusing dan gemash itu masih dalam batas kewajaran anak-anak. Jadi enggak perlu dibesar-besarkan. Karena bukan perilaku kriminal atau mencelakakan.
Yang penting, selalu memperhatikan perilaku anak-anak ketika bergaul. Karena bisa jadi kan, hal yang menurut kita itu biasa, tapi mengganggu buat orang lain.
Kalian punya pengalaman juga? Hal-hal yang bikin geregetan ketika anak-anak mulai bermasyarakat?
Cerita yukk..
Sedih mba aku lihat anak kecil zaman now suka nyanyi lagu ‘jaran goyan’ tuh, agak gimana gitu ya. Gak cocok saja.
Samaaaaaaa. Pagi2 lom ada yg gerak dr kasur gerbang dak digedor2 yaTuhaaaaaaan. Ggrrr hahaha
Hyaaa… Curhatanmu, Mbak. Tapi memang sih aku juga ngalamin perubahan anak zaman now dengan zaman dulu. Waktu Audi mulai bersosialisasi dgn lingkungannya, kayaknya nggak terlalu deh. Tapi saat aku pulang Surabaya sempat shock juga dengerin kosakata ponakanku yang saat itu masi kelas 2 SD (sekarang kelas 3). Macam2 bahasanya. Untungnya Mamanya masih bisa ngajarin mana yang boleh dikatakan dan mana yang tidak.
Hihi terima kasih sharingnya mba.. lucu n gemaaas. kebetulan “jaran goyang” masuk list lagu yg anakku hapal, disamping lagu “emank lg syantiek” :(((((
sekarang jarangoyangnya suka diplesetin jadi “jaran goyang, jaran mundur, jaran kaki” sebisa mungkin njejelin lagu anak yang enak2 supaya list lagu dewasa nya bisa perlahan dia lupa. Kadang kalau diberi tau tdk boleh menyanyi lagu dewasa, anaknya balik bertanya, kenapa emang ma?? bingung deh jelasinnya -_-“