Anak adalah Ujian Kesabaran

anak adalah ujian kesabaran

Satu hal yang harus saya syukuri adalah punya suami yang bertolak belakang dengan saya. Saya ini sebenernya bukan tipikal orang penyabar. Tapi dia orang yang teramat sabar. Dulu zaman masih pacaran, saya sering banget memulai pertengkaran untuk urusan sepele. Whatsapp enggak dibales-baleslah, telpon enggak diangkatlah, telat jemputlah, dll. Kalau dia marah, saya akan balas marah. Kalau dia diem, saya akan merepet terus meluapkan emosi.

Untung dia bertahan sama saya ya.. And I’m a lucky woman to have him as a husband.

Setelah nikah dan punya anak. Barulah kerasa bahwa punya anak adalah ujian kesabaran yang sebenar-benarnya.

Mulai dari dia lahir, nangis enggak jelas apa maunya, di tengah malem, pas lagi capek-capeknya. Harus sabar. Dia baru belajar jalan dan maunya jalan terus sambil digandeng, padahal kitanya capek banget. Harus sabar. Dia nanya terus, ngejar enggak berhenti-henti. Harus sabar. Ngajarin dia baca tulis, berkali-kali dijelasin tapi belum paham-paham. Harus sabar.

Melatih dia berkali-kali untuk disiplin, tiap mainan selesai dimainkan harus langsung diclean-up. Harus sabar. Makan enggak dihabiskan malah dibuat mainan dan dibuang. Harus sabar. Mengingatkan dia seribu kali, untuk matikan lampu tiap keluar kamar. Harus sabar.

Ada banyak hal yang dilakukan anak, yang sangat bisa menyulut emosi untuk marah. Dan saya, bukan ibu suci tanpa dosa yang enggak pernah marah-marah ke anak. Ada kondisi-kondisi yang bikin saya mudah banget untuk marah, misal capek, buru-buru, atau kesel lihat suami santai aja sementara yang pontang-panting sendiri.

*

Kemarin Luna ditanya eyang utinya, siapa yang paling galak di rumah? Bisa dipastikan jawabannya adalah IBUK. Sosok yang bisa berubah jadi tyrex kalau lagi capek dan kesel sama tingkah polah anak.

Dari mulai taraf ngedumel panjang dan diulang-ulang, sampai intonasi dan volume naik, bahkan sampai memukul suatu benda untuk melampiaskan kekesalan. Pernah saya lakukan. Bukan memukul anak, karena saya masih cukup waras untuk tidak menyakitinya. Tapi saking kesalnya, saya lampiaskan dengan menggebrak benda terdekat. Sofa, lantai, meja, atau buku.

Saya pikir, memukul benda di sekitar masih jauh lebih mending ketimbang memukul anak. Padahal, tidak ada yang lebih baik di antara keduanya.

Saya amati, lama-lama seringkali Luna mengungkapkan rasa kesalnya dengan marah, membalas teriak, memukul benda. Kalau dia seperti itu, saya memarahinya karena enggak suka lihat sikapnya yang seperti itu. Tapi itu tetap terjadi berulang-kali.

Ini anak baru usia 4 tahun, kok udah kayak berantem sama anak teenager. Saya marah, dibalas marah. Saya teriak, dibalas teriak.

Hingga akhirnya saya sampai di suatu titik menyadari bahwa dia seperti itu karena saya. Cara saya mengekspresikan marah pelan-pelan ditiru Luna. Kalau saya marah melihat sikapnya yang enggak baik, sebenernya saya sedang marah dengan diri saya sendiri.

Luna kecil seperti cermin diri saya.

Keras kepala. Grusah-grusuh. Kasar. Mudah marah.

Dan saya enggak suka.

Saya enggak pengin ini terus berlanjut dan menciptakan anak yang sama sifat buruknya dengan saya. Baru usia balita aja udah begini, bisa-bisa besok remaja lebih parah lagi. Saya enggak mau.

Kalau pengin anak berubah, saya duluan yang harus berubah. Dan itu enggak gampang. Dari nenek sihir harus berubah jadi ibu peri yang baik hati dalam sehari. Berat.

Kadangkala ada kondisi yang tetep bikin saya marahin anak. Kalau dia enggak nangis, menyesal, dan minta maaf, rasanya jengkel bukan kepalang. Apa iya, dia ngerti saya sedang marahin kalau sikapnya santai gitu. Tapi kalau dia udah nangis dan minta maaf, enggak jaminan juga dia enggak bakal melakukan perbuatan yang bikin saya kesal tadi.

Intinya berarti di saya, bukan dia.

Saya harus cari tahu kondisi apa yang membuat saya mudah tersulut emosi. Bisa jadi capek fisik dan pikiran, sedang diburu waktu, iri hati, atau pelampiasan.

Jadi ibu pekerja itu capek. Belum kalau tadi di kantor ada masalah yang bikin kepikiran sekalipun sudah di rumah. Dan sampai rumah masih harus ngurusin anak, jelas capek. Jadi ibu rumah tangga juga capek. Berkali-kali beresin rumah, sekejap mata lalu kotor lagi. Tapi anak enggak berhak kena imbasnya. Kalau lagi di titik capek itu, artinya saya harus istirahat. Tidur barang limabelas menit sepulang kerja, mayan bisa recharge tenaga.

Kalau lagi keburu-buru dan berimbas ngomelin anak karena lambat banget. Bisa jadi kita yang kurang pagi bangunnya. Manajemen waktu kita yang enggak bagus. Bukan anak kita yang lambat, tapi kita yang enggak bisa lebih awal memulainya.

Atau kalau ketika saya sedang iri hati melihat pencapaian orang lain, dan tidak mau kalah. Lalu menuntut anak macam-macam, dan kalau dia tidak bisa, marah-marah. Berarti kita yang harus detox dari sekitar. Stop melihat orang lain, logout sosmed, fokus pada pencapaian anak sendiri.

Tapi kalau marah-marah itu cuma pelampiasan, barangkali kita bukan kesal sama anak, tapi sama pasangan. Dan dia tidak akan tahu kalau kita sedang marah sama dia, kalau kita enggak ngomong langsung. Anak enggak berhak jadi pelampiasan, kalau sebenarnya kita sedang kesal pada orang lain.

*

Kayaknya kalau ngomong itu mudah ya.. Saya tahu teorinya mengatasi problem manajemen emosi. Tapi melakukan itu bukan hal yang gampang. Karena kita bukan ibu peri yang bisa selalu bersikap baik hati di berbagai kondisi.

Saya pun sedang belajar mengontrol emosi sekarang ini.

Bukan untuk menjadi ibu yang penyabar. Tapi jadi ibu yang tahu kapan waktunya harus marah, dan bagaimana cara mengekspresikan marah dengan tepat.

3 thoughts on “Anak adalah Ujian Kesabaran

  1. Ini sama kasusnya kayak aku dan ayahku.
    Tabiat kami berdua amat mirip: mudah marah, kasar, gampang tersinggung.
    Ayah mudah sekali marah dan menyakiti aku. Ibuku bilang, harusnya ayah nggak berhak karena aku begitu pun ayahku juga sama saja.
    Disuruh ngalah salah satu juga gak ada yang mau hehe.

    Itulah mengapa aku lebih suka tinggal di asrama daripada di rumah. 🙂
    Alhamdulillah aku sudah menikah, intensitas ketemu jadi berkurang sehingga minim gesekan. Aku gatau sih apa ini solusi yang benar tapi realitasnya hidupku jauh lebih baik dibanding masih tinggal serumah dulu. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *