Overthinking

Beberapa hari ini penyakit saya kambuh lagi. Penyakit yang saya tahu ini sama sekali enggak sehat bagi fisik dan psikis. Tapi, mencoba menghilangkannya juga susah sekali.

Saya sering mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Mencoba menebak-nebak skenario Tuhan dan mengarang kejadian buruk akan terjadi. Semua dengan dalih, “What I do is for prepare the worst.” Tapi sebenarnya ini enggak lebih dari negative thinking yang memblokir otak saya.

I really know that its bad for my daily routine. Enggak bisa kerja. Susah konsentrasi. Badan gampang capek. Quality time bareng keluarga juga enggak maksimal. Bawaannya cuma pengin tidur dan merenungi nasib, mengarang-ngarang cerita di otak saya. Trus yang tadinya ketawa ngakak tiba-tiba kebablasan jadi nangis. Sungguh ini pasti orang yang tadi bikin ketawa jadi merasa bersalah.

Sebenernya saya bukan orang yang apa-apa ditulis dan diceritakan. Saya juga bukan tipe yang semua-mua dicurhatkan dalam bentuk tulisan. Lha wong curhat saya temen aja milih-milih, sedekat apapun hubungan saya dengannya. Saya memilih untuk memberi jeda dari perasaan yang amburadul ini sampe nanti keceplosan curcol sendiri.

Tapi kali ini saya mau mencoba untuk healing lewat tulisan. Dan semoga saja bisa menenangkan pikiran, supaya daily routine saya bisa lebih produktif lagi. Overthinking is so disturbing. Tahu teorinya, tapi seperti sudah terjebak di lingkaran itu dan susah keluar.

*

Jadi, ini tentang pekerjaan. Tentang karir saya di kantor yang sedang bagus-bagusnya.

Flash back dikit. Di penghujung 2017 lalu saya sedang galau-galaunya sama pekerjaan, karir stuck gitu-gitu aja, jobdesc makin enggak jelas, mau resign tapi butuh duitnya (karena masih PR banget ngumpulin dana darurat), mau pindah kerja tapi bingung apply kemana. Pokoknya lagi judreg isi kepala ini.

Tiba-tiba di awal tahun 2018 saya mendapatkan promosi jabatan. Bersamaan dengan itu, saya terpilih untuk ikut pelatihan kantor sepanjang setahun penuh, setiap bulan di Jakarta. Mendadak, tahun ini menjadi tahun terproduktif saya dalam bekerja. Gaji, enggak usah ditanya. Yang pasti seneng karena bisa nabung lebih dan belanja lebih.

Enggak ada lagi magabut tiap siang, blogwalking aja kalo inget, nulis blog kalo sempet. Banyak hal baru tentang pekerjaan yang harus saya pelajari. Mulai dari ilustrasi anak, tren parenting, sampai dengan teknis digital marketing. Karena semua itu jadi tanggung jawab saya sekarang.

Banyak kesempatan untuk menambah pengetahuan. Ketemu banyak orang baru, business meeting ke luar kota sampai ke luar negeri. Ikut workshop dan seminar. Semuanya melelahkan, tapi jujur itu jauh lebih menyenangkan. Menjadi sibuk itu lebih sehat ketimbang magabut.

Saya jadi jarang sakit di tahun ini. Beda dengan tahun 2017 kemarin dikit-dikit sakit, dan yang saya yakin itu karena pikiran saya yang enggak sehat.

Semua kesibukan ini mendadak membuat saya lupa keinginan untuk resign. Saya mau kerja di kantor ini sampai enggak tahu kapan. Sampai lamalah pokoknya. Bahkan kepikir untuk lanjut sekolah lagi, yang ilmunya bisa kepake untuk urusan pekerjaan. Langsung saya turn on notification beberapa akun instagram beasiswa, siapa tahu ada yang nyantol. Push email beberapa program fellowship di luar negeri dan survey beberapa short course untuk naikin skill.

Segitunya niat mulia saya untuk upgrading skill buat pribadi dan pekerjaan.

*

Hingga tiba-tiba di petang hari, saya baca sepotong whatsapp yang nulis bahwa kantor saya akan dipindah. Enggak lagi di lokasi dan bangunan itu, karena ya disitu cuma ngontrak. Tahu kantor ini moncer, eh yang punya naikin harga sewanya 100%. Akhirnya, pilihannya adalah mencari bangunan atau tanah untuk dibeli. Berarti tidak akan lagi sewa-menyewa gedung kantor, tapi membangun dan selamanya akan di lokasi baru.

Dan yang bikin saya shock adalah.. Alternatif kandidat terkuat lokasi kantor baru itu nun jauh di mato. 30 kilo dari rumah ambo. Gils enggak sih itu jauhnyo..

Setelah sebelumnya bernafas lega karena rencana pindahnya agak mendekat ke rumah. Tapi karena ada sesuatu dan lain hal yang bikin enggak cocok dengan lokasinya, lalu dibatalkan. Ini tiba-tiba pindah yang makin menjauh dari rumah. Aduh.. Lambaikan tangan. Siap-siap jadi ibu rumah tanggajadi working at home mom aja.

Agak heran sebenernya kenapa pilihannya di sana. Karena secara lokasi, menurut saya (yang mencoba objektif) tempat itu kurang strategis untuk berbisnis. Kalau mau bikin event, siapa sih yang mau dateng jauh gitu

Sejujurnya, informasi ini jadi demotivasi tersendiri. Ya ampun, di saat lagi semangat-semangatnya kerja tiba-tiba terima info seperti ini, gimana enggak cemas sih..

Langsung saya mikirin rute dan berapa lama perjalanan dari rumah. Yang pasti maksimal banget 1 jam sebelum jam kerja harus sudah cus… Oke, ini mungkin akan dipandang remeh oleh temen-temen survivor pekerja di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi yang tiap hari berdesak-desakan di KRL menuju ke Jakarta.

Tapi di Jogja enggak ada KRL woyy… Bahkan rute bis Transjogja menuju ke lokasi itu pun enggak ada. Solusinya, cuma nyetir motor atau mobil sendiri, yang itu bikin rontok badan. Atau naik ojek online yang enggak akan mau ngangkut karena 30 kilo banget coy! Yang ada gocar atau grabcar yang sekali berangkat bisa 100ribu sendiri.

Worth it enggak sama gajinya? Jelas jadi enggak bisa nabung. Kerja cuma buat bayar ongkos pulang pergi dong..

*

Ya udahlah, resign aja.

Dan itu yang persis saya pikirkan ketika mendengar info itu. RESIGN. Menutup buku semua perjalanan karir saya di tempat ini yang lagi bagus-bagusnya. Mengikhlaskan kesempatan upgrading skill yang sering saya dapatkan selama ini. Merelakan gaji yang menurut saya lumayan buat ditabung dan haha-hihi sekeluarga. Dan meninggalkan obrolan receh, absurd, renyah bareng temen-temen kantor yang menyenangkan. Yang membuat saya merasa bahwa bekerja di kantor itu seperti me time.

Untuk resign sendiri, sudah dapat restu suami. Tinggal sayanya yang siap apa enggak. Dari dulu mah, dia setuju-setuju aja saya resign. Sayanya aja yang maju-mundur karena mengkhawatirkan macem-macem dan udah biasa kerja kantoran loh.. Sejak tahun 2008 udah kerja di kantor sesuai jam kerja. Teratur banget ya, hidupku. Tapi saya suka dan menikmatinya.

Dan ketika mendadak harus melepas itu semua hanya karena jarak rumah dan kantor yang enggak masuk akal itu. Rasanya sedih enggak sih? SEDIH BANGET.

Tapi kalau harus menjalani semuanya setiap hari, pulang pergi berarti 60 kilo. Yasalam. Saya lebih sayang sama badan ketimbang sama kerjaan. Amit-amit yaa.. Kalau saya sakit, kantor gampang aja nyari penggantinya. Tapi keluarga, enggak akan bisa menggantikan peran saya sebagai ibu dan istri.

*

Sampai sekarang semua ini masih dalam wacana dan proses yang pelik banget. Kemarin saya curhat ke HRD yang ujung-ujungnya saya dicurhati balik juga. Dia merasakan hal yang saya seperti yang saya rasakan. Karena kalau jadi pindahnya ke ujung Jogja timur sana, jauhnya sama-sama 30 kilo. Nasib, sesama anak Jogja barat ya..

Belum ada pencerahan yang cukup cerah. Saya masih menunggu dengan cemas dan overthinking, bagaimana kelanjutan drama mencari lokasi kantor ini. Saking overthinking-nya, sampai males-malesan kerja. Ibaratnya gini deh.. Lu kerja mati-matian buat kantor, tapi kantor enggak mikirin lu. Males kan? MALES.

Tapi, saya mencoba mengambil hikmah dari semua ini. Paling enggak saya jadi lebih waspada dan siap. Semoncer-moncernya posisi saya di kantor, enggak akan selamanya saya akan di posisi itu. Everything can happens. Berarti saya harus lebih giat saving money, investing, dan enggak boros lagi.

Lalu mendadak rencana liburan akhir tahun, extend di Malang, pupus sudah. Mending kelon di rumah ajalah.. Duitnya disimpen, buat nambah-nambahin dana darurat. Kali-kali ini jadi tahun terakhir saya kerja kantoran.

*

Oke, sudah cukup ya emosinya..

Masih overthinking? Masih. Dikit. Yes, I do it to prepare the worst.

Tidak semua hal harus terjadi sesuai dengan kehendak kita. Mungkin jalan Tuhan beda. Ujungnya pasti yang terbaik dan membahagiakan buat hidup kita. Tapi agak dibelokin dikit supaya kita bisa belajar sesuatu dari proses yang enggak mengenakkan itu.

Burung pipit yang kecil aja dikasih Tuhan, dikasih makan tiap hari. Apalagi kita manusia.

*mendadak religius tiap overthinking*

Dah ah. Semoga jajaran direksi mendapat pencerahan tentang lokasi kantor yang baru, dan yang terbaik bagi semuanya. Bantuin aminin yaa…

One thought on “Overthinking

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *