#WeeklyStory: Tentang Kehilangan

#weeklystory tentang kehilangan

Minggu kemarin adalah minggu duka di gang perumahan tempat saya tinggal. Tapi di sisi lain, jadi “the outbound week” buat saya karena berturut-turut harus ikut outbound di gereja dan kantor.

Senang dan ramai, lalu mendadak pulang ke rumah mendapati rasa sedih, cemas, dan kosong. Ada sesuatu yang hilang di sekitar kami.

*

Senin, tepat sehari sebelum Imlek, pagi hari mendadak tetangga saya, ayah dari sehabat kecil Luna, masuk ke UGD. Keluhannya, vertigo dan maag. Tidak ada firasat apa-apa, kehidupan di gang ini normal seperti biasa. Ah, maag doang, opname beberapa hari pasti sembuh lagi.

Senin sore, sepulang kerja, saya dan suami langsung meluncur ke Kaliurang. Ada outbond Pengurus Dewan Pastoral gereja, sampai Selasa sore. Anyway, keaktifan saya di gereja akhirnya muncul lagi. Dulu ketika masih muda, rumah kedua saya sepertinya gereja. Bukan buat ibadah sih, tapi buat berkegiatan dan nongkrong sama teman-teman. Ubyang-ubyung bareng.

Setelah menikah, pindah rumah yang otomatis pindah gereja, dan punya anak. Lalu mak pyet, jadi anggota gereja yang pasif. Ke gereja cuma kebutuhan mau ibadah aja.

Sampai akhirnya, saya digeret sama temen lama yang tahu profesi saya sebagai editor. “Mbak Noni, bantuin ngurus majalah gereja ya..” Ya sudah, keceburlah saya di situ. Ngerjain artikel majalah atau website, jadi admin Instagram gereja, dan yang paling kiamat adalah ketika dulu harus mengerjakan buku tahunan ulang tahun gereja.

Artikel segitu banyaknya, dengan deadline yang segitu mepetnya. Sampe saya bawa-bawa saat harus tugas kerja ke Jakarta. Dan tengah malem masih whatsapp-an sama Romo, ngomongin artikelnya. Pingsan aja lah..

Di tahun 2019 ini, kepengurusan baru dibentuk lagi dan saya masih di posisi yang sama. Biar lebih akrab dan kenal dengan pengurus bidang yang lain, makanya dibuatin outbond.

*

Esok harinya, sore sepulang kerja saya dan suami meluncur ke rumah sakit untuk menjeguk tetangga. Tidak disangka kalau ternyata sakitnya cukup mengkhawatirkan, sampai harus dipindah ke ruang ICU.

Pelukan erat yang bisa saya berikan ke istrinya. Yang tidak hentinya menangis dan terlihat matanya begitu sembab. Disuruh makan, menolak. Minum pun enggan.

Saya paham sih, ketika menghadapi cobaan seperti ini, lidah pasti terasa kelu untuk menelan apapun. Lapar tidak terasa, yang penting suami tercinta segera sembuh baru bersama-sama bisa makan enak.

Malam sepulang dari rumah sakit, sempat ada whatsapp di grup. Untuk mendoakan tetangga saya ini, ayah dari 2 anak. Karena kondisinya semakin kritis, dan diprediksi alat bantu nafasnya tidak bisa membantunya bertahan cukup lama.

Ya Tuhan, kami pikir maag dan vertigo yang dirasakan kemarin cukup sederhana. Ini pasti ada apa-apa. Maag dan vertigonya itu hanya pertanda ada indikasi sesuatu yang lebih mengkhawatirkan.

Malam itu, sebelum tidur, saya mengajak Luna untuk mendoakan ayah sahabatnya.

*

Hari-hari berikutnya, kabar cukup menyenangkan tersiar. Katanya, kondisinya sudah mulai membaik. Harapan kembali membumbung. Semoga beliau segera pulih, kembali ke rumah lagi, dan gang ini kembali ceria lagi.

Jumat malam, saya sudah bersiap-siap untuk outbound kantor besok Sabtu-Minggu. Outbond yang sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun lalu. Tapi nyocokin jadwal dengan sekian banyak orang enggak mudah kan ya..

Giliran yang lain bisa, saya harus tugas kerja ke luar kota. Atau giliran semua pada bisa, tempat yang sudah ditaksir enggak available. Salah satu kerepotan HRD ya, di urusan beginian.

Sabtu pagi, saat sedang mandi bersiap berangkat ke kantor, suami saya mengetuk pintu dan mengabari, “Pak Endri meninggal.”

Tetangga sebelah rumah kami, ayah sahabat kecil Luna, salah satu tetua yang pertama merintis tinggal di perumahan ini, dan orang pertama yang kami ajak ngobrol ketika survey mau beli rumah ini atau enggak.

Baca juga: Bagaimana Ketika Celetukan Itu Menjadi Nyata

Setelah sedikit drama dengan HRD, akhirnya saya memutuskan untuk menunda berangkat outbond. Mungkin ada yang mengira “tetangga doang”. Dan justru karena tetangga, maka kami akan bela-belain untuk mengorbankan waktu ini. Tetangga itu keluarga terdekat kita. Tidak ada hubungan darah, tapi hidup seperti saudara.

Saya jelasin ke Luna, “Ayahnya Abdi meninggal. Kita doakan ya, supaya di surga ketemu sama Tuhan.”

Dan untungnya dia sudah tahu konsep meninggal. Tapi jawabannya begini, “Loh, ayahnya Abdi enggak boleh meninggal. Nanti yang anterin Abdi sama Mbak Restu ke sekolah siapa? Nanti yang benerin lampu di jalan siapa? Nanti kalau HPnya ibuk rusak yang benerin siapa? Nanti kalau di rumahnya ada yang rusak, yang benerin siapa?”

Huhuhuhu…

Iya, kita semua memang enggak kepingin beliau meninggalkan semuanya dengan begitu cepat. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.

Kembali saya memeluk istrinya dengan erat. Tangisnya kembali pecah. Bagaimana sih, rasanya kehilangan orang yang tercinta. Pasti sedih tidak terkira. Menjelaskan ke anak-anaknya yang masih kecil, dan keduanya paling lengket dengan ayahnya.

Ya Tuhan, tidak tahan saya membayangkannya.

Baca juga: Menjelaskan Konsep Kematian pada Anak

Sore harinya, selesai mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhir, kami bertiga langsung meluncur ke Umbul Sidomukti, Ungaran. Mengantar saya, menyusul outbond kantor yang sudah berjalan hampir setengahnya.

Dulu, dengan mobil sebelum yang ini kami pernah liburan di Bandungan, dan mobilnya ngadat di jalan.

Ini sekarang tujuan kami di atasnya Bandungan lagi. Jalan lebih menanjak dan sempit. Tapi mobilnya sudah ganti, dengan mesin yang lebih prima.

Baru aja saya pernah rasan-rasan, kita bawa mobilnya liburan ke tempat yang tinggi-tinggi yuk! Ke Dieng kan sudah pernah. Kapan-kapan kita ke Kopeng, Sarangan, atau Umbul Sidomukti. Sekalian ngetest mesin mobil dan ajar nyetir di medan yang terjal.

Ternyata, akhirnya kesampaian juga. Tidak direncanakan, mendadak di tengah jalan memutuskan untuk ikut nginep di Umbul Sidomukti ajalah. Karena sampai lokasi sudah pukul 7 malam. Pulang ke Jogja pun sudah cukup membahayakan.

Badan sudah letih, dari pagi digoncang berita duka. Kaki dipaksa berdiri lama dan nginjek kopling-gas-rem, bergantian. Mana medannya cukup terjal juga, dengan penerangan jalan yang minim.

Pakaian ganti mereka, mana dibawa? Kan mendadak liburan. Akhirnya, pakaian ganti Luna beli di jalan. Dan untungnya punya suami yang badannya 11-12 sama kita itu, bisa saling tukeran kaos. Saya kasih aja, kaos yang sebelumnya sudah saya siapin untuk outbond.

*

Minggu sorenya, ketika kami kembali dari Umbul Sidomukti, kembali merasakan sesuatu yang hilang di tengah gang perumahan ini. Pintu rumah tetangga saya tertutup rapat, tidak berpenghuni. Sang istri enggan untuk kembali ke rumah itu. Rumah yang penuh kenangan indah bersama suaminya. Rumah yang dibangun dengan jerih dan kerja keras bersama.

Kejadian warna-warni di minggu ini, mengajarkan saya sesuatu. Bahagia dan sedih itu sangat dekat. Mendapatkan dan kehilangan itu sangat mepet. Kehadiran dan kematian itu bersinggungan.

Jangan lupa bahwa kita semua pasti akan mati, karena itu akan mengingatkan kita untuk selalu mendekatkan diri pada-Nya. Dan jangan lupa bahagia, sekalipun hidup ini terasa sulit untuk dijalani.

16 thoughts on “#WeeklyStory: Tentang Kehilangan

  1. Semoga almarhum mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan dan keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan :”)

    Semoga kita semua juga diberi kesehatan dan umur yang bermanfaat untuk sesama 🙂

  2. Turut berduka ya mbak…semoga almarhum mendapat tempat terindah di sisi YME. Umur, jodoh, re=izki sudah ada yang mengaturnya, kita hanya menjalankan saja

  3. Jadi teringat, minggu lalu 2 teman komunitas meninggal juga. Well karena kami hanya say hay by dumay, jadi gak paham mereka sakitnya apa. Kita memang tidak tahu kapan kematian datang. Aku juga kadang mikir bagaimana jelasin ke anak2 soal ini

  4. Aku jadi sedih bacanya mbak. Kehilangan itu emang menyakitkan ya. Apalagi kematian.
    Tapi memang patut disadari kalau semua itu kuasa Allah, kita manusia cuma bisa menerima.
    Yg hidup pun melanjutkan dgn berbuat sebaik2nya, sebab kematian itu katanya emang pengingat buat yg hidup…

  5. Aku turut berduka cita

    Btw, buku ulang tahun gereja ini gimana maksudnya? Buku tahunan yg terbit untuk merayakan ultah gereja?

  6. Aku mewek mbak, aku gak sanggup membayangkan. Kakek ku juga baru wafat 2 hr yg lalu. Rasa itu sulit di jelaskan ya. Salut sama mbak yg sangat memahami dan sangat menyayangi tetangga. Terbaik..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *