Cerita Tentang Petugas Pemilu

Cerita Tentang Petugas Pemilu

Pemilu tahun ini, kali pertamanya kami nyoblos di perumahan, karena baru pindah KTP akhir tahun kemarin. Pemilu tahun ini, kali pertamanya perumahan mandiri bikin TPS sendiri biasanya selalu gabung sama kampung seberang. Dan Pemilu tahun ini, kali pertamanya suami saya jadi petugas KPPS, biasanya kelar nyoblos pulang sante-sante.

Dia enggak pernah daftar jadi petugas KPPS, tapi tawaran itu datang, dan langsung diterimanya. Sebelumnya sudah tahu bahwa kerja jadi petugas KPPS itu berat. Berhari-hari nongkrongin TPS dan dibayarnya 500ribu. Tapi lagi-lagi katanya, “panggilan negara”. Enggak usah dihitung dapetnya berapa.

Kerja petugas KPPS enggak cuma di hari Pemilu aja. Tapi hari-hari sebelumnya. Rapat di kelurahan, rapat internal TPS, nyiapin aneka perlengkapan (tenda, kursi, meja, snack, dll), nulis tangan ratusan undangan DPT dan nyebarin ke semua penduduknya.

Seminggu sebelum Pemilu, hampir tiap malam saya ditinggal dia, ngurusin ini-itu. H-1 sebelum Pemilu, entah pulangnya jam berapa. Saya udah tidur, bangun-bangun dia udah di samping. Paginya, sebelum saya bangun dia udah bangun duluan. Berangkat pagi-pagi, menuju TPS. TPS yang sederhana dan sumuk banget. Cuaca Jogja, akhir-akhir ini lagi enggak bersahabat.

Sempet curi-curi waktu 30 menit, untuk mandi. Lalu berangkat lagi. Katanya, penghitungan suara sudah selesai jam 9 malam. Tapi banyak berkas berangkap-rangkap yang harus ditandatangani semua petugas KPPS. Saya pikir, maksimal jam 12 malam sudah sampai rumahlah.. Ternyata sampai saya tidur pukul 1 pagi, dia belum kembali.

Dia baru pulang pukul 3 pagi. Saat saya sedang pulas-pulasnya mimpi. Belanja dan jalan-jalan pake diskon tinta di jari.

Esok paginya, masih harus kembali lagi ke TPS. Untuk membereskan sisa-sisa perlengkapan TPS dan administrasi. Untungnya, dia meliburkan diri di hari Kamis kejepit itu. Tapi tidak dengan teman-teman petugas KPPS lainnya, yang harus kembali mengais rejeki. Masuk kantor terlambat, potong gaji. Enggak papa. Amanah. Tugas negara.

Ada juga yang lagi hamil muda 6 minggu. Kebayang gimana lelahnya hamil muda, tapi untungnya baik-baik saja. Dan tetap ikut menghitung suara di TPS hingga pagi berganti.

Enggak sempet terpikir, siapa presiden yang menang versi Quick Count. Yang dipikirkan mereka cuma satu. Gimana bisa membereskan semua urusan administrasi ini dengan cepat, tanpa kesalahan. Supaya bisa segera pulang dan beristirahat.

Dari rangkaian panjang “panggilan negara” itu. Satu yang saya syukuri. Dia sehat sampai detik ini.

Padahal esoknya, rangkaian tugas paskah berganti menyita fisiknya lagi. Tugas koor, parkir gereja, tata tertib. Jadilah minggu kemarin adalah minggu panggilannya. Untuk negara dan untuk gereja.

Saat ini, penghitungan suara di kecamatan masih berlangsung. Saya bisa melihatnya dari luar. Mereka bekerja di pendopo depan menghitung suara dan mencocokkan data. Mereka, petugas-petugas kecamatan itu bekerja terus tiada henti. Sampai kemarin ramai-ramai “dipaksa” ke Puskesmas untuk cek kesehatan sejak dini.

Jadi, kalau ada berita-berita yang menuding “petugas KPPS curang”. Beneran, saya sedih. Tugasnya sudah sangat berat. Kalau enggak percaya dengan hasil perhitungannya, kenapa pas penghitungan suara di TPS enggak disaksikan rame-rame. Ketika hasil suara diantar ke Kelurahan, kenapa enggak ditemenin dan ditungguin sekalian. Atau kalau perlu kawal sekalian di tingkat Kecamatan.

Petugas KPPS itu tetanggamu sendiri, orang yang akan ada pertama ketika kamu butuh bantuan. Dan ketika ada apa-apa terjadi pada keluargamu, bukan presiden yang akan datang ke rumahmu. Tapi tetanggamu.

Terima kasih para pahlawan Pemilu. Karena dari mereka saya jadi melihat, bahwa tidak harus menjadi Presiden untuk menunjukkan bahwa diri ini lebih Indonesia daripada Indonesia.

Semoga tidak ada korban lagi. Dan semoga mereka semua lekas memulihkan diri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *