Belajar Hidup Minimalis

Belajar Hidup Minimalis

Akhir-akhir ini, saya lagi seneng-senengnya belajar tentang gaya hidup minimalis. Belum sepenuhnya mempraktikkan sih, baru baca-baca, nontonin TED dan segala video dengan kata kunci minimalism di Youtube. Sedikit demi sedikit membuang barang yang tidak terpakai lagi. Dan tidak membeli barang hanya karena lucu, padahal useless.

Semakin tertrigger gara-gara kemarin pagi nemu 1 jar chocolate powder yang udah expired. Dulu beli bubuk cokelat itu di festival Pasar Santai, event bulanan di Jogja. Dan baru dipake satu kali doang untuk bikin choco cookies. Kirain expired date-nya masih lama. Nah begonya, lupa kalau cokelat ini organik, tanpa bahan pengawet. Jadi ya, masa konsumsinya cuma singkat.

Trus sedih dan merasa bersalah. Sama cokelatnya, sama petani cokelatnya, sama pembuat bubuk cokelatnya, sama penjual cokelatnya, dan sama uang sendiri.

Kenapa kemarin enggak memaksimalkan penggunaannya? Kenapa dulu dibeli cuma berdasar rasa kepengin doang, tanpa berpikir panjang. Kenapa enggak nyari yang kemasan kecil aja, dengan harga lebih murah.

Kenapa dulu beli cuma karena lapar mata. Cuma karena prinsip “just in case”. Just in case, butuh buat bikin pancake. Just in case, butuh untuk campuran minuman. Padahal udah tahu, baking jarang-jarang, minum cokelat juga kadang-kadang. Toh, kalau belinya dadakan juga gampang nyarinya.

*

Kemudian besoknya nonton video TED episode The Minimalism. Kata Joshua “The Minimalist”, Just In Case is the dangerous words in the worlds.

Bener kan..

Cuma karena “just in case” butuh dipake, akhirnya beli. Just in case mau dibuat apalah, akhirnya beli. Just in case, one day kita bakal make, akhirnya beli. Padahal sebenernya kita bisa ngukur kok. Seberapa sering sih, kita bakalan make barang itu? Seberapa besar kita akan memaksimalkan barang itu? Dan yang penting lagi buat orang sok sibuk kayak saya, seberapa banyak waktumu untuk memaksimalkan barang itu.

*

Sama seperti perempuan pada umumnya yang enggak tahan sama barang-barang gemes. Saya dulu juga pernah di masa seperti itu. Ngumpulin quote card gambar anjing lucu-lucu, keluaran Harvest. Boneka, ya Tuhan ini ada banyak banget, padahal sebagian udah disumbang-sumbangin. Masih ketolong sih, sekarang punya anak perempuan yang suka mainan boneka. Anting punya aneka macam bentuk. Bisa banget dipake gonta-ganti tiap mau kuliah atau kerja. Sepatu ada beberapa, apalagi tas. Banyak.

Pelan-pelan, segala macem pernak-pernik enggak penting itu disortir saat saya mau nikah. Mama sih, yang maksa. Karena tahu rumah saya besok itu kecil. Bakalan kumuh dan enggak rapi kalo terlalu banyak barang-barang printilan semacam ini. Jadi, saya buangin itu koleksi loose leaf sejak zaman SMP, dikasih ke anak tetangga tepatnya. Segala macam anting juga, tas, buku, majalah. Semuanya.

Pokoknya, saya nikah, pindah rumah. Mulai hidup baru dengan barang-barang baru.

Tapi kalo udah jadi “hobi” emang susah ya.. Ini hampir 7 tahun menikah, barangnya makin beranak pinak. Dulu koleksi kartu dan asesoris, sekarang koleksi aneka macam tepung dan peralatan dapur. Penuh itu dapur saya. Padahal enggak semua bahan dipake juga.

*

Semakin belajar dan memaknai hidup minimalis, perubahan terbesar yang saya rasakan adalah enggak hobi belanja enggak penting lagi. Tapi tetep masih suka jajan. Karena jajan is lyfe. Hahaha… Beda tipislah ya..

Saya bangga, bisa mengerem keinginan ketika tertarik sama baju model A, ganti sepatu yang B, atau beli tas baru yang C. Bahkan kalo biasanya ke luar negeri, saya selalu bawa banyak cinderamata buat orang-orang. Sekarang saya jadi makin pelit. Pol mentok, beli magnet doang, disimpen sendiri. Biar jadi bukti pernah main ke tempat itu.

Karena ketika saya kalap belanja macem-macem, “Gilak! Lucu banget tasnya. Beli ah.. Just in case bakal dipake ke acara X.” Pada praktiknya, masih untung saya makenya cuma sekali pas event itu aja. Kadang, berubah pikiran dan dianggurin. Trus lupa kalo punya tas itu. Tukann.. jadi inget, masih nyimpen tas dari Malaysia yang udah 3 tahun dianggurin. x_x

Bersalahlah saya. Sama uang saya. Bersalah sama penjualnya, pengrajinnya, udah dibeli tapi enggak dimaksimalkan.

Bentuk penghargaan kita sama barang itu enggak cuma dibeli, trus udah. Tapi beli dan dimanfaatkan dengan maksimal.

*

Itu yang akhirnya saya maknai dari hidup minimalis. Bukan berarti kita harus membuang semua benda di rumah, dan hidup dengan barang sesedikit mungkin. Tapi memastikan bahwa benda-benda yang ada di rumah kita bisa kita manfaatkan dengan sangat maksimal.

Lalu benda-benda yang terlanjur mampir di hidup kita, tapi tidak dimaksimalkan. Bisa dijual, atau disumbangkan ke orang lain yang lebih bisa merawat dan memaksimalkan kegunaan benda itu, ketimbang kita. Enggak ada lagi celetukan, “Beli ah.. Just in case..” Beli itu pasti harus bertanggung jawab untuk dipake, dan makenya enggak cuma sekali-dua kali. Tapi bener-bener semaksimal mungkin.

Di antara semua benda di bumi ini, yang paling saya susah kendalikan ada beli buku. Padahal ebook sudah menawarkan kelebihannya, yang lebih ringkas dan enggak menuh-menuhin rak. Tapi kenapa ya.. Bau kertas, dan baca lewat media kertas itu lebih menggairahkan.

Akhirnya tetep beli dua-duanya, buku dan ebook.

*

Yang paling kerasa dari hidup minimalis ini adalah enggak gampang kepinginan tiap lihat barang-barang cute. Yas! Lebih berpikir panjang tiap liat sesuatu yang pengin dibeli. Entah itu make up, tas, sepatu, baju, atau apapun itulah barang-barang yang kita sukai.

Kira-kira kalau aku beli ini, bakal kupake berkali-kali enggak ya? Perubahan apa yang terjadi sama hidupku kalau aku enggak beli? Beneran ya, harus beli, atau bisa digantikan fungsinya dengan barang lain yang sudah ada di rumah? Nyimpennya mau di mana ya?

Banyak emang pertanyaannya. Karena lama-lama, kalau kita bisa mengontrol pengeluaran kita untuk barang-barang yang tingkat kegunaannya rendah dan cuma buat menuh-menuhin rumah, lemari, rak, atau kotak penyimpanan doang. Uang kita tadi bisa ditabung dan hasilnya jauh lebih menyenangkan.

Cuma ya itu tadi… Saya masih punya PR besar untuk ganti bacaan buku ke ebook. >.<

Kalau temen-temen, benda apa sih, yang paling sulit untuk dilepas dan dikurangi

15 thoughts on “Belajar Hidup Minimalis

  1. Aku banget tuh dulu suka koleksi segala macam pas sekolah dan kuliah, mulai dari pernak-pernik lucu di Mirota, koleksi pensil, kartu pos, sekarang Alhamdulillah jauh lebih berkurang beli barang nggak penting karena rumahnya penuh. Sekarang pengen koleksi duit aja dah hahaha #insyaf

  2. Aku pun sedang belajar hidup minimalis, Mbak. Sejak baca buku Marie Kondo, dll. Masih berat banget ngerem belu buku. Tapi alhamdulillah, lemari bukuku sudah berkurang.

  3. Sedari kecil sudah terbiasa hidup minimalis. Ehm, lebih tepatnya sih karena keadaan ekonomi. Saya terlahir dari keluarga miskin, yang kalau punya barang belum akan ganti kalau barang itu sudah nggak bisa dipakai lagi. Jika rusak dan masih bisa diperbaiki, maka akan diperbaiki.

    Dan kebiasaan ini terus terbawa hingga kini sudah menikah dan punya anak. Dan sekarang kalau pengen beli barang baru, sementara barang lama masih berfungsi dengan baik, maka barang yang lama ini dihibahkan pada orang lain.

  4. Aku yang paling gak bisa tahan kalo untuk urusan beli buku, udah ada versi ebooksnya tetep aja aku lebih suka beli buku fisiknya…

  5. Tos… Aku juga sedang belajar untuk hidup minimalis nih mbak. Yang paling aku bangga adalah bisa ngerem pengeluaran beli baju dan sepatu karena biasanya kedua barang ini yang suka aku beli.

  6. Saya pernah baca2 sepertinya ini sudah diterapkan di beberapa negara Asia maju lainnya ya. Duhh liat barang 2 yg numpuk dipojokan berasa pingin terapinya juga gaya hidup minimalis ini

  7. Kayaknya aku bakal susah negelepas dr hobi baca buku fisik dr pda ebook deh mba, tp emang bnr sih, hdup gaya minimslis itu simpel banget

  8. Kemarin aku habis pindahan, dan udah buang-buangin barang yang “tertimbun” di rumah. Nggak pernah dipake, tapi suka sayang kalau dibuang. Akhirnya numpuk, berjamur, dan emang ngga ada gunanya lagi kalau disimpan terus, jadi harus benar-benar ikhlas untuk dilepaskan.

    Nah, ini masih ada TV, udah rusak, pengen banget aku kasih tukang rongsok, tapi sama suami nga boleh. Alasannya karena kenangannya dengan TV itu.

    Ada juga majalah-majalah bobo, majalah-majalah arsitektur punya suami yang masih enggan dilepas. Padahal jarang dibaca lagi juga.

  9. Aku setuju.. hidup minimalist memang jauh lebih menyenangkan. Tapi aku paling susaaaah lihat yang lucu-lucu. Apalagi setiap 3-4 tahun sekali saya berpindah negara hidupnya. Walhasil, harus pandai-pandai memilaaah

  10. Aku dah mulai melepas kenangan
    Trus yang sedih lagi bukan hanya barang…..sampe hardiskku isi foto2 kenangan tiba2 eror
    Itu merelakan kenangan anak2 tumbuh kembang dll pedihhh

  11. Just in case is the dangerous words, betul banget mbak. Bukan cuma saat kepengin beli barang-barang lucu. Mau liburan aja kalau berasaskan si just in case ini pasti bawaan kita jadi beranak pinak padahal ya gak butuh-butuh amat. Saya juga lagi belajar untuk enggak tergoda untuk beli yang enggak terlalu butuh. Yang paling enggak tahan ituuu kalau ke toko stationery, omg selalu merasa ingin borong, heran!

  12. Hi mb, salam kenal. Menemukan blog ini saat nyari-nyari inspirasi tentang gaya hidup minimalis.

    Saya sekarang kalo bisa sih beli buku ebook, sayangnya ga semua buku yang saya inginkan sudah ada ebooknya. Alasan saya karena ebook lebih bisa dibawa kemana-mana, selain itu rumah saya pernah kebanjiran dan menghabiskan 80 persen buku saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *