Beberapa saat setelah infokan ke khalayak kalau sudah resmi resign, saya terima message bertubi-tubi di Instagram dan Whatsapp. Sudah bisa diperkirakan sih, karena kebanyakan orang pasti ngiranya saya ini bakal setia sampai mati sama kantor. Bahkan, kata temen image saya itu wanita karir banget.
Lalu, tiba-tiba saya resign. Lol. Salah dong…
Pertanyaan yang sering ditanyakan sama temen-temen bisa banget ditebak, “Abis ini mau ke mana? Mau ngapain?” Setelah itu, beberapa orang lanjut curhat, “Aku juga pengin resign, tapi”
*
Jadi, keinginan resign itu enggak serta-merta muncul, langsung eksekusi, trus voila! bye kantor, berhasil resign. Saya jalanin prosesnya lama sekali, sejak tahun 2018. Naik turun, maju mundur, susah senang, kadang mau resign tapi kadang mau di sini sampai pensiun, dst.
Saya inget banget akhir 2017 curhat sama geng kantor sambil nangis-nangis. “Pokoknya, awal 2018 aku mau resign”. Jreng 1 tahun berlalu saya masih di kantor dan kerjaan lagi seru-serunya. Sampai akhirnya baru 3,5 tahun kemudian beneran resign. Lol
Selama 3,5 tahun ini banyak yang saya lakukan dan pikirkan supaya ketika suatu saat resign sudah bener-bener dalam kondisi siap.
Ngobrol sama pasangan
Sejak usia 20an, saya udah punya rencana bahwa hanya akan kerja kantoran sampai maksimal usia 40 tahun aja. Maunya, ketika anak beranjak remaja, saya bisa nemenin dia di rumah sambil tetep kerja. Btw, saya masih 30an sekarang dan Luna masih 8 tahun. Lol
Ini saya komunikasiin ke suami sejak dulu ketika masih pacaran. Ditambah alasan-alasan pendukung lain, seperti suasana kerja, load pekerjaan, lingkungan kantor, jarak rumah-kantor, dll. Jadi, dia sudah paham banget dan malah mendorong untuk berani segera resign.
Cek cashflow keuangan
Jujur yaa, cashflow keuangan kami tu baru rapi sekitar tahun 2018. Bahkan tahun 2018 itu masih berjuang nutup hutang supaya kalau resign enggak ada tanggungan. Di tahun itu juga kami baru mulai disiplin investasi, reksadana, saham, deposito. Pokoknya bener-bener menyisihkan sedikit-sedikit untuk investasi.
Dari situ jadi tahu, berapa sih, pengeluaran dan pemasukan setiap bulannya. Kira-kira bisa enggak ya, dicover oleh satu pemasukan aja. Kalau enggak bisa, berarti harus gimana? Mana yang bisa dikurangi, pos mana yang wajib diisi. Rinci banget evaluasi cashflownya dulu.
Bikin simulasi keuangan dengan 1 pemasukan
Ini yang penting, apalagi kami terbiasa hidup dengan doube income jadi gaya hidupnya pasti juga mengikuti. Jadi, pada waktu itu saya take over pengelolaan pemasukan dari suami. Saya yang bagi-bagi untuk ini-itu yang penting-penting, makan, cicilan KPR, tagihan-tagihan, tabungan pendidikan, dana darurat.
Karena disimulasikan jadi tahu, gaya hidup seperti apa sih yang bisa kami lakukan dengan uang segitu. Bye banget liburan ke luar kota. Jalan-jalan, makan-makan di tempat fancy pun terbatas. Hahaha…
Kumpulin dana darurat
Saat menyimulasikan keuangan itu, pengeluaran yang enggak boleh terlewat adalah dana darurat. Rumus dana darurat sudah banyak dishare, silakan cari sendiri aja yaa.. Kalau saya yang punya 1 anak adalah 6 kali pengeluaran tiap bulan. Makin banyak anggota keluarganya, pasti makin banyak juga pengalinya.
Dari dana darurat yang kekumpul itu bisa dipakai untuk jaga-jaga. Paling enggak, selama 6 bulan pertama saya resign dan enggak ada pemasukan, biaya hidup lain masih bisa tercover dari situ. Trus, saya masih bisa cari-cari pekerjaan lain dalam kurun 6 bulan itu untuk pada akhirnya bisa recover dan stabil kondisi keuangannya.
Selanjutnya, kerja apa?
Kalau setelah disimulasikan, biaya hidup ternyata enggak bisa hanya dengan 1 pemasukan aja, masih ada tanggungan, dan dana darurat belum kekumpul semua. Tapi, niat resign udah sampe ubun-ubun dan tiap kerja bawaannya pengin emosi aja. Berarti harus cari pekerjaan lainnya.
Paling ideal pekerjaan yang pemasukannya minimal sama.. Supaya biaya hidupnya tetep tercover semua.
*
Itu pengalaman saya yang resign, tapi tetep bekerja. Mungkin beda dengan pengalaman orang lain yang resign untuk berwirausaha. Ada banyak pertimbangan lainnya pasti yaa
Pastinya, keduanya akan ada waktu-waktu perjuangan yang mesti dikorbankan. Misalnya, bertahan di kantor yang toxic demi ngumpulin dana darurat atau nutup hutang. Rela nglembur demi KPR lunas dulu. Malem dipakai buat kerja sampingan. Otaknya dipakai mikir 2 perusahaan, kantor dan usaha pribadi. Banyak lagi..
Tapi, pengorbanan itu sebaiknya ada deadlinenya demi kesehatan. Dan yang menentukan, kita sendiri. :’)