Perjalanan saya tertarik dengan gaya hidup minimalis sebenarnya sudah sejak tahun 2018. Setiap orang memiliki alasannya sendiri kenapa tertarik dengan sebuah konsep hidup. Begitu pula dengan saya.
Walaupun sebenarnya saya enggak sreg kalau dibilang saya ini orang minimalis. Saya lebih suka menyebut gaya hidup berkesadaran. Sadar melakukan sesuatu atas dasar apa, bukan impulsif semata.
Awal mengenal gaya hidup minimalis, saya sempat apatis. Kok orang minimalis itu rumahnya pasti gayanya skandinavian atau ala2 jepang, ya? Yang warnanya dominan putih atau grey. Lalu, interiornya minimal Ikea dan warna-warna kayu natural atau putih.
Saya juga sempat nyinyir. Ngakunya minimalis tapi perabotnya mahal2, bajunya minimal Uniqlo, perabot Ikea, Muji, dsb. Sisi mananya yang minimalis..
Lalu, ssaya jadi mikir, kok mau mengadopsi gaya hidup minimalis modalnya lumayan ya..
Tapi setelah baca beberapa buku, nonton beberapa youtube, dan serial The Minimalist di Netflix. Akhirnya, cara pandang saya tentang gaya hidup minimalis berubah.
Minimalism itu tentang mindset, bukan desain interior atau warna-warna alam. Minimalism juga bukan tentang lomba sedikit-sedikitan barang atau nyinyirin orang yang punya suatu barang yang menurut kita enggak perlu. Karena kebutuhan tiap orang berbeda, selera interior dan warna pun berbeda.
Mulai dari situ saya memperbaiki mindset ini.
Awal saya belajar tentang konsep hidup ini adalah karena saya mau memperbaiki keuangan keluarga.
Kami dua-duanya bekerja dengan penghasilan yang cukup. Enggak kurang tapi juga enggak berlebihan. Cukup untuk hidup, bersenang-senang, dan menabung. Tapi, rasanya kok kuranggg aja terus. Impian kami untuk merenovasi rumah kok lama sekali terealisasi. Tabungannya kok enggak kekumpul banyak sesuai target. Kenapa shh
Padahal di satu sisi kami kalo mau jalan-jalan ya tinggal hayuk. Berangkat ke Bali tinggal terbang. Selebrasi kebahagiaan pasti staycation di hotel berbintang. Tapi kenapa kebutuhan pokok untuk renovasi rumah enggak kecapai-capai.
Akhirnya, mulai saat itu kami perbaiki komunikasi keuangan. Baru tahun 2018, padahal kami nikah tahun 2012. Berati 6 tahun setelah nikah!
Dan di saat itu saya baru tahu bahwa ada tanggungan besar di suami, yaitu hutang yang dibawanya sejak kami belum nikah dulu. Hutang yang berkaitan dengan bisnis yg dibangunnya. Dia enggak pengin membagi ini ke saya karena merasa ini tanggung jawabnya. Tapi, kalau sudah suami istri enggak ada lagi pemisahan harta kayak gitu kan..
Mulai dari situ, kami bareng-bareng selesaikan. Tutup hutangnya semua dengan tabungan bersama. Lalu, memulai bersama-sama lagi mengumpulkan uang bulan demi bulan untuk mewujudkan impian kami merenovasi rumah, yang akhirnya terwujud tahun 2020 kemarin.
Cuma 2 tahun kami ngumpulin uang sebanyak itu. Dibandingkan 6 tahun sebelumnya nabung dikit-dikit tapi enggak ada hasilnya. Yang ini berasa lebih nyata. Bahkan, di tahun 2021 ini kami mengganti mobil kami dengan yang lebih luas dan baru. Cuma 1 tahun kami mengumpulkan uang sebanyak itu.
Kerasa banget bedanya dengan 6 tahun sebelumnya yang enggak kelihatan hasilnya.
Salah satu cara yang saya lakukan saat itu adalah belajar gaya hidup minimalis. Tapi saya lebih suka disebut belajar memiliki gaya hidup berkesadaran dan berkecukupan.
Setiap barang yang akan dibeli harus disadari dulu, apa manfaatnya? Sebegitu berharganya sampai saya akan mati enggak kalau enggak dibeli? Apa kalau enggak punya barang itu, hidup saya terganggu?
Dan ini bukan cuma tentang barang, tetapi tentang kebahagiaan. Pernah enggak teman-teman tiba-tiba kesel sendiri gara-gara lihat orang lain posting liburannya di luar negeri. Kita merasa sirik dan tiba-tiba hari itu jadi buruk karena kita tidak berada bersama mereka. Seolah-olah mereka lebih bahagia dibandingkan kita.
Atau, melihat kepemilikan orang lain yang lebih dari kita. Melihat rumah dan mobil mereka lebih bagus dan mewah dari kita. Lalu, seketika kita merasa jadi orang paling miskin sedunia, cuma karena rumah kita kecil dan mobilnya tua.
Saya pernah mengalami itu. Dan itu membuat saya kelabakan sendiri. Bekerja keras demi cuan banyak supaya bisa bahagia seperti yang diposting teman-teman. Liburan di luar negeri, punya rumah bagus, mobil bagus, dan sebagainya. Tapi, ternyata itu enggak memberi kebahagiaan ke saya. Setelah itu tercapai, sudah. Boom hilang.
Kalau kebahagiaan manusia cuma sebatas duniawi maka enggak akan ada ujungnya.
Pikiran kita diributkan dengan pencapaian-pencapaian duniawi yang bikin kita enggak napak di bumi. Tidak melihat betapa kita ini juga berkecukupan sesuai standar Tuhan.
Saya capek-capek menempuh perjalanan dari rumah ke kantor yang jauh. Tiap bulan dinas ke luar kota. Rasanya cuan demi cuan yang dikumpulkan cepat hilangnya, dan saya juga enggak bahagia. Kayak robot yang gerak supaya tetap hidup. Bahkan, saya sering tidak merasa sedang berada di tempat ini bersama anak. Waktu berasa cepat berlalu. Tahu-tahu pagi saya harus ngantor lagi. Repeat kayak gitu tiap hari.
Dari situlah saya belajar untuk memperbaiki konsep hidup ini. Belajar untuk mensyukuri setiap hal yang Tuhan kasih. Banyak sedikit itu relatif.
Sampai sekarang saya juga terus belajar untuk tidak memandang pencapaian orang lain sebagai target yang harus saya miliki juga. Memotivasi mungkin bisa iya, tapi bukan berarti saya harus memilikinya juga.
Kebahagiaan saya bukan berdasar penghasilan tiap bulannya berapa. Bukan berdasar saya bisa makan ini-itu yang lagi hits. Bukan berdasar saya bisa liburan di mana. Bukan berdasar anak saya sekolah di sekolah yang spp-nya tinggi. Bukan berdasar mobil yang saya naiki. Bukan berdasar baju merek apa yang saya pakai.
Tapi, kebahagiaan saya berdasar pada rasa syukur dan cukup yang saya tetapkan sendiri. Dan saat itulah saya merasa memiliki hidup yang minimalis dan berkesadaran.
Aku pernah di level kok kayaknya temen2 sebaya makin sukses, rata2 kerja di LN, rumah mewah dll. Sementara aku begini2 aja. Tapi akhirnya dari suami aku belajar cara hidup utk mensyukuri semuanya. Rumah kecil, tapi at least itu rumah sendiri. Mobil juga biasa aja, tapi kan pajaknya jadi ga gede tiap tahun. Coba kalo punya mobil mewah, pajaknya aja ga ketutup Ama gaji hahahahah.
Trus walo dari luar kliatan biasa, tapi yg penting sama kayak mba Noni, mau liburan bisa langsung cuuuus, masih bisa staycation ajakin anak2 supaya happy. Hutang ga ada. Rekening walo ga segemuk rekening Raffi Nagita, tapi minimal kan ga kurus juga
. . Kurang bersyukur apa sih. Dari situ aku jadi lebih happy, dengan segala yg aku punya. Lebih menghargai segala sesuatu. Jadi ga gampang kalap dengan barang2 lucu. Krn ternyta punya sedikt barang, itu juga LBH tenang dan puas :p.
betul ya bersyulur itu hal yang penting. akupun begitu kalau impian bisa spt orang ;lain belum terwujud , tetap bersyukur
kalau untuk minimalis akan barang, aku kayaknya susah juga, pernah mencoba untuk singkirin barang barang yang jarang kepake, ehh besoknya ada lagi barang baru
terus masih ada pikiran “kok sayang mau disingkirin”, akhirnya tumpukannya ya tetep aja
kalau merasa “down” dari orang lain, diusahakan pikiran itu langsung dilenyapkan, anggap aja cara “suksesnya” beda jalan