Neverending Parenting

Hari Sabtu kemarin adalah pertama kalinya saya datang diskusi parenting yang diselenggarakan oleh daycare, tempat Luna bermain selama saya tinggal bekerja. Sengaja Bunda Cici, pemilik sekaligus kepala sekolah Bintang Bintang Daycare & Preschool, memilih hari Sabtu itu karena bebarengan dengan anak-anak field trip ke Kebun Agro. Jadi, sembari orangtua menunggu anak-anaknya, bisa sambil diskusi tentang parenting masa kini.

learning-to-read-with-phonics-21705020Tema parenting saat itu adalah “Mengajarkan Anak Membaca”. Duh, kayaknya masih jauh banget ya sama Luna di usia sekarang ini. Dan memang benar, saya adalah orangtua dengan anak termuda, yaitu 14 bulan. Otomatis, saya lebih banyak diam dan menyimak. Belum banyak hal berkenaan dengan topik itu, yang bisa saya share.

Kesan 15 menit pertama setelah mengikuti diskusi parenting itu adalah… Masalah anak ternyata enggak sebatas, susah makan. Makin dia tumbuh besar, makin kompleks permasalahannya. Ngg.. buat kita orangtua, mungkin itu masalah. Tapi buat anak-anak, masalahnya mereka cuma satu: kalau keinginannya enggak diturutin orangtuanya. *tepok jidat*

Tapi, sekalipun mungkin masih terlalu dini saya ikutan acara itu, jelas itu bukan hal yang sia-sia. 14 bulan menuju ke 24 bulan, lalu ke usia 3 tahun, dengan segala suka-duka merawatnya, semua pasti bakal kerasa cepet. Dulu baru ngajarin jalan, eh sekarang udah ngajarin ngomong, trus harus ngajarin membaca, belum lagi menulis, trus berhitung, ketrampilan bahasa asing, lalu…

Fiuhh… Jadi orangtua emang enggak ada istirahatnya ya.. Neverending parenting. *lap keringet*

Di diskusi parenting ini, Bunda Cici membahas tentang metode belajar membaca yang diajarkan di Bintang Bintang. Yaitu mengenalkan huruf A, I, U, E, O terlebih dahulu sampai anak mengerti dan hafal, sekalipun dibolak-balik. Baru setelah itu mengenalkan mereka pada huruf konsonan yang lain. Dengan metode ini, katanya jauh lebih efektif ketimbang secara langsung mengenalkan mereka pada semua huruf dari A-Z.

Tapi, bukankah pakar-pakar psikologi mengatakan bahwa mengajarkan anak membaca terlalu dini dianggap tidak baik buat kerja otaknya. Hal itu tidak perlu, biarkan anak bermain aja ketimbang belajar membaca. Jadi aturan seharusnya adalah jangan ajari anak membaca sampai usia 7 tahun.

Nah masalahnya, SD-SD di Indonesia pada umumnya mensyaratkan anak harus bisa membaca kepada pada calon muridnya. Kalau sudah begini, siapa yang harus kerja keras mengajari? Guru TK-nya dong. Nah, di TK pun banyak juga sekolah-sekolah yang pingin lebih enggak repot mengajari anak membaca. Kalau begini? Guru PAUD-nya yang harus sudah mengenalkan huruf dan kata pada anak-anak. So, dengan sistem seperti ini, salah siapa dong? Salah gue, salah temen-temen gue? #ups #abaikan

Prinsip bermain dan belajar di Bintang-Bintang adalah mendidik anak dari pondasinya dulu yang diperkuat (character building). Golden age adalah usia 1-5 tahun, dimana di usia ini kerja otak manusia sangat bagus, mudah menyerap apa saja. Makanya nggak heran, di usia ini mereka lagi hobi copy-paste semua tindak-tanduk kita. Jadi, sebaiknya kita mengajarkan serta mencontohkan segala hal yang bagus dan baik kepada anak kita.

stacks_image_2002Termasuk mental orangtuanya juga harus diperkuat. Biasanya, kalau anak orang lain udah bisa membaca lebih dulu dan di sekolah anak itu sudah diajarin huruf A sampai Z. Maka kita sebagai orangtua bakal pontang-panting, panik, trus ujung-ujungnya marahin anak atau bahkan protes ke sekolah. Duh, padahal membanding-bandingkan anak kan enggak baik ya..

Trus begini kata Bunda Cici, “Mana yang Ibu lebih inginkan untuk anaknya? Bisa cepat membaca, atau bisa memahami apa yang dibacanya?” Bunda Cici pernah menemui beberapa anak balita yang sudah canggih membaca, tapi ketika ditanya bacaan itu tentang apa, mereka sama sekali tidak mengerti.

“Jadi, membaca itu bukan ketrampilan yang bisa didapat dengan instan, Bu. Untuk mendapatkan hasil yang luar biasa kan selalu ada proses yang dilewati,” ujarnya.

Saya menikmati diskusi mini dari acara parenting kemarin. Sekalipun mungkin masih lama saya akan mengajari Luna membaca dan menulis, tetapi banyak pengetahuan yang bisa saya ambil. Salah satunya adalah tujuan acara parenting ini adalah menyamakan pola asuh di sekolah dan di rumah. Banyak anak yang pinter, nurut, mau belajar, mau makan (hiks, ini Luna banget) saat di sekolah. Tapi pas di rumah, dia bakal jadi seakan tidak terkontrol, malas belajar, atau enggak mau makan.

Inti mengasuh anak adalah konsistensi. Melakukan apa yang sekolah ajarkan saat di rumah, karena pendidikan dasar seorang anak itu sebenernya di rumah. Berapa jam sih anak sama orangtuanya? Jauh lebih lama ketimbang sama pengasuhnya, kan? (Seharusnya loh..)

Jadi, memilih sekolah yang baik sedari dini itu juga sangat diwajibkan. Kita enggak bisa menuntut, kalau aku sekolahin anakku di sekolah A, anakku harus bisa belajar loh.. soalnya besok mau kusekolahin di sekolah favorit.

Lantas, Bunda Cici cerita lagi, Bintang Bintang pernah beberapa kali didatangi orangtua yang seperti itu. Tapi setelah dijelaskan bahwa pola didik yang diterapkan di preschool-nya adalah seperti ini (yang mungkin berbeda dengan keinginannya), lantas orangtua itu mundur dan tidak pernah menyekolahkan anaknya di situ lagi. Kata Bunda Cici, “Tidak apa jumlah murid Bintang Bintang cuma sedikit, yang penting dari sedikit ini bener-bener dididik menjadi pribadi yang unggul.”

Ah, Andai sekolah di Indonesia semua tidak hanya mengejar materi. Andai juga orangtua di Indonesia tidak ada yang mengejar gengsi sekolah semata. Karena anak-anak hebat tidak selalu lulus dari sekolah-sekolah favorit dan terkenal. Karena sekolah yang baik tidak harus di kota, tidak harus berbasis internasional, tidak harus selalu computerized.

Lebih baik, mumpung masih di usia golden age. Kuatkan dulu pondasi dasar (character building) anak kita, maka di mana pun dia bersekolah, kelak dia akan berpribadi unggul.

Amiiinnn… *sambil peluk-cium Luna*

 

Tulisan diikutsertakan dalam Give Away Sekolah Impian


Mommylicious, #ParentingBook

 

foto 1, diambil dari sini

foto 2, diambil dari sini

3 thoughts on “Neverending Parenting

  1. Sepakat banget, Mak, bhw anak2 yg cerdas tidak selalu lahir dr sekolah2 bertaraf international, favorit, berasal dari kota besar, anak2 cerdas juga banyak yang berasal dari desa 2.
    Sukses untuk ngontesnya ya, Mak!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *