Ibu, Masa Depan Bumi Ada Di Tanganmu

Ibu, Masa Depan Bumi Ada Di Tanganmu

Kerasa enggak sih, hidup makin berubah. Dulu, bisa banget kakek-nenek kita hidup tanpa TV, ditemani malam dan suara jangkrik. Syahdu. Trus turun ke orangtua kita, mereka bisa banget hidup tanpa ponsel. Setiap malam cuma nonton TV berdua, nemenin kita main, tanpa diganggu dengan dentingan notifikasi Facebook, Line, Whatsapp, Telegram, or anything.

Sekarang zaman kita? Bisa enggak hidup tanpa TV? Bisa! Tapi harus punya koneksi internet lancar jaya, jadi bisa streaming acara atau channel Youtube yang disukai aja. Bhuahaha.. sama ajalah. Enggak bisa juga kan, kita hidup tanpa layar yang menampakkan visual bergerak.

Apalagi hidup tanpa ponsel. Bisa mati gaya. Enggak eksis. Cupu. Kudet. Ndeso. Read more

Gaya Komunikasi dalam Keluarga

Gaya Komunikasi dalam KeluargaSemenjak Luna udah lancar bicara, jadi punya PR banget untuk lebih pintar mengatur omongan yang keluar. Bukan karena saya hobi misuh kayak Awkarin atau Young Lex. Biasanya anak remaja hobinya maki, tapi aku mah dari dulu anak baik-baik. Hobinya baca kitab suci.

*oke, yang ini pret banget*

Anak kan copycat orangtua banget ya. Enggak cuma tingkah laku kita aja yang ditirunya, tapi juga omongan. Kadang saya suka heran, kok dia bisa tahu kata-kata tertentu. Padahal ternyata saya sendiri yang sering enggak sadar ngomong itu. *plester bibir* Read more

10 Common Parenting Mistakes

10 Common Parenting Mistakes

Saya bukan ibu yang sempurna. Bukan ibu idealis yang gigih menyuarakan keidealisan sehingga orang lain harus mengikuti. Karena setelah mengenal dunia, menurut saya “Sempurna” itu hanya milik Tuhan dan Andra and The Backbone.

Benernya nih, saya pun berusaha untuk ideal loh. Tapi kadangkala ada kondisi yang memaksa saya tidak sempurna. Soalnya jadi ibu sempurna itu berat Kak… Beneran.

Gagal sedikit, langsung stres. Dan yang nge-judge lingkungan, padahal keluarga mah santai-santai aja. Trus hal itu bikin kita nyalahin anak, nyalahin suami, nyalahin keluarga. Malah enggak sehat juga nanti jadinya.
Read more

Melepas Gelar Batita

Melepas Gelar Batita

Saya sudah tidak punya anak batita lagi. Tepat di hari ini, si mantan batita itu sudah berusia 3 tahun. Dia sudah bisa ngeyel, keras kepala, jago dealing dan lobbying untuk mendapatkan keinginannya, dan sudah jago acting dengan air mata buayanya.

Siapa sih yang menyadari bahwa tiba-tiba dia gede begini. Kayaknya baru kemarin ngeden-ngeden di rumah sakit, sekarang udah ceriwis. Dan yang paling keliatan adalah ketika melihat-lihat album fotonya, dulu dia berambut cepak pendek kayak anak cowok, sekarang panjang lurus berponi. Kalau ganjennya kumat, minta dikucir dua serta sesekali minjem rol rambut ibuknya.

Dulu tidak pernah terbayang bakal punya anak cewek yang secentil ini. Jujur saja, saya mengharapkan anak laki-laki sebagai anak pertama. Tapi Tuhan berkehendak lain, dan saya juga belum kenalan sama kalender cina yang konon katanya manjur itu. Besok kalau sudah program anak kedua, akan saya buktikan kemanjurannya yaa..

Read more

Alasan Kenapa Ibu Harus Bekerja

Alasan Kenapa Ibu Harus Bekerja

Setiap perempuan pasti punya alasannya masing-masing dalam memilih sesuatu. Kenapa memilih hidup lajang, kenapa memilih menikah usia muda. Kenapa memilih menunda punya anak, kenapa memilih tidak punya anak. Kenapa memilih punya anak satu aja, kenapa memilih untuk tidak membatasi jumlah anak. Kenapa memilih jadi ibu rumah tangga fulltime, kenapa memilih jadi ibu pekerja. Kenapa memilih jadi freelancer, kenapa memilih menjadi pekerja kantoran.

Saya ini ibu pekerja kantoran, dan saya punya alasan kenapa memilih itu. Meski di luar sana ada yang nyinyir dan menuduh saya enggak peduli sama anak, atau istri kurang ajar karena meminta suami menjemur cucian di depan.

Tapi enggak ada yang tau kan.. di dalam saya….. tidur-tiduran. Hahaha.. nggaklaahhh… Saya di dalem nyuci piring, masak, atau mandiin anak.

Read more

What Working Mother Want

What Working Mother Want

Lagi rame banget ya Working Mother vs Stay at Home Mother. Mau ikutan bikin rame juga ahh…. Tapi bukan ngomongin baik-buruknya. Itu kan urusan personal masing-masing orang.

Saya mau tulis tentang ini aja “What Working Mother Want”. Karena kami juga manusia, yang punya hati dan keinginan. *apaan sikk…* lol

1. Cuti melahirkan minimal 3 bulan, syukur-syukur bisa 6 bulan.

Kalau enggak salah, AIMI lagi mendorong pemerintah untuk mengesahkan cuti melahirkan 6 bulan kan ya… Demi suksesnya pemberian ASI eksklusif 6 bulan. Walaupun ada pro-kontra, termasuk dari kalangan wanita sendiri, saya sih mendukung 100%.

Ehh… enggak usah ngomongin cuti 6 bulan dulu deh. Masih ada juga loh, kantor-kantor yang cuma kasih cuti melahirkan 2 bulan. Hiksss…. :'(
Read more

Feeling Ibu Tidak Pernah Salah

fbfad52009ba8896359d6a9213a92baa

Satu setengah bulan lagi, Lunski ultah ke-2. Berarti sudah sekitar 3 tahun yang lalu saya menjalani proses kehamilannya. Rasanya ituu… Jadi pingin hamil lagi. *eh, enggak dulu dink*

Saya hamil tiga bulan setelah menikah. Jelas seneng, excited, dan enggak sabar menanti kelahirannya. Untungnya, Lunski bukan bayi yang rewel saat di kandungan. Jadi trimester pertama bisa terlewati tanpa tantangan yang biasanya dialami bumil-bumil.

Saya enggak anti masuk dapur. Saya jarangggg bangetttt morning sickness. Kalaupun muntah, biasanya itu kalau abis perjalanan jauh. Saya juga enggak pilih-pilih makanan, semuanya dilahap sampai ludes.

Tapiii.. sebanyak apapun saya makan, berat badan saya naiknya enggak signifikan banget. Sampai melahirkan, bb saya cuma naik 8 kilo. Trus yang dimakan lari kemana dong? Ke Lunski. Hahaha.. Makanya, bb Lunski saat di perut naiknya selalu ajaib. Seharusnya baru 1,3 kilo, eh dia udah 1,5 kilo. Seharusnya baru 1,7 kilo, eh dia udah 2 kilo.

Kayaknya cuma kelebihan 2-3 ons ya.. Tapi ternyata itu ngefek banget buat janin ya.. Akhirnya di kehamilan ke 34 minggu, saya disuruh diet. :(((

Enggak hamil aja males banget diet, apalagi pas hamil. Yaoloh, diet saat hamil itu menyiksa!

Read more

Jangan Panggil Saya Bunda

IMG_20131130_114317Geng pumping kantor saya beranggotakan 3 orang; saya, Dila, dan Ani. Kami pumping di mushola kantor 2x, jam 11 dan 14.30. Di luar jam2 crowded orang sholat.

Enggak seru kalo selama pumping kami cuma diem2an. Dan kalo udah begitu, pasti salah satu dari kami akan berceletuk, “Ada cerita apa nih?”, “Ayo dong kalian cerita sesuatu.”

Cerita2 Geng Pumping memang selalu beragam. Mulai dari obrolan absurd, enggak penting, curhatan, gosip, tapi enggak dikit juga yang infomatif-inspiratif.

Nah kalo siang ini, pembicaraan kami agak enggak penting. Yaitu tentang panggilan orangtua oleh anak.

Saya manggil orangtua saya, Mama dan Bapak. Tapi saya mau membahasakan Luna untuk manggil kami orangtuanya, Ibuk dan Bapak. Alasannya, karena enggak mau ikut-ikut tren manggil Ayah-Bunda (bahasa kerennya, anti-mainstream #halah!), dan enggak mau terlalu kekotaan, manggil Papa-Mama. Apalagi keminggris, Mommy-Daddy. Kami cuma keluarga kecil yang tinggal di desa dan meniti karir di kota. #oposih? Read more

Semangat NgASI, Bunda!

Breastmilk vs Formula Nutrition
Breastmilk vs Formula Nutrition

Malam itu, bb saya berdenting, ada notifikasi message FB masuk. Sebuah pesan dari teman kuliah saya yang sekarang sedang hamil 8 bulan dan galau dengan proses kelahirannya besok. Tapi kali ini dia tidak menanyakan tentang proses kelahiran, melainkan menyusui. Satu hal yang sering banget kita lupakan karena sudah terlalu bahagia dengan berita kehamilan dan terlalu sibuk menyiapkan pernak-pernik untuk menyambut kelahirannya besok. Dan hal ini pula, sedikit saya lupakan ketika hamil Luna dulu.

Sekalipun saya ini anak ASI juga (18 bulan ASI full), tapi kesadaran saya untuk menyusui bukan datang dari orangtua melainkan dari dokter bedah. Iya, jadi di usia 20 tahun dulu saya kena Fam, sejenis tumor jinak di dalam payudara. Akhirnya, dioperasilah PD kanan saya untuk diambil benjolan Fam-nya. Setahun berlalu, dan benjolan itu muncul lagi di PD kiri. Ya Tuhan, saat itu saya takut dan sedih banget. Mana waktu itu barusan putus sama mantan pacar, jadi makin berasa terpuruk karena tidak ada yang mendampingi saya menghadapi cobaan ini. Saya takut setelah dioperasi bakal muncul lagi yang lainnya di semua PD saya, terus ini akan merembet ke kanker. Huaaa….

Tapi waktu itu dokter bedah saya bilang gini, “Ini memang sebaiknya diambil, tapi enggak usah buru-buru. Kalaupun diambil juga enggak akan menjamin besok kamu enggak kena lgi. Karena ini muncul akibat hormon yang berlebih. Solusinya, pola makanmu diatur, jangan makan yang berlemak seperti tart yang penuh whipped cream, makanan instan, juga makanan ber-MSG. Dan satu lagi, segeralah menikah lalu hamil dan anak sudah lahir wajib disusui dengan maksimal.” Read more

The Art of (wanna be) Mother

Hope and pray. Itu yang sering diucapkan dokter saya selama kehamilan anak pertama ini. Setelah dibuat nangis oleh 2 dokter lain, akhirnya pilihan saya jatuh kepada dokter ini, dr. Danny Wiguna dari RS Panti Rapih (RSPR).

Kebetulan banget, saya emang ngerasa nyaman dengan rumah sakit langganan keluarga ini, tempat saya dan suami dulu dilahirkan, dan katanya… rumah sakit sayang ibu-anak. So, meski sebelumnya sempet cek-ricek rumah sakit lain, tetep ujung-ujungnya balik juga ke rumah sakit ini.

Tapi sejak awal kontrol kehamilan, saya enggak pernah kontrol di rumah sakit ini. Bukan kenapa-napa, mahalnya itu bo.. Bisa 3x lipat daripada saya priksa di klinik dokternya langsung. Jadi mumpung searah sama jalan pulang, saya selalu kontrol di tempat praktik dr. Danny di Apotek Dina Farma Jl. Godean. Di rumah sakit, saya cuma ambil kelas senam hamil dan hypnobirthing. Itung-itung bekal buat kelancaran lahiran normal.

Saya bersyukur, karena sejak awal hamil, anak ini enggak rewel. Saya enggak sempet mengalami morning sickness yang parah. Muntah-muntah bisa diitung pake 5 jari. Makannya lancar banget. Dan enggak ada ngidam aneh-aneh. Nyaman banget pokoknya.

Sampe di trimester ketiga, satu per satu kabar tidak mengenakkan datang dan bikin pikiran. Read more