#LifeAsEditor: Apa yang Membuat Naskahmu Ditolak Penerbit

yang Membuat Naskahmu Ditolak Penerbit

Heyho!

Udah lama saya enggak nulis seri ini. Setelah baru saja kemarin mendapat “kabar” yang cukup mengejutkan, trus tiba-tiba kepikir untuk menuliskan postingan ini. Enggak ada hubungannya sih, antara “kabar” tersebut dengan tema postingan ini. Tapi, “kabar” tersebut yang pasti akan menambah deretan pengalaman saya di dunia editing dan perbukuan.

Yang bagian “kabar” itu bakal saya ceritakan kapan-kapan ya.. Maunya sok misterius, padahal aslinya biar waktunya agak lama dulu jadi bahan untuk diceritain akan lebih banyak. LOL Read more

#LifeAsEditor: Dibalik Buku dan Film “The Chocolate Chance”

Badan saya sedang tidak bisa diajak kompromi. Leher gatal banget, nafsu pengin dibatukin. Dan seharian di ruang berAC ternyata membuat hidung tertular. Mampet, gatal, dan pengin bersin. Mungkin saya terlalu jumawa, kemarin saat sakit hampir menghampiri, saya koar-koar berhasil mengusirnya dengan ramuan tradisional. Tapi sepertinya saya mengusirnya kurang jauh. Begitu kondisi drop sedikit, langsung flu berkuasa.

Ternyata yang namanya sakit, kalau udah takdir harus sakit, ya udah ya.. sakit aja.

Dibalik Buku dan Film "The Chocolate Chance"

Read more

Hidup Itu Tentang Memberi Arti

hidup-itu-tentang-memberi-arti
“Mbak Noni, mau tanya-tanya tentang parenting dong. Bisa kan? Kantorku mau bikin seminar parenting nih..”

“Noni, sharing dong, gimana biar produksi ASI banyak meskipun ditinggal kerja?”

“Saya rajin baca blognya Bu Noni lho.. Silent reader. Kalau urusan teknik parenting, ah saya yakin Bu Noni pinter.”

“Aku tu pembaca blogmu. Karena parentingnya praktik langsung dan enggak idealis-idealis gitu. Jadi pas sama kenyataan.”

 

Ahh sekalipun hanya percakapan biasa, atau saling bertukar message sederhana. Itu sudah mampu membuat hati saya bahagia. Senang ketika apa yang sudah saya tulis dan bagi itu bisa menginspirasi orang-orang. Padahal sebelumnya, siapa sangka Noni yang anaknya slengean, berantakan, enggak telaten, enggak sabaran, ternyata bisa juga nulis bertemakan parenting.

Yah, anak itu mengubah segala. Dan karena anak saya belajar sabar dan lebih kreatif. Serta kembali menulis, kembali ngeblog, kembali berbagi. Berusaha untuk menginspirasi. Read more

#MyLifeAsEditor 6: Aktivitas Yang Jadi Rutinitas

john c maxwell

Suatu saat, bos saya di kantor pernah bilang gini, “Hati-hati, kalau aktivitas kalian sudah menjadi rutinitas. Itu artinya, kalian butuh penyegaran untuk memantik kreativitas.”

Yes, Bos! Saya butuh liburan. Jatah cuti saya ditambah ya.. *ngarepnya* :))))

Oke, sekarang saya jembrengin aktivitas saya dari pagi melek sampai malem merem.

Pagi, bangun jam 5 (pencitraan, aslinya jam setengah 6, kadang jam 6). Trus belanja sayur, masak buat orang rumah, nyiapin tetek bengeknya Luna di daycare, siap-siap kerja. Jam 7.20 baru berangkat. Rute berangkatnya selalu lewat situ. Sampe saya apal, lubang jalannya di sebelah mana.

Pagi sampe sore di kantor, ya kerja. Tapi baru bener-bener on kerja biasanya jam 9. Sebelumnya ya browsing, blogwalking, cek socmed. Trus nanti sore jam 4, biasanya udah enggak konek lagi, iseng-iseng onlineshop walking, dan sering nyantol belanja apa gituh. Tar jam 5 sore pas, capcus pulang. Rute pulangnya pun juga sama. Selalu lewat situ juga, dan apal sama setiap tikungannya.

Malemnya, makan malem di rumah, main-main sama Luna, sampai dia ngantuk. Biasanya jam 8 udah mapan tidur-tiduran di kasur. Tapi jam 9 dia baru bener-bener merem  dan bisa ditinggal lanjutin aktivitas lainnya. Nonton film, reality show, baca buku, atau nyalain internet (lagi) buat jualan.

(Baca: Jualan Asyik di Shopious)

Ya.. gitu-gitu aja kan aktivitas saya tiap hari. Sampe apal di luar kepala, abis ini mau gini. Trus kalo gitu, nanti gini aja. Read more

#MyLifeAsEditor 3: FAQ Editor Buku

Editor Definition in English Dictionary.
foto diambil di sini

 

Tiba-tiba saya kepikiran untuk bikin tulisan ini, setelah seminggu yang lalu kebagian jatah #TwiTalkRedaksi di kantor, trus banyak yang nanya seputar kerjaan editor.

Plus, terkadang saya merasa sedih, pas dulu pernah terjadi percakapan seperti ini:
“Jadi apa mba di penerbit itu?”
“Editor, mba.” *pinginnya sih jawab, CEO*
“Wah, keren ya. Harus teliti dong ya..”
“Iya mba..” *hepi sambil cengar-cengir*
“Trus kalo hitung-hitungannya salah gimana?”
“Hitung-hitungan gimana mba?”
“Itu..kan jadi auditor harus teliti.”
*keselak* “Ehem..mba… saya ini editor, bukan auditor. Beda jauh atuh…”
Trus mbaknya mlipir malu…

Duh, segitunyakah profesi editor di mata masyarakat indonesia? Kayaknya gampang dan nggak penting, jadi sering diremehkan, dilupakan, dan tidak dianggap. Coba, universitas mana di Indonesia yang punya jurusan penyuntingan? Setau saya cuma dua. Jurusan Editing di Unpad Bandungdan Jurusan Penerbitan di PNJ Jakarta. cmiiw.. 😀

Padahal kalo di luar, enggak usah jauh-jauh deh, temen saya editor salah satu penerbit di Malaysia, dia dulu kuliahnya jurusan penerbitan buku. Keren ya.. Karena di luar sana, editor itu profesi bergengsi. Dan kecintaan masyarakatnya sama buku dan daya beli buku mereka lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

Udah ah… enggak mau mengkritisi yang kayak begituan. Yang penting saya kerja jadi editor selama 7 tahun ini bener-bener saya nikmati dan syukuri. Kalo saya diprotesin karna profesinya enggak keren, saya harus kerja apa dong? Situ mau menghidupi keluarga saya?

Sekarang langsung FAQ kerjaan editor aja ya. Ini berdasarkan pengalaman kerja di dua penerbit yang berbeda dan jadi editor fiksi serta nonfiksi lo ya.. Jika ada perbedaan dengan yang kalian alami, abaikan dan jangan protes ke saya. Sekian. Read more

#MyLifeAsEditor 2: Kenapa Harus Kartini?

Ikutan OOTD Kartinian, biar kekinian.
Ikutan OOTD Kartinian, biar kekinian.

Kenapa ya harus Kartini? Padahal wanita lain juga banyak. Bisa jadi ada yang lebih pintar, bisa jadi ada yang berpikir kritis juga, bisa jadi ada yang ide-idenya lebih brilian. Iya ya, kenapa harus Kartini?

Jawabannya cuma satu. Karena Kartini menulis.

Dia menuliskan semuanya dalam bentuk surat. Pemikirannya, kegelisahannya, gugatannya, ide-idenya, mimpi-mimpinya, cita-citanya. Semuanya.

Bukan karena dia menulis status sepanjang 160 karakter. Bukan karena dia menulis status demi pencitraan dan popularitas. (saya yakin, jaman itu belum tren orang gila popularitas, pencitraan, dan kekinian.) Dia menulis karena dia ingin mengungkapkan semuanya pada sahabat-sahabatnya di Eropa.

Jangankan menulis, berpikiran maju pada jaman itu saja sudah melawan kodrat. Read more

#MyLifeAsEditor 1: Kejutan dari Strawberry

A4_STRAWBERRY SURPRISEGimana rasanya, kalau buku yang kamu konsep bakal difilmkan dan dimainkan oleh artis idola? Seneng banget!

Itu yang saya rasakan, ketika tahu buku The Strawberry Surprise karya Desi Puspitasari, akan difilmkan oleh Starvision, dan dimainkan oleh Reza Rahardian dan Acha Septriasa.

“Ih, Non.. Kamu kan cuma editornya, yang nulis itu kan Desi.”

Etapi, tahukah kalian bagaimana proses karya ini bisa menjadi novel, jika tanpa saya meminta Desi untuk menulis serial Love Flavour?

Di kantor saya (sepertinya juga di kantor penerbitan lain), pernah ada wacana untuk mengganti kata EDITOR menjadi IDETOR. Alasannya, karena pekerjaan editor tidak hanya sebatas mengedit kata dan kalimat, tapi juga sampai mengonsep, mengamati tren buku di pasaran, sampai mengorder penulis untuk mengerjakan naskah yang sudah kita konsep tersebut.

Begitu pula dengan novel The Strawberry Surprise ini. Read more