Pola asuh tiap orang tua itu berbeda-beda. Kalau saya, ketimbang nge-judge pola asuh orang tua lain, mending didiemin aja. Saya tipe orang yang males negur atau ngomentarin pola asuh orang lain. Kalau ngerasa ada yang enggak sreg, ya paling didiemin sambil dibatin, trus sampai rumah diobrolin berdua sama suami. Dan besoknya, jadi bahan tulisan di blog. LOL.
Menurut saya, pola asuh itu hak prerogatif masing-masing orangtua. Zaman udah makin maju gini juga loh.. Internet makin murah dan kenceng, akses beli buku juga makin mudah. Sehingga, pengetahuan tentang ilmu-ilmu parenting makin mudah didapat juga. Dan kita juga diberi kebebasan, mana pola asuh yang sekiranya cocok dengan kita.
Kita memang tidak bisa memilih, dari orang tua mana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih, ingin menjadi orang tua seperti apa kita bagi anak-anak.
Libur Lebaran ini, saya mengisi salah satunya dengan membaca buku ini,
“Membuat Anak Suka Makan”
karya Dwi Noviani
Penerbit Aquarius
tebal 176 halaman
Sebelum membaca bukunya, jujur aja saya sempat skeptis, “Ahh, ini palingan buat anak-anak bayik. Anak saya udah toddler gini lohh.. Enggak ngefek kayaknya.”
Eh-eh.. ternyata enggak. Pola asuh kita sekarang ini kepada anak-anak, termasuk salah satunya pola makan, akan sangat mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Tidak ada kata terlambat dalam mengajari anak makan dengan baik. Memang sih, semakin dia muda (usia 6 bulan saat sudah mulai MPASI) akan semakin baik. Tapi khususnya buat Luna yang sudah 4 tahun ini, mulai mengajari dia pola makan yang baik juga sangat penting sekali.
Usia 0-6 tahun adalah golden age, sehingga inilah saat yang paling tepat untuk melatihnya melakukan segala kebiasaan positif sebanyak mungkin. Pokoknya, tidak ada kata terlambat.
Balik lagi tentang pola asuh tiap orang tua yang berbeda-beda. Di buku ini, kita bisa belajar mencari tahu, gaya seperti apakah kita saat mengajak anak makan.
1. Gaya Authoritarian
Anak: “Saya tidak mau sayur.”
Orangtua: “Kamu harus makan sayurnya, jika tidak kamu tidak boleh nonton TV”
2. Gaya Permissive
Anak: “Saya tidak mau brokoli.”
Orangtua: “Kamu mau apa? Saya akan membuatkan kamu yang lainnya.”
3. Gaya Uninvolved
Anak: “Kapan makan malam? Malam makan apa?
Orangtua: “Saya tidak tahu.”
4. Gaya Authoritative
Anak: “Saya tidak mau brokoli. Kotor.”
Orangtua: “Kita tidak mengatakan hal buruk tentang makanan yang kita makan. Kamu tidak harus makan apa pun yang kamu tidak suka. Ada banyak makanan di meja yang bisa dipilih.”
Baca bagian ini, saya seperti sedang ditampar. Karena enggak jarang saya sering pakai gaya authoritarian saat mengajak Luna makan. Mengancamnya macam-macam, mulai dari tidak akan memberinya gadget, sampai tidak boleh main di luar. Huhuhuhuhu… Iya sih, salah. Tapi, sering gemes juga karena saya ngerasa Luna ini makannya susah. Sampe badannya sering dibilang kecil gini.
Baca juga: Jangan Katakan Ini ke Ibu dengan Anak Berbadan Kecil
Duluu.. saya sering stres duluan tiap mau menyuapi Luna makan. Jam makannya bisa lama sekali karena tiap makan diemut dan enggak segera habis. Padahal saya menargetkan bahwa semangkuk bubur harus habis supaya dia bisa gemuk dan enggak mudah sakit. Saya dulu berpikiran, anak yang makannya banyak pasti sehat. Setelah itu baru kepikir, enggak juga ahh… anak makan banyak, tapi jenis makanannya enggak sehat, ya sama aja juga enggak sehat buat badan.
Dulu, saya menyuapi Luna dengan penuh emosi. Ditambah saya juga kesal karena menungguinya makan yang super-lama sambil saya menahan lapar. Saya baru bisa makan kalau anak sudah kenyang. Hal ini ternyata diamini banyak ibu-ibu yang sering mengalah menunda makan, dan menyuapi anaknya dulu.
Hingga lama-lama saya mikir. Pokoknya, saya kenyangkan perut saya sendiri dulu, baru suapin anak makan. Seperti perintah kalau terjadi emergency flight itu lohh.. Pakai pelampungmu dulu, baru bantu anak memakai pelampungnya. Kenyangkan dirimu dulu, baru kenyangkan orang lain.
And it’s works! At least, ketika nyuapin anak jadi enggak penuh emosi, tapi bahagia. Kalau kitanya bahagia, nanti anak akan melalui proses makan dengan bahagia juga.
Di buku ini pula ditulis, mengutip dari kalimat dsa penulis,
“Anak harus sudah makan nasi bersama orangtuanya dengan lauk yang sama dan bersama-sama di meja makan ketika mereka menginjak usia satu tahun.”
Makanya, sering banget kan kita sendiri atau mungkin denger orang lain mengeluh, “Anakku enggak mau makan makanan yang udah kusiapin. Tapi sukanya gangguin aku makan, pengin makan makananku.”
Lahh.. kenapa enggak dikasih makanan yang sama dengan punya kita aja?
Ehh.. emang boleh anak kecil makan gorengan? Kripik-kripikan yang penuh vetsin?
Ya berarti kita yang harus ubah pola makan kita sendiri. No gorengan, no vetsin, no kripik-kripikan, no pengawet. no pewarna.
Hal yang saya ingat betul, pernah baca di salah satu situs parenting.
Ada 3 hal yang paling mudah ditiru anak-anak dari orangtuanya: Kebiasaan, Ucapan, dan Pola Makan.
Baca juga: Snacking Rules for Toddler
Satu yang paling ngena banget yang ditulis di buku ini adalah tentang judgment kita sama anak sendiri. “Iya nih, anakku susah makannya,” “Anakku ini picky eater banget.”
Pertanyaannya, serius anaknya bener-bener susah makan? Beneran anaknya picky eater? Atau jangan-jangan mereka memang sedang kenyang dan tidak ingin makan? Jangan-jangan sejak awal pengenalan kita pada suatu makanan udah salah, sampai akhirnya membuat dia jadi tidak suka makanan tersebut.
Anak kecil itu sama seperti orang dewasa. Kadang, ada hari yang kita makannya bisa banyak banget. Perut rasanya laper terus. Tapi ada hari lain yang kita males banget makan, perut rasanya kenyang terus. Anak kecil juga seperti itu. Dan sayangnya, kita sering tidak menyadarinya sehingga terus menjejalinya dengan makan, menyuapinya dengan target porsi, kemudian melabelinya “anakku susah makan.”
Saya dulu juga seperti itu kok.. Dalam jangka waktu yang cukup lama, sampai sekitar Luna usia hampir 2 tahun.
Hingga akhirnya saya sampai pada tahap berusaha memahami dia, karena capek emosi terus tiap memasuki jam makan. LOL. Kalau dia tidak mau makan, ya sudah, saya tidak akan memarahi dan memaksanya. Kalau dalam perjalanan traveling dia enggak mau makan, ya sudah, enggak papa, yang penting saya sedia stok roti di tas, kalau-kalau di jalan dia pengin ngemil. Kalau di restoran tidak mau makan, ya sudah, saya tidak akan mengejar-ngejarnya dan berusaha menyuapinya.
Prinsip saya yang berlaku sampai sekarang adalah, diamkan saja.. nanti toh, kalau lapar dia akan minta makan sendiri. Saya tidak akan membuang tenaga dan emosi untuk memaksanya makan. Karena anak harus sudah diajari bahwa makan adalah sebuah kebutuhan dan harus dilakukan dengan keadaan senang, bukan terpaksa.
Di akhir buku ini, penulis menambahkan beberapa resep MPASI yang bisa dibuat untuk anak usia 6 bulan sampai 1 tahun. Resepnya ada banyak sekali dan sangat bermanfaat. Berguna banget buat kita yang punya balita, khususnya buat saya ingin menebus kesalahan dulu saat pertama mengenalkan Luna pada makan. Pokoknya, besok untuk adiknya Luna, saya harus bisa menerapkan pola makan yang lebih baik lagi.
Saat dulu Luna memasuki usia 6 bulan, saya memang membekali diri dengan buku aneka resep MPASI rumahan. Tapi ilmu tentang pola makannya kurang komplit. Cuma berisi list resep MPASI mulai dari beras-berasan, sayur-sayuran, sampai buah-buahan.
Tapi buku “Membuat Anak Suka Makan” ini, jauh lebih komplit. Jujur loh ini, bukan karena endors-an. LOL.
Meski bukan buku yang full color, dan jangan dikira di bab resep kalian akan menemukan foto-foto MPASI. Tapi buku ini jauh lebih bermanfaat. Alurnya jelas, di awal kita dibekali informasi bagaimana cara menyiapkan pola makan yang baik untuk anak, bagaimana menciptakan waktu makan yang menyenangkan, dan motivasi supaya kita mengubah mindset bahwa anak kita itu mau makan.
Setelah itu, ada list, apa saja yang harus kita siapkan ketika akan mengenalkan anak pada makanan. Mulai dari boks plastik BPA free untuk menyimpan buah, sampai high chair untuk mengajaknya makan bersama di meja makan.
Saya jadi punya bayangan dan rencana. Besok kalau punya anak kedua, saya akan buatkan sendiri semua MPASInya. Karena di buku ini saya dibekali, cara menyiapkan bubur beras yang tinggal seduh dengan air panas. Bagaimana menyimpan stok MPASI untuk sehari ketika ditinggal kerja. Bagaimana membuat MPASI oatmeal untuk anak.
Sampai bab yang terakhir, list beberapa ide daftar menu makan untuk anak usia 1 tahun ke atas. Misalnya, sup kentang, sup asparagus, tumis tempe dan buncis, aneka pasta, dll.
Cuman ada satu yang menurut saya pribadi adalah kekurangannya. Karena penulis dan suaminya adalah pasangan vegan, jadi saya tidak menemukan resep MPASI yang menggunakan bahan daging dan telor. Padahal, bagi saya dan mungkin beberapa orangtua lain yang bukan pasangan vegan, mengenalkan anak pada menu daging, ikan, dan telor itu sangat diperlukan. Tapi kadang kami (khususnya saya) bingung gimana menyiapkannya.
Andai dibahas juga di buku ini, pasti akan lebih lengkap lagi.
Tapi overall, ini buku yang penting banget, khususnya buat kita yang punya bayi dan sedang mempersiapkan MPASI. Buat saya juga penting, karena saya jadi belajar lagi untuk menjadikan momen makannya Luna lebih menyenangkan. Tidak menjadi orangtua tipe authoritarian lagi, tapi menjadi orangtua tipe authoritative.
Semoga kalian juga ya!
*This is a sponsored blogpost. All opinions are expressed my own. Thank you for supporting product that support this blog.
wah aku gaya apa ya, tpa ku selalu dari kecil anak diwajibkan untuk makan yanga ad di atas meja makan, aku mendidik mereka untuk menghargai yang masak, lagi masih ekcil sekali aku selalu memvariasiakn makanan agar gak bosen
wah, rekomendasi buku yang bagus. lumayan nih buat belajar lagi. terimakasih ya infonya
dari berbagai macam tipe tentunya para ibu atau ortu pasti ingin anaknya mendapatkan yang terbaik, hanya saja caranya berbeda-beda.. bukunya cocok tuh utk ibu-ibu yg sering bete menghadapi anaknya yg susah makan
Anak kalau lagi susah makan memang suka bikin kita jadi stress ya. Bukunya cocok neh buat saya