How We First Met

how we first met

Kapan pertama kali kalian ketemu sama pasangan? Ini selalu jadi bahan menarik banget untuk dibahas. Bisa buat cerita anak-cucu, bisa buat inspirasi cerita-cerita klasik (mungkin), atau bisa buat bahan ledek-ledekan. Orang yang dulu antipati, ternyata jodoh di pelaminan. E cieee… Wakakakakkk

Samaan dengan Isti, kali ini kami akan cerita tentang kapan pertama kali kami bertemu dengan pasangan masing-masing. Kapan saya bertemu dengan Donny, bapaknya Luna. Kapan Isti bertemu Ilman, papanya Naia dan Nawa.

Baca juga tulisan Isti di sini:
How We Met

Saya masih inget banget, gimana momen kenalan dengan Donny ini. Sembilan tahun yang lalu, Januari 2008. Awal-awal jadi fresh graduate yang lagi meniti karir menjadi editor di sebuah kantor penerbitan di Jogja.

Saat itu saya lagi kerja duduk di depan komputer, di belakang saya ada temen kantor yang membawa masuk 2 orang tamu. Curi-curi dengar, kayaknya mereka sedang membicarakan tentang website kantor. Tiba-tiba, temen kantor saya yang namanya Mas Andi ini manggil saya, “Noni kamu kenal ini enggak?” sambil nunjuk orang di sebelahnya.

Waaa… kaget. Ternyata salah satu tamu itu, kakak kelas saya SMA. Kami dulu satu tim Paduan Suara sekolah. Kelasnya dia di depan kelas saya. Dia orang yang selalu minjemin semua buku paketnya ke saya, mulai dari kelas 2 sampe 3 IPA. Dan dia cukup dekat (tapi enggak akrab) dengan mantan saya.

Kami ngobrol sebentar dan temanya, tentang… mantan saya. Lol

Lalu, Mas Andi ini mengenalkan saya juga ke tamu satunya, namanya Donny, yang ternyata itu adiknya!

Pertama kali bersalaman kenalan, kesan saya dalam hati, “Cakepan adiknya ini, dibanding kakaknya.” Bhuahahahaha… Kemakan omongan sendiri, makanya empat tahun kemudian, I married my friend’s brother. Lol

Baca juga: Am I The Right Woman

Sepulang dari situ, ternyata Donny ini kepoin saya di Friendster. Dia baca blog saya di Friendster, nanya-nanya tentang saya ke temennya yang juga temen SMA saya ini, dan sekitar 2 minggu kemudian dia add ID Yahoo Messenger saya. Mulai detik itu, kami selalu ngobrol intens banget via YM. Selama jam kerja chat di YM, sepulang kerja, sms-an.

Tiga bulan kemudian, berbekal alasan mau nraktir karena lagi ultah, dia ngajakin saya makan dan jalan keluar. Itu jadi kedua kalinya kami bertemu, dan makannya di Pizza Hut. Hihihihi… that’s why we love pizza very much!

Pertemuan kedua itu berlanjut ke pertemuan ketiga, keempat, dan selanjutnya. Saat jam istirahat kantor, dia selalu jemput dan nungguin saya di pojokan bawah pohon jambu untuk keluar makan siang. Bener-bener yaa.. kantor itu jadi bersejarah banget deh. Sekarang sih, bangunannya udah jadi cafe, karena kantor itu pindah ke bangunan yang lebih besar dan magrong-magrong bentuk kantor.

Lama-lama-lama, dia ngajakin saya pacaran. Dan resmi 9 Mei 2008, saya pacaran sama Mas Donny, gitu saya manggil dia dulu. Soalnya usianya 4,5 tahun di atas saya. Dia pacar saya yang paling tua sepanjang saya punya pacar. Dan becandaannya kami… Dia pelaku reformasi 1998 karena ikutan demo di jalanan, sedangkan saya pembelajar reformasi di sekolah. Lol

How We First Met

Pacaran kami enggak mulus-mulus amat sebenernya. Berawal saat seminggu setelah jadian, saya “diamuk” sama “temen” saya. Jadi ceritanya, hubungan saya dengan “temen” ini cukup deket banget, kalo dikasih sinyal ijo sama orangtua, mungkin kami udah pacaran. Saya mau menjauh, istilahnya move on dari kedekatan tanpa status dan masa depan ini. Kemudian diam-diam menjalin hubungan sama Donny, yang ternyata….

Temen satu band-nya.

Jederrrrr… Petir mana petir.

Gimana enggak diamuk coba… Paham sih perasaannya. Tapi kan.. tapi kan… Meneketehe kalau Donny yang pernah diceritakannya itu, Donny yang ini. Donny itu nama yang cukup pasaran. Saya juga enggak pernah ikutan dia latihan band, apalagi hang out bareng temen-temennya. Jadi enggak pernah kenal sama temen-temennya.

Di tahun 2008 awal, Gigi bikin konser 11 Januari di Jogja. Temen saya ini udah beliin tiket buat saya, katanya nanti nontonnya bakalan bareng temen-temen bandnya. Sekitar 2 hari menjelang acara, saya mendadak men-cancel. Bukan apa-apa, lagipula saat itu saya belum kenalan sama Donny. Tapi lebih ke perasaan pengin jaga jarak. Bukankah, jarak itu bisa jadi salah satu cara untuk move on.

Ealah.. namanya takdir kali ya. Andai saat itu saya berangkat, saya bakal dikenalin ke temen-temennya, yang salah satunya adalah Donny. Dan artinya, Donny bakalan tahu kalau temennya ini lagi deket sama saya, dan dia enggak bakalan jadi temen makan temen.

Nah, kalau sekarang. Udah keburu jadian, perasaan udah keburu terbangun, jadi gimana dong..

Yaaa… salahnya saya juga sihh.. Enggak pernah cerita, tapi ngapain juga cerita.. Auk ahh~~

Buat kamu, maafkan kami yaaa… 🙂

Baca juga: Rasanya Itu?

Beberapa tahun kemudian, saat kami memutuskan ingin menikah, restu dari orangtua tidak kunjung datang. Bukan apa-apa. Tapi mereka masih belum rela melepas anak perempuan satu-satunya ini untuk menikah dan dibawa pergi sama laki-laki lain. Bagi sebagian keluarga mungkin aneh ya.. tapi saya sih, biasa aja.

Apalagi pernikahan bagi kami adalah monogami dan tidak ada perceraian. Makanya, menikah itu bukan keputusan yang bisa diputuskan sesegera mungkin. Musti harus banyak pertimbangan logis.

Dan berasa diuji keseriusannya, hubungan kami dengan keluarga tetap berjalan baik-baik saja. Kami enggak mau kesusu, kejar target, atau kalah saing dengan pasangan lain. No! Restu orangtua itu adalah segalanya.

Menurut kami, pernikahan itu bukan pencapaian, pernikahan bukan target yang harus dikejar dan dipenuhi sesegera mungkin, pernikahan bukan sebatas legalisasi seksual. Dan pernikahan itu bukan akhir dari segala hubungan yang dijalani selama ini.

Justru setelah menikah, hidup yang sebenar-benarnya dimulai. Pacar yang selama ini mungkin sweet banget, bisa berubah drastis setelah menikah. Dan semakin lama kita mengenal pasangan, maka semakin nyebelinlah dia. Lol. Karena sisi-sisi nyebelinnya keluar semua.

Baca juga: Berdamai dengan Kebiasaan Menyebalkan Pasangan

Juli 2012, kami akhirnya menikah. Persiapan yang cukup cepat banget. Karena Bapak saya yang tahun sebelumnya masih tarik-ulur melepas saya menikah, eh… sekarang malah nyuru cepet-cepet. Katanya, “Semakin cepat semakin baik.” Padahal saat itu, gantian saya yang pengin santai dan nikahnya akhir tahun aja. -_____-

Kadang masih enggak nyangka, kok bisa ya.. aku kenal, pacaran, dan nikah sama orang ini. Kok bisa hubungan kami berjalan hingga sejauh ini, dan masih akan jauh lagi. Padahal katanya… saya ini satu-satunya pacar yang paling kemayu dan suka dandan, dibanding mantan-mantannya. Not her type-lah…

Tapi mungkin, ada sifat yang sangat bertolak belakang, yang justru membuat kami bisa bertahan sampai sekarang. Saya ini tipe perempuan yang meledak-ledak, enggak sabaran, hobinya marah-marah. Hampir dipastikan, tiap ada pertengkaran pasti selalu saya yang memulai. Sedangkan dia tipe laki-laki yang super-sabar, kayak nrimo aja gitu saya ngomel-ngomel. Cuman kalo udah abis kesabarannya, marahnya bisa melebihi saya. Trus aku takuttt… Lol

Dia tipe yang santai banget, let it flow, jalanin aja. Sedangkan saya tipe yang well-planned, banyak mikir, banyak pertimbangan. Dan perpaduan kedua tipe ini banyak banget membantu kami dalam menata hidup berumah-tangga. Dia belajar untuk menata keuangan dan merencanakan masa depan, karena saya selalu ngopyak-opyak. Saya juga belajar untuk bisa menghadapi perubahan-perubahan dalam rencana hidup dengan lebih santai, enggak terlalu ngoyo.

How We First Met

Empat tahun pacaran, lima tahun menikah. Berarti sudah 9 tahun kami saling mengenal. Kerasa enggak? Dulu ketika masih pacaran dengan beberapa dinamikanya, jelas kerasa banget. Tapi setelah menikah, sekalipun jelas masalah tetap selalu ada, justru enggak kerasa.

Dalam pernikahan, bukan angkanya yang penting. Tapi seberapa besar komitmen kita untuk benar-benar saling terbuka dan mendampingi dalam suka dan duka, kaya dan miskin, sampai maut memisahkan.

Doakan kami yaa… 🙂

5 thoughts on “How We First Met

  1. kalau aku kenal dan jadi suka krn terbiasa, wong satu kelas lg kuliah, dan absennya deketan jd kalau kerja kelompok selalu barengan. Nah, jadilah cerita cinta, istilahnya bukan cinlok, bagi kami yg kuliah di kedokteran istilahnay inbreeding

  2. Bukan angkanya yang penting, tapi seberapa besar komitmen. So Trueeeee ??? aku puun sampe sekarang masih sering uring uringan, gapapa jadi bumbu hahahha. Btw postingan ini bikin aku jadi nostalgia sama ayah Shoji Rey Aisha hahahaha

  3. sik sik…
    si kamu temen ben nya mas doncret ki ketoke aku tau yo…
    soale klo Mas Doncret kan tmn kantorku dlu…mwahahahaha
    Jogja oh Jogja, suempit
    peace ah jeng Noni & Mas Doncret^^

Leave a Reply to Hastira Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *